Senin, 25 Agustus 2008

Model Konfigurasi Supply Chain Biskuit

Keterangan Gambar

1: Penghasil gandum 8: Pabrik kaleng

2: Penghasil tebu 9: Pabrik biskuit

3: Penghasil garam 10: Distributor biskuit

4: Penghasil aluminium 11: Supermarket

5: Pabrik tepung terigu

6: Pabrik gula

7: Distributor garam





Minggu, 24 Agustus 2008

Perbedaan Supply Chain dan Supply Chain Management

· Supply chain adalah jaringan perusahaan – perusahaan yang secara bersama – sama bekerja untuk menciptakan dan menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Perusahaan – perusahaan tersebut biasanya termasuk supplier, pabrik, distributor, took atau ritel, serta perusahaan – perusahaan pendukung seperti perusahaan jasa logistic.
· Supply chain adalah jaringan fisiknya, yakni perusahaan – perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir.
· SCM adalah metode, alat atau pendekatan pengelolaannya. Namun perlu ditekankan bahwa SCM menghendaki pendekatan atau metode yang terintegrasi dengan dasar semangat kolaborasi.

Perbedaan Supply Chain Management dan Manajemen Logistik

a. SCM dipandang sebagai logistik bagian luar perusahaan yang meliputi pelanggan dan supplier, sedangkan manajemen logistik lebih memfokuskan pada pengoptimalan rencana orientasi dan kerangka kerja berupa pembuatan rencana tunggal untuk aliran produk dan informasi di dalam perusahaan
b. Tujuan utama SCM adalah mengurangi atau bahkan menghilangkan persediaan buffer yang terlibat antara beberapa departemen dalam satu rantai dengan cara saling membagi informasi mengenai demand dan persediaan yang ada sekarang, sedangkan tujuan utama manajemen logistik tidak untuk mengurangi persediaan buffer.

Hal Penting Merekayasa Ulang Supply Chain Management di Perusahaan

a. Tetapkan SCM sebagai aspek strategis bagi perusahaan
Implementasi SCM harus disesuaikan dengan strategi organisasi secara keseluruhan. Ada empat strategi generic yang biasa diterapkan oleh perusahaan yaitu strategi inovasi, biaya, pelayanan, dan mutu.
- Strategi inovasi, implementasi SCM adalah kecepatan masuk ke pasar
- Strategi biaya, implementasi SCM adalah efisiensi
- Strategi pelayanan, implementasi SCM adalah memenuhi keinginan konsumen
- Strategi mutu, implementasi SCM adalah supply chain excellent dan quality control
b. Rancang proses SCM dari ujung ke ujung
Organisasi perlu merancang pola aliran informasi dan barang mulai dari supplier paling awal sampai konsumen paling akhir. Bentuk intervensi yang perlu dilakukan bisa berbeda-beda. Ada yang perlu dikendalikan langsung, ada yang hanya perlu dimonitor, ada yang hanya perlu diketahui saja. Dengan memiliki rancangan ini, perusahaan bisa memetakan dengan baik proses mana yang dapat menyebabkan biaya tinggi atau proses mana yang dapat menyebabkan waktu yang paling lama.
c. Rancang struktur organisasi SCM
Merancang struktur organisasi yang cocok untuk implementasi SCM sangat penting untuk memperjelas eksistensi SCM di perusahaan. Banyak perusahaan yang gagal mengimplementasikan SCM karena melihat SCM sebagai tools di luar system. Memasukkan SCM dalam struktur organisasi bisa berbagai macam, namun yang perlu dipahami betul adalah prinsip integrasi dari SCM. Jadi bagaimana agar struktur organisasi bisa mengintegrasikan SCM secara keseluruhan.
d. Kembangkan model kolaborasi yang tepat
Agar berhasil dalam membangun kolaborasi, beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah:
- Perkuat kolaborasi internal karena sulit bekerja sama dengan pihak luar bila di dalam sendiri belum lancer
- Tetapkan tingkat kolaborasi yang akan dilakukan seberapa luas dan seberapa dalam
- Perkirakan kemungkinan manfaat, keuntungan maupun kerugian
- Bangun terus saling percaya dengan mitra sambil tetap menjaga keperluan organisasi
- Manfaatkan teknologi
- Perlihatkan selalu sikap kompromistis
e. Gunakan alat ukur kinerja yang tepat
Mengukur kinerja sangat penting untuk mengetahui kondisi SCM membaik atau memburuk. Dengan mengetahui posisi, perusahaan bisa terdorong untuk melakukan perbaikan. Alat ukur yang baik untuk SCM cirri-cirinya adalah:
- Terhubung dengan strategi organisasi
- Seimbang dan komprehensif
- Penetapan target terbanding dengan situasi internal maupun eksternal
- Targetnya agresif tapi dapat dicapai
- Dapat dimonitor dengan mudah
- Dapat digunakan untuk peningkatan produktivitas berkelanjutan
- Dilaksanakan melalui rencana implementasi formal.

Prinsip dasar Supply Chain Management

a. Prinsip Integrasi
Semua elemen yang terlibat dalam rangkaian SCM berada dalam satu kesatuan yang kompak dan menyadari adanya saling ketergantungan
b. Prinsip Jejaring
Semua elemen berada dalam hubungan kerja yang selaras
c. Prinsip Ujung ke Ujung
Proses operasinya mencakup elemen pemasok yang paling hulu sampai ke konsumen yang paling hilir
d. Prinsip Saling Tergantung
Setiap elemen dalam SCM menyadari bahwa untuk mencapai manfaat bersaing diperlukan kerjasama yang saling menguntungkan
e. Prinsip Komunikasi
Keakuratan data menjadi darah dalam jaringan untuk menjadi ketepatan informasi dan material

Alasan Perlunya Penerapan Supply Chain Management di Indonesia

a. Situasi geografis Indonesia sebagai Negara kepulauan
Perusahaan pabrik di Aceh mengirimkan barang dalam jumlah besar ke Papua. Perusahaan harus melewati beberapa pelabuhan, beberapa moda transportasi, dan jenis birokrasi. Untuk menjamin kecepatan dan ketepatan pengiriman perlu biaya tinggi dan ketepatan informasi dengan akurasi yang tinggi. Untuk itu perlu metode kerja yang dapat mengintegrasikan seluruh elemen yang berada di jaringan yang menghubungkan mulai dari pemasok paling awal sampai ke konsumen paling akhir.
b. Perubahan paradigma persaingan
Persaingan berubah dari bersaing antar perusahaan menjadi bersaing antar jaringan. Misal persaingan dalam bisnis ritel antara Alfa dan Indomaret. Sesungguhnya yang bersaing bukanlah mini market Alfa dan Indomaret, melainkan jaringan SCM di belakangnya. Harga barang keduanya bisa berbeda, walaupun lokasinya berhadap-hadapan. Salah satunya bisa terjadi karena tingkat efisiensi dan kerjasama yang dibangun jaringannya. Akibatnya, pemenangnya adalah yang didukung SCM yang lebih baik.
c. Semakin canggihnya dukungan teknologi informasi
Kemajuan system komunikasi seperti internet dan intranet yang dapat menghubungkan tempat terpencil dan jauh sekalipun dengan sangat cepat mengakibatkan hubungan antara elemen-elemen di dalam SCM menjadi tidak masalah lagi.

Pemain Utama Supply Chain Management

a. Chain 1: Suppliers
Merupakan sumber yang menyediakan bahan pertama, dimana mata rantai penyaluran barang akan mulai. Bahan pertama bisa dalam bentuk bahan baku, bahan mentah, bahan penolong, bahan dagangan, sub assemblies, suku cadang, dan sebagainya.
b. Chain 1-2: Suppliers – Manufacturer
Rantai pertama dihubungkan dengan rantai kedua yaitu manufacturer atau assemblers atau plants atau fabricator atau bentuk lain yang melakukan pekerjaan membuat, memfabrikasi, mengasembling, merakit, mengkonversikan ataupun menyelesaikan barang (finishing). Hubungan dengan mata rantai pertama ini sudah mempunyai potensi untuk melakukan penghematan. Misalnya inventory bahan baku, bahan setengah jadi, dan bahan jadi yang berada di pihak suppliers, manufacturer, dan tempat transit merupakan target untuk penghematan ini.
c. Chain 1-2-3: Suppliers – Manufacturer – Distribution
Barang sudah jadi yang dihasilkan manufacturer disalurkan kepada pelanggan melalui distributor. Barang dari pabrik melalui gudangnya disalurkan ke gudang distributor atau pedagang besar dalam jumlah besar dan pada waktunya nanti pedagang besar menyalurkan dalam jumlag yang lebih kecil kepada retailers atau pengecer.
d. Chain 1-2-3-4: Suppliers – Manufacturer – Distribution – Retail Outlet
Pedagang besar biasanya mempunyai fasilitas gudang sendiri atau dapat juga menyewa dari pihak lain. Gudang ini digunakan untuk menimbun barang sebelum disalurkan kembali ke pihak pengecer. Ada kesempatan untuk memperoleh penghematan dalam bentuk jumlah inventories dan biaya gudang, dengan cara melakukan desain kembali pola-pola pengiriman barang baik dari gudang manufacturer maupun ke took pengecer (retail outlets).
e. Chain 1-2-3-4-5: Suppliers – Manufacturer – Distribution – Retail Outlet – Customers
Dari rak-raknya, para pengecer atau retailers menawarkan barangnya langsung kepada para pelanggan atau pembeli atau pengguna barang tersebut. Yang termasuk outlets adalah took, warung, took serba ada, pasar, swalayan, toko koperasi, mall. Dll.

Pengertian Supply Chain Management

Pengertian SCM dari beberapa ahli adalah sebagai berikut:
a. Oliver dan Weber (1982)
Metode, alat, atau pendekatan pengelolaan supply chain. Supply chain adalah jaringan fisik yaitu perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam memasok bahan baku, memproduksi barang, maupun mengirimkannya ke pemakai akhir.
b. Fortune Magazine (Artikel Henkoff, 1994)
Merupakan proses dimana perusahaan memindahkan material, komponen dan produk ke pelanggan. Proses pemindahan barang dilakukan dalam jumlah yang tepat, lokasi tepat, dan tepat waktu.
c. Ross (1998)
Filosofi manajemen yang secara terus menerus mencari sumber-sumber fungsi bisnis yang kompeten untuk digabungkan baik dalam perusahaan maupun luar perusahaan seperti mitra bisnis yang berada dalam satu supply chain untuk memasuki sistem supply yang kompetitif tinggi dan memperhatikan kebutuhan pelanggan, yang berfokus pada pengembangan solusi inovatif dan sinkronisasi aliran produk, jasa, dan informasi untuk menciptakan sumber nilai pelanggan yang bersifat unik.
d. Martin (1998)
Jaringan organisasi yang melibatkan hubungan upstream dan downstream dalam proses dan aktivitas yang berbeda yang memberi nilai dalam bentuk produk dan jasa pada pelanggan.
Contoh: Pabrik pembuat kemeja adalah 2 bagian supply chain yang menghubungkan upstream (melalui pengusaha kain kepada pengusaha serat/kapas) dan downstream (melalui distributor dan retail pada pelanggan akhir).
e. Stanford Supply Chain Forum (1999) yang dicetuskan oleh Kepala Forum Hau Lee
SCM berhubungan erat dengan aliran manajemen material, informasi dan finansial dalam suatu jaringan yang terdiri dari supplier, perusahaan, distributor, dan pelanggan
f. Simchi-Levi et al (1999)
Merupakan serangkaian pendekatan yang diterapkan untuk mengintegrasikan supplier, pengusaha, gudang, dan tempat penyimpanan lainnya secara efisien sehingga produk dihasilkan dan didistribusikan dengan kuantitas yang tepat, lokasi tepat, dan waktu tepat untuk memperkecil biaya dan memuaskan kebutuhan pelanggan.
g. Council of Logistics Management
The systematic, strategic coordination of the traditional business function within a particular company and across business within the supply chain for the purpose of improving the long term performance of the individual company and the supply chain as a whole.
SCM tidak hanya berorientasi pada urusan internal sebuah perusahaan, melainkan juga urusan eksternal yang menyangkut hubungan dengan perusahaan-perusahaan partner. Koordinasi dan kolaborasi perlu dilakukan karena perusahaan yang berada pada satu supply chain pada intinya ingin memuaskan konsumen akhir yang sama, mereka harus bekerja sama untuk membuat produk yang murah, mengirimnya tepat waktu, dan dengan kualitas yang bagus. Persaingan pada saat ini bukan hanya satu perusahaan dengan perusahaan yang lain tetapi antara supply chain yang satu dengan supply chain yang lain. Semangat kolaborasi dan koordinasi juga didasari oleh kesadaran bahwa kuatnya sebuah supply chain tergantung pada kekuatan seluruh elemen yang berada di dalamnya. Namun, semangat kolaborasi dan koordinasi tidak boleh mengorbankan kepentingan tiap individu perusahaan. SCM yang baik bisa meningkatkan kemampuan bersaing bagi supply chain secara keseluruhan, namun tidak menyebabkan satu pihak berkorban dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan pengertian, kepercayaan, dan aturan main yang jelas. Idealnya, hubungan antar pihak pada supply chain berlangsung jangka panjang. Hubungan jangka panjang memungkinkan semua pihak untuk menciptakan kepercayaan yang lebih baik serta menciptakan efisiensi. Efisiensi bisa tercipta karena hubungan jangka panjang berarti mengurangi ongkos-ongkos untuk mendapatkan perusahaan partner baru.

Kilas Balik Munculnya Supply Chain Management

a. Tahun 1960-an
Ford memproduksi mobil standar yaitu model T berwarna hitam. Sistem produksi Ford dikenal dengan sistem produksi massal. Sistem produksi massal sangat mementingkan jumlah output yang dihasilkan persatuan waktu. Produktivitas, efisiensi, menciptakan keseimbangan lintasan produksi, dan utilitas sistem produksi adalah hal yang sangat penting. Pada sistem produksi massal kecepatan kerja operator diukur dan dijadikan dasar untuk menentukan upah. Ilmu pengukuran waktu kerja dan metode kerja sangat relevan dengan sistem produksi massal.
b. Tahun 1970 – 1980-an
Keunggulan bersaing pada era ini tidak hanya ditentukan oleh kemampuan sebuah industri untuk menciptakan banyak output persatuan waktu. Produktivitas tetap penting, tetapi tidak cukup sebagai bekal untuk bersaing di pasar. Pelanggan mulai bisa membedakan produk berdasarkan kualitasnya. Mulai ramai dibicarakan cara-cara untuk meningkatkan kualitas produk. Disadari bahwa kualitas produk sangat tergantung pada proses, manusia, dan sistem secara keseluruhan. Pengendalian kualitas tidak lagi cukup hanya dilakukan dengan model inspeksi produk, tetapi lebih fundamental dengan melihat proses. Orang mulai sadar bahwa kualitas produk juga tidak lepas dari kualitas bahan baku yang dikirim oleh supplier. Muncul konsep dan teknik Statistical Process Control dan Total Quality Management.
c. Tahun 1990-an
Munculnya teknologi informasi mengakibatkan pasar menjadi semakin mengglobal dan persaingan dunia menjadi semakin ketat. Tuntutan pelanggan menjadi semakin tinggi. Mendapatkan produk murah dan berkualitas tidaklah cukup. Variasi produk menjadi semakin penting. Pelanggan juga mulai menuntut aspek kecepatan respon, inovasi, dan fleksibilitas. Konsep-konsep time based competition, agile manufacturing, dan sejenisnya dimunculkan sebagai respon terhadap pentingnya aspek waktu dalam persaingan.
d. Tahun 1990-an
Pelaku industri mulai sadar bahwa untuk menyediakan produk yang murah, berkualitas dan cepat, perbaikan di internal perusahaan tidaklah cukup. Perlu peran serta semua pihak mulai dari supplier yang mengolah bahan baku dari alam menjadi komponen, pabrik yang mengubah komponen dan bahan baku menjadi produk jadi, perusahaan transportasi yang mengirimkan bahan baku dari supplier ke pabrik, serta jaringan distribusi yang akan menyampaikan produk ke tangan pelanggan. Kesadaran akan pentingnya peran semua pihak dalam menciptakan produk yang murah, berkualitas, dan cepat yang melahirkan konsep supply chain management.

Sabtu, 23 Agustus 2008

Pokok-Pokok Isi Tata Tertib Kawasan Industri

Pokok-pokok isi Tata Tertib Kawasan Industri sekurang-kurangnya meliputi hal-hal yang perlu dikonfirmasikan sebagai berikut :

BAB I
Pendahuluan
Penjelasan tentang Kawasan Industri serta Perusahaan Kawasan Industri yang mengelolanya.

BAB II
Maksud dan Tujuan
Penjelasan tentang maksud dan tujuan Tata Tertib Kawasan Industri yang mengikat perusahaan Kawasan Industri dan perusahaan industri yang berlokasi di dalam Kawasan Industri dalam menjalankan hak dan kewajibannya.

BAB III
Pengertian-pengertian
Penjelasan tentang istilah yang digunakan di dalam Tata Tertib Kawasan Industri seperti istilah yang digunakan dalam memperinci hal-hal seperti Hak Atas Tanah, Perizinan-Perizinan yang diperlukan, Peraturan Bangunan, Kegiatan Pengendalian Dampak dan lain-lain.

BAB IV
Jenis-jenis Industri Yang Dapat Ditampung Dalam Kawasan Industri
Penjelasan tentang jenis industri yang dapat ditampung dalam Kawasan Industri, terutama yang terkait dengan daya dukung lingkungan Kawasan Industri yang bersangkutan. Pihak Perusahaan Kawasan Industri memberikan penjelasan tentang syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh masing-masing jenis industri agar pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya yang tersedia serta program pengendalian dampak di dalam Kawasan Industri dapat terlaksana sesuai dengan rencana dan ketentuan-ketentuan yang ada.

BAB V
Sarana Penunjang Kawasan Industri
Penjelasan tentang sarana-sarana penunjang yang sudah/akan disediakan oleh Perusahaan Kawasan Industri termasuk ketentuan-ketentuan tentang kapasitas, jadwal pembangunan/penyediaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pola pembiayaannya.

BAB VI
Lingkup Pelayanan Kawasan Industri
Penjelasan tentang pelayanan Perusahaan Kawasan Industri yang ditawarkan kepada Perusahaan Industri sesuai dengan rencana Perusahaan Kawasan industri.

BAB VII
Hak Dan Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri
Penjelasan dan perincian tentang hak serta kewajiban Perusahaan Kawasan Industri sebagai Pengelola Kawasan Industri.

BAB VIII
Hak Dan Kewajiban Perusahaan Industri
Penjelasan dan perincian tentang hak serta kewajiban masing-masing Perusahaan Industri sebagai Penghuni Kawasan Industri.

BAB IX
Peraturan Bangunan
Penjelasan ketentuan-ketentuan tentang Bangunan Industri dalam Kawasan Industri sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 66 /PRT/1993 tentang Bangunan Industri.

BAB X
Pengendalian Dampak Lingkungan
Penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan program pengendalian dampak sebagai tindak lanjut dari ANDAL Kawasan Industri.

Dokumen Perencanaan yang Terkait dengan Perizinan Perusahaan Kawasan Industri

Beberapa dokumen perencanaan yang terkait dengan perizinan perusahaan kawasan industri adalah (1) Rencana Tapak Tanah (RTT), (2) Studi AMDAL, RKL dan RPL, dan (3) Tata Tertib Kawasan Industri.

Rencana Tapak Tanah

Rencana tapak didefinisikan sebagai rencana pada skala yang mampu menunjukkan penggunaan kapling-kapling tanah (parcel of land) dan struktur yang direkomendasikan. Rencana tersebut berisi kumpulan garis jalan, letak bangunan, bangunan (lot of line), tutupan kedap air (impervious surface) lainnya, ruang untuk aktivitas manusia (area of human disturbance) dan pertamanan (http://www.dnr.state.md.us/criticalarea/ glossary.html).

Berdasarkan Permendagri No. 5 Tahun 1992, perusahaan untuk mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri, perusahaan Kawasan Industri harus menyusun Rencana Tapak Tanah yang terdiri dari (1) Rencana Tapak Kawasan, dan (2) Rencana Tapak Kapling.

Studi AMDAL, RKL dan RPL

Penyusunan dokumen AMDAL, RKL dan RPL dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 9 Tahun 2000 tentang Panduan Penyusunan AMDAL.
Dalam dokumen Amdal tersebut terdiri dari empat dokumen , yaitu :
1. Kerangka Acuan Penyusunan AMDAL,
2. Analisis AMDAL,
3. Rencana Pengelolaan Lingkungan,
4. Rencana Pemantauan Lingkungan.

Tata Tertib Kawasan Industri
Tata Tertib Kawasan Industri adalah peraturan dan ketentuan yang khusus disusun oleh perusahaan Kawasan Industri, yang mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Industri yaitu Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri yang berlokasi di dalam Kawasan Industri yang bersangkutan (Kepmen Perindag No. 291/M/SK/10/1989 tentang Tata Cara Perizinan Dan Standar Teknis Kawasan Industri).Tata Tertib Kawasan Industri sekurang-kurangnya berisikan informasi tentang :· Ketentuan-ketentuan peraturan perundangan yang perlu ditaati oleh masing-masing pihak.· Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hasil studi ANDAL Kawasan Industri terutama ketentuan-ketentuan pengendalian dampak yang harus dilakukan baik oleh Perusahaan Kawasan Industri maupun oleh masing-masing Perusahaan Industri.· Ketentuan-ketentuan spesifik yang berkaitan dengan rencana Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan

Izin Gangguan di Kawasan Industri

Izin gangguan (uug/ho) merupakan perizinan yang harus dipunyai oleh perusahaan kawasan industri sebelum beroperasinya kawasan industri. Instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan ini adalah pemerintah kabupaten/kota.

Dokumen-dokumen yang biasanya harus disertakan adalah :
1. Akte notaris pendirian perusahaan,
2. Bukti peguasaan tanah,
3. Foto Copy IMB,
4. Rancangan tata letak instansi, mesin/peralatan dan perlengkapan pembangunan industri,
5. Bagan alir proses produksi dilengkapi dengan daftar bahan baku dan penolong,
6. Bagan alir pengolahan limbah,
7. Rekomendasi dari instansi terkait dengan jenis usahanya.

Izin Mendirikan Bangunan di Kawasan Industri

Izin mendirikan bangunan (IMB) merupakan izin yang harus dipunyai perusahaan kawasan industri sebelum pembangunan bangunan. Instansi yang berwenang mengeluarkan izin ini adalah pemerintah kabupaten/kota.

Persyaratan untuk memperoleh IMB tiap-tiap pemerintah kabupaten/kota mungkin tidak sama, tetapi biasanya persyaratannya berupa :
1. Bukti diri pemohon (kalau perusahaan mungkin akte notaris),
2. Bukti penguasaan tanah yang akan didirikan bangunan di atasnya,
3. Gambar-gambar teknik konstruksi bangunan,
4. Hasil penyelidikan tanah untuk bangunan bertingkat.

Izin Perluasan Kawasan Industri

Izin perluasan Kawasan Industri (IPKI) diajukan setelah perusahaan kawasan memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dan telah beroperasi. Apabila perusahaan kawasan industri merasa perlu melakukan perluasan kawasan, maka diharuskan mengajukan Izin Perluasan Kawasan Industri.

Permohonan IPKI selambat-lambatnya akan diberikan selama 14 hari kerja, terhitung semenjak diterimanya permohonan dengan persyaratan yang lengkap. Syarat-syarat yang biasanya harus disertakan pada saat permohonan adalah :
1. Izin Lokasi,
2. Fotokopi IMB,
3. Fotokopi HGB,
4. Fotokopi ANDAL, RKL dan RPL,
5. IUKI yang bersangkutan,
6. Susunan Direksi dan Komisaris Perusahaan,
7. Peta rencana peruntukan lahan,
8. Jadwal/target penyelesaian pembangunan prasarana dan sarana penunjang yang ada dalam Kawasan Industri dan sarana penunjang eksternal.

Hak Guna Bangunan Kawasan Industri

Permohonan Hak Guna Bangunan (HGU) dilakukan dua tahap. Tahap pertama dilakukan permohonan HGU Induk untuk keseluruhan kawasan industri. Tahap berikutnya diajukan permohonan HGU untuk masing-masing kapling industri. Masa berlakunya HGU adalah 20 tahun untuk perizinan dengan fasilitas, dan selama 30 tahun untuk perizinan non fasilitas.

Perizinan Usaha Kawasan Industri

Izin usaha kawasan industri (IUKI) mempunyai masa berlaku selama 30 tahun ntuk perizinan dengan fasilitas, dan mempunyai masa berlaku tidak terbatas untuk perizinan non fasilitas. Perusahaan yang telah memiliki izin ini akan dapat mengoperasikan kawasan industri. IUKI selambat-lambatnya diberikan dalam waktu 33 hari kerja, sejak permohonan dengan persayaratan lengkap diterima.

Persyaratan perizinan yang biasanya harus dilampirkan pada saat mengajukan permohonan Izin Usaha Kawasan Industri adalah :
1. Rencana Tapak Tanah (RTT) kawasan industri yang telah disyahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
2. Bukti Penguasaan Lahan sesuai dengan izin lokasi,
3. Studi AMDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan lingkungan yang telah disetujui pejabat yang berwenang,
4. Tata tertib kawasan industri yang telah disyahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota,
5. Laporan kondisi lapangan untuk dapat dioperasikan, minimal telah tersedia jalan masuk ke Kawasan Industri,jaringan jalan dan saluran air hujan dalam Kawasan Industri serta Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) bagi Kawasan Industri sesuai dengan AMDAL-nya ;
6. Berita Acara Pemeriksaan Lapangan (BAPL) atas dokumen Laporan kondisi Lapangan dilakukan oleh Tim Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota

Perizinan Lokasi Kawasan Industri

Izin lokasi kawasan industri diberikan oleh Bupati/Walikota setempat berdasarkan RTRW yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota setempat. Perizinan lokasi ini diajukan setelah dilakukan pembebasan/penguasaan lahan kawasan industri, Penyusunan rencana tapak kawasan industri dan penyusunan rencana pembangunan sarana prasarana kawasan industri. Persyaratan izin lokasi ini biasanya adalah foto copy surat persetujuan prinsip.

Izin lokasi ini selambat-lambatnya diberikan dalam waktu 12 hari kerja semenjak diterima permohonan dan persyaratan lengkap. Masa berlaku izin lokasi ini disesuaikan dengan luas lahan yang dimohon, yaitu :
· Luas 25 Ha masa berlaku 1 tahun,
· Luas 25 – 50 Ha masa berlakunya 2 tahun,
· Luas 50 Ha masa berlakunya 3 tahun.

Perizinan Prinsip Kawasan Industri

Perizinan prinsip merupakan perizinan pertama kali yang harus diajukan oleh calon investor. Perizinan Prinsip merupakan persetujuan awal terhadap rencana investasi yang akan ditanamkan oleh calon investor. Persetujuan prinsip ini biasanya dituangkan dalam Surat Keputusan/Surat Persetujuan dari pejabat yang berwenang. Terdapat dua hal yang dijadikan pertimbangan persetujuan prinsip, yaitu (1) bidang usaha, dan (2) ketersediaan lahan/kesesuaian peruntukan lahan dengan kegiatan yang diajukan.
Persyaratan yang harus dilampirkan biasanya terdiri dsari :
Foto Copy Akte Pendirian Perusahaan,
Foto Copy Kartu NPWP,
Sketsa Rencana Lokasi,
Surat Pernyataan dari perusahaan kawasan industri bahwa lokasi kawasan industri sesuai dengan peruntukan berdasarkan rencana tata ruang dan tidak terletak pada lahan pertanian beririgasi teknis.

Persetujuan prinsip ini dikeluarkan selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari kerja semenjak permohonan dan persayaratan diterima lengkap. Persetujuan prinsip ini berlaku dalam jangka waktu 4 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 2 x 2 tahun.

Jenis Perizinan yang Terkait dengan Kawasan Industri

Berdasarkan Keppres Nomor 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri, terdapat beberapa jenis perizinan yang dilalui oleh perusahaan kawasan industri. Perizinan tersebut adalah :
1. Persetujuan Prinsip,
2. Izin Lokasi,
3. Izin Usaha Kawasan Industri,
4. Permohonan Hak Guna Bangunan Induk,
5. Izin Perluasan Kawasan Industri.

Selanjutnya setiap kegiatan investasi di daerah harus mempunyai beberapa perizinan yang dilakukan oleh perusahaan kawasan industri. Perizinan tersebut adalah :
1. Izin Mendirikan Bangunan (IMB),
2. Izin Gangguan atau HO,
3. Hak Guna Bangunan (HGB) untuk setiap kapling tanah.

Disamping perizinan-perizinan tersebut terdapat beberapa dokumen yang harus disahkan oleh pemerintah kabupaten/kota dimana kawasan industri tersebut berada. Dokumen-dokumen yang harus disahkan tersebut adalah :
1. Rencana Tapak Kawasan Industri,
2. Rencana Tapak Kapling,
3. Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL),
4. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL),
5. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL),
6. Tata Tertib Kawasan Industri (Industrial Estate Regulation).
Diagram alir perizinan yang harus dilalui oleh pengusaha kawasan industri disajikan dalam Gambar 5.1. Perizinan pertama kali yang harus dilalui oleh perusahaan kawasan industri adalah perizinan prinsip. Perizinan prinsip tersebut dapat diajukan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), perizinan ini sering disebut dengan prizinan prinsip fasilitas. Disamping itu perizinan ini dapat diajukan ke instansi sektoral di daerah yang berwenang membina kawasan industri (Dinas Perindustrian). Perizinan prinsi yang melewati instansi sektoral ini biasa disebut sebagai perizinan non fasilitas. Perizinan prinsip akan diikuti dengan izin lokasi, izin usaha kawasan industri (IUKI), permohonan HBG Induk, IMB, UUG dan HGB tiap-tiap kapling. Setelah perizinan tersebut dilalui maka kawasan industri tersebut sudah boleh dipasarkan, dibangun dan beroperasi kegiatan industri. Setelah kawasan industri telah dipasarkan dan sudah mulai beroperasi industri di dalamnya, maka apabila perusahaan merasa perlu memperluas kawasan industri harus mengajukan perizinan perluasan kawasan industri.

Analisis Kebutuhan Prasarana dan Sarana Kawasan Industri

Dalam melakukan analisis kebutuhan prasarana dan sarana Kawasan Industri perlu mempertimbangkan :

a. Prasarana yang wajib disediakan oleh perusahaan kawasan industri :
· Jaringan jalan lingkungan dalam kawasan industri, yaitu :
- Jaringan jalan lingkungan dengan dua arah, lebar perkerasan minimum 8 meter.
- Jaringan dua jalur dengan dua arah, lebar perkerasan minimum 2 x 7 meter
· Saluran pembuangan akhir hujan (drainase) sesuai dengan ketentuan teknis Pemda setempat.
· Instalasi penyediaan air bersih, termasuk saluran distribusi ke setiap kavling industri.
· Instalasi penyediaan dan jaringan distribusi tenaga listrik sesuai dengan ketentuan PLN
· Jaringan telekomunikasi sesuai dengan ketentuan dan persyaratan teknis yang berlaku.
· Penerangan jalan pada tiap jalur jalan.
· Unit perkantoran perusahaan kawasan industri.
· Unit pemadam kebakaran.
· Instalasi pengolahan air limbah industri, termasuk saluran pengumpulnya.
b. Prasarana dan sarana penunjang teknis lainnya yang dapat disediakan, adalah : kantin, poliklinik, sarana ibadah, rumah penginapan sementara (mess transito), pusat kesegaran jasmani (fitness centre), halte angkutan umum, areal penampungan sementara limbah padat, pagar kawasan industri, pencadangan tanah untuk perkantoran bank, pos dan pelayanan telekomunikasi (wartel), dan pos keamanan.

Sedangkan standar teknis untuk perusahaan industri pengolahan yang berada dalam kawasan industri adalah :
· Wajib melengkapi kavling industrinya dengan sarana pengendalian limbah cair, limbah gas, limbah debu, kebisingan dan bau yang mengganggu, yang dikeluarkan oleh kegiatan industrinya.
· Beban pengelolaan air limbah dapat ditempuh dengan cara sebagai berikut :
- Perusahaan Kawasan Industri meningkatkan kemampuan unit pengelolaan air limbah.
- Memasang unit pengelolaan limbah pendahuluan (pre-treatment plant) tersendiri apabila limbahnya melampaui batas kemampuan pengelolaan unit pengelolaan limbah pusat.
· Perusahaan industri yang berada dalam Kawasan Industri tidak diperkenankan mengambil air tanah untuk kegiatan industrinya.

Analisis Daya Dukung Lahan Kawasan Industri

Analisis daya dukung kawasan industri pada dasarnya diarahkan untuk mengetahui luas ketersediaan lahan untuk kawasan industri. Daya dukung lahan ini sangat terkait dengan jenis konstruksi pabrik dan jenis produksinya. Daya dukung lahan ini sangat dipengaruhi oleh jenis dan komposisi tanah, serta tingkat kelabilan tanah. Daya dukung lahan ini juga sangat mempengaruhi biaya dan teknologi konstruksi yang digunakan. Mengingat bangunan industri membutuhkan pondasi yang kokoh, maka nilai daya dukung tanah (sigma) berkisar antara 0,7 – 1,0 kg/cm2 agar diperoleh efisiensi dalam pembangunan kawasan industri.

Analisis Kebutuhan Ruang Kawasan Industri

Pembangunan kawasan industri minimal dilakukan pada areal seluas 20 hektar. Hal ini didasarkan atas perhitungan efisiensi pemanfaatan lahan atas biaya pembangunan yang dikeluarkan, dan dapat memberikan nilai tambah hagi pengembang. Disamping itu setiap jenis industri membutuhkan luas lahan yang berbeda sesuai dengan skala dan proses produksinya. Oleh karena itu dalam pengalokasian ruang industri tingkat kebutuhan lahan perlu diperhatikan, terutama untuk menampung pertumbuhan industri baru ataupun relokasi. secara umum dalam perencanaan suatu kawasan industri yang akan ditempati oleh industri manufaktur, 1 unit industri manufaktur membutuhkan lahan 1,34 Ha. Artinya bila di suatu daerah akan tumbuh sebesar 100 unit usaha industri manufaktur, maka lahan kawasan industri yang dibutuhkan adalah seluas 134 Ha.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.5 Tahun 1997, kriteria teknis untuk Kawasan Industri adalah sebagai berikut :
· Kavling-kavling industri seluas maksimum 70% dari luas kawasan (BCR atau koefisien dasar bangunan disesuaikan dengan Perda setempat).
· Ruang Terbuka Hijau dan daerah penyangga minimum 10% dari luas kawasan.
· Prasarana dan sarana penunjang teknis seluas 20% dari luas kawasan :
- Kavling saluran drainase : 8 – 14%
- Fasilitas penunjang : 6 – 12%

Analisis Tapak Kawasan Industri

Analisis tapak harus menyatakan sifat, struktur dan potensi tapak tersebut. Dalam menemukan sifat dan mengandalkannya untuk mengilhami tataguna tanah yang semestinya, analisis tapak harus mempertimbangkan dan merekam hal-hal yang terkait dengan tataguna tanah, topografi, drainase, tanah, vegetasi, iklim, kondisi yang ada serta ciri khusus (Chiara dan Koppelman, 1978 dengan perubahan).

Analisis tapak ini biasanya dilakukan pada peta topografi dengan skala 1 : 1.000. Peta ini harus mencakup tidak hanya daerah calon kawasan industri saja, tetapi juga daerah di sekitarnya.

Hal-hal yang harus dianalisis adalah :
1. Tataguna Lahan yang Berdekatan, meliputi :
· Jenis dan dampak tataguna tanah yang berdekatan,
· Arah dan jarak fasilitaspelayanan,
· Jalur dan pemberhentian transportasi umum.
2. Topografi, meliputi :
· Topografi dasar,
· Bentuk permukaan tanah khusus atau unik,
· Persentase kemiringan.
3. Drainase, meliputi :
· Daerah aliran sungai,
· Cekungan drainase,
· Daerah rawa.
4. Tanah, meliputi :
· Kedalaman dan kondisi permukaan tanah,
· Titik pengambilan sampel tanah.
5. Vegetasi, meliputi :
· Letak dan masa pohon yang ada,
· Jenis tutupan tanah.
6. Iklim
· Arah angin,
· Sudut matahari,
· Intensitas hujan rata-rata bulanan dan hari hujan.
7. Kondisi yang ada; meliputi :
· Jaringan utilitas yang ada,
· Pergerakan/sirkulasi yang saat ini ada.
8. Ciri khusus, meliputi :
· Danau atau kolam (bila ada),
· Ciri lahan khusus dan batuan,
· Pemandangan.

Analisis Kelayakan Lokasi Kawasan Industri

Kriteria kelayakan pemilihan lokasi kawasan industri menjadi suatu hal yang sangat penting jika suatu wilayah akan mendirikan suatu kawasan industri dalam rangka menunjang perkembangan industri wilayah tersebut atau dalam rangka pengendalian pemanfaatan ruang bagi kegiatan industri. Hal pokok yang harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan lokasi kawasan industri adalah mengacu pada tujuan kawasan industri sendiri yang merupakan tools atau alat bagi suatu wilayah untuk menarik investor untuk mendirikan industri di wilayah tersebut sekaligus sebagai bentuk pengendalian terhadap pemanfaatan lahan dan dampak industri itu sendiri. Oleh karena itu kepentingan investor dan pemerintah serta masyarakat harus dapat diakomodasi secara maksimal.

Analisis kelayakan lokasi kawasan industri ini Kawasan industri menggunakan data peta dengan skala minimal 1 : 10.000. Analisis kelayakan ini dilakukan dengan melakukan analisis tumpang susun (overlay) beberapa peta tematik. Beberapa data yang digunakan untuk analisis kelayakan lokasi kawasan industri adalah :
1. Kemiringan Lereng; Kemiringan lerang yang sesuai untuk kegiatan industri adalah berkisar 0 – 25 %, pada kemiringan 25 – 45 % dapat dikembangkan kawasan industri dengan perbaikan kontur, dan pada kemiringan diatas 45 % tidak dapat digunakan sebagai kawasan industri.
2. Peta Penggunaan Lahan; Kawasan industri tidak boleh dibangun pada lahan pertanian sawah produktif atau beririgasi teknis. Disamping itu kawasan industri juga tidak boleh dibangun dekat dengan pemukiman (minimal berjarak 2 Km dari permukiman dan berjarak 15–20 Km dari Pusat Kota).
3. Peta Jaringan Sarana dan Prasarana terdiri dari :
· Jaringan jalan,
· Jaringan telekomunikasi,
· Jaringan listrik atau sumber energi,
4. Peta Jaringan Sungai; idealnya suatu kawasan industri berjarak 5 km sungai tipe C atau D.
5. Peta Daya Dukung Lahan; daya dukung lahan akan mempengaruhi teknologi dan biaya pembangunan kontruksi bangunan pabrik maupun prasarana dan sarana pendukungnya. Oleh karena itu agar diperoleh efisiensi dalam pembangunannya sebaiknya nilai daya dukung tanah (sigma) berkisat antara: 0,7 - 1,0 kg/cm2.
6. Harga Lahan; Hal yang paling sensitif yang akan mempengaruhi investor dalam menentukan pilihan apakah akan mendirikan pabriknya di kawasan industri atau tidak adalah harga lahan yang ditawarkan oleh pengelola kawasan industri.
Analisis kelayakan akan lebih cepat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi geografi (SIG). Beberapa software SIG yang dapat digunakan untuk melakukan analisis tumpang susun antara lain adalah ARC INFO dan ARC VIEW. Analisis menggunakan softwarte SIG ini saat ini baru dapat dilaksanakan dengan sekali analisis meng-overlay dua tema peta, sehingga untuk enam kriteria diatas harus dilakukan minimal sebanyak 5 kali proses overlay (satu proses overlay biasanya hanya memakan waktu bebera menit, tergantung besar kecilnya ukuran data). Berdasarkan hasil analisis tersebut akan secara cepat dapat ditunjukkan lokasi-lokasi yang sesuai dan dapat dengan cepat juga dihitung luasnya.

Apabila data-data tidak berupa peta, tetapi berupa database analisis kesesuaian lokasi ini dapat digunakan dengan menggunakan fasilitas Query. Perintah Query merupakan perintah untuk menampilkan data atau memilih data dengan kriteria-kriteria tertentu.

Perbedaan analis kelayakan lokasi ini dengan kelayakan lokasi regional, adalah dalam analisis kelayakan lokasi ini tidak dikenal pembobotan dan skoring. Dalam analisis kelayakan lokasi ini hanya dikenal dua kriteria, yaitu (1) sesuai, dan (2) tidak sesuai, sehingga hasil akhir dari anlisis lokasi ini adalah deleniasi lokasi yang sesuai untuk kawasan industri.

Metode Analisis Kelayakan Regional

Analisis kelayakan regional ini diarahkan untuk menentukan apakah suatu daerah administratif (bisa berupa kabupaten/kota atau wilayah administratif yang lebih kecil) sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan industri. Informasi yang akan disajikan dari hasil analisis ini adalah urutan peringkat kesesuaian yang diwujudkan dalam nilai skor total.

Analisis pemilihan kawasan industri tersebut dilakukan dengan metode pengambilan keputusan dengan kriteria jamak (multi criterias decission system). Salah satu metode pengambilan keputusan dengan kriteria jamak adalah metode analisis proses berjenjang (Analytical Hierarchi Process=AHP).

Metode AHP mempunyai empat aksioma yang harus dipenuhi. Keempat aksioma tersebut adalah :
a. Reciprocal Comparison; aksioma ini berarti bahwa si pembuat keputusan harus bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya,
b. Homogenity; artinya bahwa preferensi dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau masing-masing kriteria dapat diperbandingkan sayu dengan yang lain,
c. Independence; preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa satu kritaria tidak dipengaruhi oleh oleh alternatif-alternatif yang ada, melainkan oleh obyektif secara keseluruhan,
d. Expectations; untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur diasumsikan lengkap (Brojonegoro, 1992).

Langkah-langkah analisis pemilihan kawasan industri adalah sebagai berikut :

1) Penetapan Kriteria, Jenjang dan Bobotnya

Kriteria kelayakan regional merupakan salah satu dasar pertimbangan untuk menentukan kelayakan pengembangan kawasan industri di suatu wilayah. Ada beberapa indikator yang berkaitan dengan penilaian kelayakan regional, antara lain adalah :

1) Posisi Relatif Suatu Kawasan, meliputi krieria sebagai berikut :
· Dukungan Wilayah Belakang,
· Persaingan dengan Wilayah Sekitarnya,
· Keuntungan Lokasi.
2) Ketersediaan Sumberdaya, meliputi kriteria :
· Ketersediaan Bahan Baku Industri,
· Ketersediaan Prasarana Transportasi Regional,
· Ketersediaan Jaringan Utilitas,
· Ketersediaan Tenaga Kerja,
· Ketersediaan Lahan Untuk Industri,
· Permasalahan lingkungan yang mungkin timbul.
3) Stabilitas Kawasan, meliputi kriteria :
· Stabilitas Politik,
· Stabilitas Sosial Budaya,
· Kepastian Hukum.
4) Perkembangan industri, meliputi :
· Persentase Pendapatan dari sektor Industri,
· Persentase Tenaga Kerja Industri
· Kecenderungan perkembangan industri.

Masing-masing keriteria tersebut akan dibandingkan tingkat kepentingannya. Perbandingan ini untuk mendapatkan bobot relatif masing-masing kriteria tersebut. Penilian tingkat kepentingan kriteria tersebut diwujudkan dalam pemberian skala 1 sampai 9. Nilai masing-masing skala tersebut adalah :
· Skala 1 = Sama Penting (EQUAL)
· Skala 2 = Diantara Sama penting dan sedikit lebih penting (EQUAL To MODERATE),
· Skala 3 = Sedikit Lebih Penting (MODERATE),
· Skala 4 = Diantara Sedikit Lebih Penting dan Penting (MODERATE TO STRONG),
· Skala 5 = Lebih Penting (STRONG),
· Skala 6 = Diantara lebih penting dan sangat penting (STRONG TO VERY STRONG),
· Skala 7 = Lebih Sangat Penting (VERY STRONG),
· Skala 8 = Diantara sangat penting dan amat sangat penting ( VARY STRONG TO EXTREME),
· Skala 9 = Lebih amat sangat penting (EXTREME)

Perhitungan bobot masing-masing kriteria tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang telah tersedia (seperti software Expert Choice atau dapat juga menggunakan software WinPre) atau dengan menghitung secara manual dengan menggunakan bilangan dan vektor eigen (eigenvalue dan eigenvector).

2) Penetapan skor masing-masing kriteria
Setelah bobot kriteria ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan nilai skor masing-masing kriteria. Penetapan skor kriteria tersebut dilakukan dengan terlebih dahulu melihat hubungan atau korelasi kriteria dengan tujuan pengembangan kawasan industri. Hubungan tersebut dapat berupa hubungan negatif atau positif. Kriteria yang mempunyai hubungan positif akan diberi skor positif, sebaliknya kriteria yang mempunyai hubungan negatif akan diberi skor negatif. Skor biasanya berjumlah ganjil (biasanya 3, 5,7 atau 9). Disamping cara peberian skor seperti telah dijelaskan di paragraf sebelumnya, penetapan skor juga dapat dilakukan dengan menggunakan nilai dari kriteria yang telah dinormalkan dengan total nilai kriteria.

3) Penghitungan Total Skor Masing-Masing Daerah Analisis
Penghitungan total skor dilakukan pada daerah-daerah yang akan dianalisis. Perhitungan total skor dilakukan dengan penjumlahan perkalian antara bobot dan nilai skor masing-masing kriteria pada daerah-daerah yang dianalisis. Formula pengitungan total skor tersebut adalah :
SkorTot = å Bobot Ki . Skor Kix , dimana
SkorTot = Skor Total Daerah x
Bobot Kix = Bobot Kriteria i pada daerah x,
Skor Kix = Skor Kriteria i pada daerah x.

Skor total tersebut kemudian diurutkan dari nilai yang paling besar ke nilai yang paling kecil. Nilai total skor yang paling besar menunjukkan bahwa daerah tersebut paling sesuai dikembangkan sebagai kawasan industri.

Kriteria Kelayakan Pemilihan Lokasi Kawasan Industri

Kriteria kelayakan regional merupakan salah satu dasar pertimbangan untuk menentukan kelayakan pengembangan kawasan industri di suatu wilayah. Ada beberapa indikator yang berkaitan dengan penilaian kelayakan regional, yakni:
1. Kondisi Wilayah Belakang (Hinterland)
2. Persaingan dengan Wilayah Sekitarnya
3. Lokasi Strategis
4. Kebutuhan Permintaan Lahan Industri
5. Kecenderungan Industri Yang berkembang
6. Ketersediaan Prasarana Transportasi Regional
7. Ketersediaan Jaringan Utilitas
8. Masalah Lingkungan
9. Ketersediaan Sumberdaya Manusia
10. Jaminan Keamanan

1. Potensi Wilayah Belakang (Hinterland)

Kondisi wilayah hinterland perlu menjadi pertimbangan dalam penilaian "kelayakan pengembangan kawasan industri yakni sampai sejauh mana potensi sumberdaya alam yang ada di wilayah hinterland sudah diolah oleh industri hulu/dasar yang bersifat raw material oriented. Sementara jenis industri yang akan dikembangkan di kawasan industri lebih bersifat footloose industry serta memanfaatkan kentungan lokasi.

2. Persaingan dengan Wilayah Sekitarnya

Kriteria lain yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kelayakan pengembangan kawasan industri adalah mencermati wilayah lain di sekitarnya apakah sudah atau tidak ada kawasan industri, terutama yang berada dalam satu sistem jaringan transportasi regional dengan satu outlet (pelabuhan) dimana persaingan usaha kawasan industri akan terjadi dalam radius 100 Km. Apabila di wilayah yang berdekatan sudah memiliki kawasan industri namun sistem jaringan transportasi regional menuju outlet tidak sama, maka masih dimungkikan untuk mengembangkan kawasan industri.

3. Lokasi Strategis

Suatu wilayah akan layak untuk mengembangkan kawasan industri bilamana wilayah tersebut secara regional terkoneksi dengan system jaringan perekonomian yang cukup baik dengan wilayah lain. Dalam pertimbangan ini indikator yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan pengembangan kawasan industri adalah bagaimana wilayah tersebut memiliki keuntungan lokasi (location advantage) dan posisi geografis yang strategis terhadap system jaringan perekonomian global dan regional terutama melalui jalur transportasi laut maupun transportasi darat.

4. Kebutuhan Permintaan Lahan Industri

Suatu wilayah akan layak untuk mengembangkan kawasan industri apabila dalam wilayah tersebut kebutuhan permintaan lahan industri cukup tinggi. Kebutuhan minimum lahan untuk suatu kawasan industri layak dikembangkan adalah 20 Ha dengan waktu pengembalian investasi maksimal 3 tahun. Dengan demikian jika dilihat dari kebutuhan lahan, suatu kawasan industri akan layak dikembangkan di suatu wilayah jika permintaan lahan rata-rata per tahunnya sekitar 7 – 10 Ha. Besaran kebutuhan lahan untuk pengembangan kawasan industri yang cukup ideal adalah sekitar 100 Ha. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan upaya-upaya spekulasi tanah.

5. Kecenderungan Industri Yang berkembang

Suatu wilayah akan layak untuk mengembangkan kawasan industri apabila perkembangan industri manufaktur dan pengolahan dengan tingkat pertumbuhan minimum 5 unit usaha (rata-rata kebutuhan lahan industri manufaktur sekitar 1,32-1,34 Ha).

Perkembangan industri di suatu wilayah sulit untuk diprediksi secara tepat. Namun dalam suatu wilayah terdapat kecenderungan tumbuhnya industri dalam satu keterkaiatan input-output, dimana terdapat satu atau dua industri utama dan didukung oleh industri-industri lainnya sebagai vendor.

6. Ketersediaan Prasarana Transportasi Regional

Kelayakan untuk mengembangkan kawasan industri di suatu wilayah sangat erat kaitannya dengan ketersediaan prasarana transportasi regional untuk mendukung pemasaran maupun bahan baku. Adapun prasarana transportasi regional yang dibutuhkan
a. Ketersediaan pelabuhan laut untuk difungsikan sebagai simpul outlet produk industri
b. Sistem jaringan jalan regional (Arteri dan Kolektor Primer) akan berfungsi untuk menghubungkan antara suatu wilayah dengan pelabuhan (outlet)

7. Ketersediaan Jaringan Utilitas

Selain ketersediaan prasarana transportasi regional, hal yang cukup penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu kriteria dalam pengembangkan kawasan industri adalah sbb:
§ Ketersediaan sumberdaya listrik dengan kapasitas yang memadai serta sistem distribusi jaringan listrik
§ Ketersediaan Sumber Air sebagai air baku industri baik bersumber dari air permukaan, air tanah maupun PDA
§ Ketersediaan jaringan telekomunikasi yang mampu memenuhi permintaan untuk kebutuhan kawasan industri

8. Masalah Lingkungan

Salah satu faktor yang mendorong tumbuhnya kawasan industri adalah karena adanya tekanan pertumbuhan industri secara individual yang sudah menimbulkan gangguan dan pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya.

Bila sudah terjadi konflik pemanfaatan lahan antara industri dengan permukiman, maka sudah sepatutnya industri tersebut diarahkan ke dalam kawasan industri.
Apabila konflik kepentingan antara pemanfaatan lahan industri dengan permukiman sudah semakin meningkat maka sudah selayaknya wilayah tersebut untuk segera mengembangkan kawasan industri.

9. Ketersediaan Sumberdaya Manusia

Suatu wilayah akan layak untuk mengembangkan kawasan industri bilamana wilayah tersebut memiliki potensi sumberdaya manusia dengan kualifikasi SLTP ke atas dalam jumlah yang memadai. Kebutuhan tenaga kerja untuk setiap hektar kawasan industri yang akan dikembangkan berkitar antara 90 – 110 orang. Jadi apabila suatu wilayah akan mengembangkan kawasan industri seluas 100 Ha maka akan membangkitkan kebutuhan tenaga kerja sebesar 9.000 – 11.000 orang dengan tingkat pendidikan SLTA ke atas.

10. Jaminan Keamanan

Jaminan keamanan merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan untuk menjamin keberlangsungan kegiatan industri. Layak tidaknya suatu daerah mengembangkan kawasan industri sangat bergantung dengan seberapa mampu wilayah tersebut menjamin keamanan bagi investor yang telah mengembangkan industrinya di wilayah tersebut.

Produk Hukum dan Perijinan yang Terkait dengan Kawasan Industri

Secara hierarkhis peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kawasan industri tersusun dengan urutan sebagai berikut :
a. Undang-Undang :
1. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
2. Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, khususnya pasal 22 butir 4;
3. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah;
4. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah (Pusat) dan Daerah.

b. Peraturan Pemerintah :
1. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan, dan Pengembangan Industri;
2. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri;
3. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom;
4. Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Peringkat Daerah.

c. Keputusan Presiden :
1. Keppres No. 33 Tahun 1990 tentang Pembangunan Tanah bagi Pembangunan Kawasan Industri, khususnya pasal 7;
2. Keppres No. 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri;
3. Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan.

d. Peraturan Menteri/Keputusan Menteri :
1. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1992 tentang Rencana Tapak Tanah dan Tata Tertib Pengusahaan Kawasan Industri serta Prosedur Pemberian IMB dan Ijin Undang-undang Gangguan (UUG)/HO bagi Perusahaan yang Berlokasi dalam Kawasan Industri;
2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 589/MPP/Kep/10/1999 tentang Penetapan Jenis-Jenis Industri dalam Pembinaan Masing-masing Direktorat Jenderal dan Kewenangan Pemberian Izin Bidang Industri dan Perdagangan di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan;
3. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kep-51/MenLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri.Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 291/M/SK/10/1989 tentang Tata Cara Perizinan dan Standar Teknis Kawasan Industri;
4. Keputusan Menteri Perindustrian No. 30/M/SK/4/1991 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Penetapan Kawasan Industri yang Diberi Status Kawasan Berikat;
5. Keputusan Menteri Perindustrian No. 230/M/SK/1993 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian No. 291/M/SK/10/1989;
6. Keputusan Menteri Perindustrian No. 231/M/SK/1993 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian No. 30/M/SK/4/1991;
7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 589/MPP/Kep/10/1999 tentang Penetapan Jenis-Jenis Industri dalam Pembinaan Masing-masing Direktorat Jenderal dan Kewenangan Pemberian Izin Bidang Industri dan Perdagangan di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan;
8. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Kep-51/MenLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri.

Dengan adanya otonomi daerah dalam proses ijin usaha kawasan industri yang sebelumnya dikeluarkan di Pusat, yaitu oleh BKPM untuk investasi dengan fasilitas PMA/PMDN dan oleh Menperindag untuk investasi nonfasilitas, maka pada era otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dan PP No. 84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Peringkat Daerah ijin usaha kawasan industri baik yang bersifat fasilitas maupun nonfasilitas dikeluarkan oleh Dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung Jawab di bidang Industri.

Permasalahan yang perlu dan penting dipertimbangkan dalam mekanisme pelimpahan wewenang ini adalah dalam kasus dimana Kawasan Industri yang akan dikembangkan berada pada daerah industri perbatasan dari dua atau lebih Kabupaten/Kota (daerah otonomi) dan areal perencanaan ataupun pengembangan berada di dua atau lebih daerah otonomi, maka yang berwenang mengeluarkan ijinnya harus menjadi pusat perhatian agar tidak terjadi konflik. Untuk menjawabnya, fungsi, peran, kedudukan dan wewenang Gubernur Cq Dinas Propinsi yang bertanggung jawab di bidang industri perlu mendapat penegasan dan penetapan. Makna sebagai koordinator yang mengintegrasikan pemerintahan kabupaten/kota yang ada dalam satu propinsi perlu mendapat perumusan yang jelas, tegas dan lugas.

Pengusahaan Kawasan Industri

Berdasarkan Keputusan Presiden No 41 Tahun 1996 tentang Kawasan Industri, suatu kawasan industri harus dikelola oleh suatu Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Definisi dari Perusahaan Kawasan Industri tersebut adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan/atau pengelolaan Kawasan Industri. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang merupakan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia yang mengelola Kawasan Industri. Perusahaan kawasan industri dapat berbentuk :a. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);b. Koperasi;c. Prusahaan Swasta Nasional;d. Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal Asing;e. Badan Usaha Patungan antar badan-badan usaha tersebut (BUMN/BUMD, Koperasi, Perusahaan Swasta Nasional dan Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal Asing. Perusahaan Kawasan Industri mempunyai beberapa tugas utama, yaitu antara lain : melakukan persiapan-persiapan penyediaan tanah, perencanaan, penyusunan rencana tapak tanah di kawasan industri dan usaha pembangunan, perizinan, pengadaan, pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan, dan sebagainya serta AMDAL. Departemen Perindustrian dan Perdagangan mempunyai kewenangan dalam hal pengaturan, pembinaan dan pengembangan kawasan industri. Dalam perkembangan sejak pasca Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri (peraturan yang mengatur kawasan industri sebelum dikeluarkannya Keppres No. 46/1996), pemerintah memperbolehkan dunia usaha swasta dalam negeri/asing untuk mengembangkan kawasan industri. Untuk keperluan pengembangan kawasan industri, maka perusahaan kawasan industri dapat memperluas kawasan industri dengan mengajukan Izin Perluasan Kawasan Industri. Perluasan kawasan industri ini harus mempertimbangkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Berdasarkan peraturan yang ada tanah yang dimiliki oleh satu perusahaan atau beberapa perusahaan yang sekurang-kurangnya luasnya 10 (sepuluh) hektar di dalam Kawasan Peruntukan Industri yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah serta sudah dimanfaatkan untuk kegiatan industri, dapat dtetapkan sebagai Kawasan Industri. Perusahaan sebagaimana dimaksud di atas mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan Perusahaan Kawasan Industri.

Konsepsi Kawasan Industri

Kebijakan di bidang sektor industri dalam hal pengaturan penggunaan lahan untuk kawasan industri pada saat ini perlu dilakukan. Hal ini untuk mendorong terjadinya pemanfaatan ruang yang lebih efisien dan efektif sehingga lahan yang dialokasikan tersebut benar-benar mampu bernilai atau berkontribusi terhadap pengembangan wilayah. Selain itu juga mengingat sifat ketersediaan lahan yang tidak tak terbatas. Kawasan industri diupayakan hanya berlokasi di kawasan-kawasan tertentu saja dengan ditunjang keberadaan manajemen penggunaan lahan industri.

Definisi kawasan industri berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1996 Tentang Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.. Dengan definisi tersebut maka keberadaan kawasan industri di suatu lokasi ditunjukkan dengan ciri-ciri umum sebagai berikut : pertama, adanya lahan yang sudah dilengkapi dengan sarana dan prasarana dengan kapling tanah minimial; kedua, adanya suatu badan/manajemen pengelola yang telah memiliki izin usaha kawasan industri; dan ketiga, pada umumnya banyak diisi oleh industri manufaktur (pengolahan multi jenis).

Segala kemudahan yang disiapkan di kawasan industri diharapkan dapat mempermudah pembangunan dan pengendalian industri. Dengan adanya segala kemudahan yang disiapkan di kawasan itu, diharapkan pihak industri dapat memperkecil ongkos investasi maupun operasinya. Selain itu dengan terkelompoknya industri di satu kawasan, juga diharapkan dapat mempermudah upaya pengelolaanya dan pengendalian dampak pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas industri yang berlangsung.

Pembangunan kawasan industri di suatu wilayah diperlukan karena dapat :
· Mempercepat pertumbuhan industri,
· Memberikan kemudahan bagi kegiatan industri,
· Mendorong kegiatan industri untuk berlokasi di kawasan industri, dan
· Meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan.

Di wilayah kabupaten/kota yang telah mempunyai iklim investasi industri yang tinggi, pengembangan kawasan industri mempunyai manfaat sebagai alat untuk memaduserasikan dengan penataan ruang dan meminimalisasikan dampak pencemaran lingkungan. Sedangkan untuk wilayah-wilayah “remote”/belum berkembang, pengembangan kawasan industri dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan stimulator/pendorong iklim investasi. Manfaat lain yang sering terjadi adalah terciptanya profit/keuntungan untuk semua pihak. Dan hal yang cukup penting adalah adanya kepastian hukum lokasi tempat usaha, sehingga terhindar dari segala bentuk gangguan dan diperolehnya rasa amenitis bagi dunia usaha.

Secara sektoral pembangunan Kawasan Industri bagi perkembangan dunia industri adalah untuk :
1. Percepatan pembangunan industri regional
2. Menstimulasi Agglomerasi Industri
3. Penyediaan Fasilitas untuk Aktifitas Industri, dan
4. Promosi Pembangunan Berkelanjutan yang Ramah Lingkungan.

Pada umumnya kawasan industri dibangun pada lahan yang non produktif dan yang tidak terdapat sarana irigasi teknis. Penempatan lokasi kawasan industri secara umum telah terencana dengan baik dalam suatu master plan yang dikaitkan dengan tata ruang wilayah sekitar sesuai dengan kondisi wilayah setempat sehingga diharapkan tidak terjadi benturan kepentingan dan timbulnya konflik dengan lingkungan sekitar.

Dengan keberadaan industri di dalam kawasan industri maka akan memberikan keuntungan bagi pengusaha kawasan industri, investor, pemerintah dan masyarakat. Bagi pengusaha kawasan industri, dengan adanya tingkat pemanfaatan kawasan industri yang semakin tinggi maka profit/keuntungan akan semakin meningkat pula. Sedangkan keuntungan yang diperoleh pemerintah, investor dan masyarakat dapat dilhat pada Tabel 2.1.

Manfaat pengembangan kawasan industri dalam skala wilayah, mengarah kepada:
a. Memanfaatkan kondisi sosial, infrastruktur, dan sumberdaya alam dalam wilayah tertentu,
b. Memperbesar peluang partisipasi masyarakat setempat dalam proses perkembangan industri
c. Meningkatkan optimasi tata ruang wilayah(Studi Nasional Kawasan Industri di Indonesia, Executive Summary, 1984)

Untuk membahas mengenai kawasan industri tidak terlepas dari tujuan, kegiatan industri di dalamnya, dan lokasinya. Secara lebih terinci kawasan industri dapat diklasikasikan dalam tipe-tipe tertentu menurut (G. Kartasapoetra, 1987) : lokasi, fungsi atau aktivitas industri di dalamnya, motivasi atau tujuan pendiriannya, dan lembaga yang mempunyai inisiatif mendirikan kawasan industri.
Berdasarkan fungsi dan tipe industri yang dikembangkan, kawasan industri dapat digolongkan atas :
a. Kawasan industri majemuk, yaitu apabila kawasan tersebut berisikan perusahaan-perusahaan yang melakukan berbagai macam kegiatan
b. Kawasan industri pembantu, apabila kawasan tersebut berisikan perusahaan-peusahaan yang umumnya berskala kecil, yang keseluruhannya merupakan pendukung dari perusahaan-perusahaan besar tertentu
c. Kawasan industri khusus, yang sering juga disebut kawasan industri fungsional, karena perusahaan-perusahaan yang ada dalam kawasan tersebut bergerak dalam suatu kegiatan industri yang sejenis, atau menghasilkan produk dalam kelompok yang sama.

Motivasi pendirian suatu kawasan industri erat kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Berdasarkan motivasi pendiriannya, kawasan industri dapat dikelompokkan menjadi :
1. Pengembangan, yaitu apabila kawasan industri dimaksudkan untuk meningkatkan atau mendorong perkembangan kegiatan industri di daerah
2. Promosi, yaitu apabila kawasan industri dimaksudkan untuk mendorong masuknya industri baru dan peningkatan industri-industri yang telah ada dalam daerah yang ekonominya rawan, termasuk dalam kawasan ini adalah industri pedesaan
3. Penyebaran, yaitu apabila kawasan industri dimaksudkan untuk menampung perusahaan-perusahaan yang memerlukan tempat bagi perluasan usahanya, atau karena alasan-alasan lingkungan, diwajibkan pindah dari lokasinya yang terdahulu atau dari daerah perkotaan karena tidak sesuai dengan tata kota.

Strategi Peningkatan Daya Saing Kabupaten/Kota

Persoalan daya saing daerah atau daya saing kabupaten dan kota mulai muncul dan menjadi persoalan yang serius sejak Republik ini mengalami krisis ekonomi dan melaksanakan desentralisasi ekonomi. Otonomi daerah secara langsung atau tidak telah mendorong tumbuhnya pemikir–pemikir lokal yang concern terhadap daerahnya masing–masing. Dan sejak itu persoalan daya saing daerah mulai menjadi wacana.
Dalam banyak wacana dan diskusi, daya saing daerah sering diperspektif kan sebagai keunggulan daerah dalam merebut sumber kesempatan yang sangat terbatas. Bahwa daerah yang memiliki daya saing adalah daerah yang akan memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya ekonomi yang sudah mulai menipis. Persepsi seperti itu sudah barang tentu tidak sepenuhnya benar. Daya saing suatu daerah mempunyai keterkaitan yang sangat luas kepada aspek–aspek teknologi, sumber daya manusia, infrastruktur dan bahkan aspek kebudayaan yang menunjang terbentuknya masyarakat produktif di suatu daerah atau wilayah.

Indikator Daya Saing Daerah
Tolok ukur daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh banyak faktor. Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu :
a. Factor Condition, yaitu kapasitas SDA, SDM dan infrastruktur,
b. Strategy, Structure dan pola persaingan bisnis yang ada di masyarakat,
c. Demand Condition, yaitu keadaan perekonomian lokal secara umum,
d. Related and Supporting Industries, yaitu keterkaitan dan jaringan bisnis serta industri dengan industri dan daerah lain.
Sementara itu, Abdullah (2002) dalam bukunya “Daya Saing Daerah”, menyebutkan bahwa sekurang–kurangnya ada 9 (sembilan) indikator utama penunjang daya saing perekonomian suatu daerah. Kesembilan faktor tersebut antara lain adalah:
1. Perekonomian Daerah. Perekonomian daerah ini merupakan ukuran kinerja makro ekonomi yang merupaka ukuran kinerja umum suatu daerah. Tolok ukur yang terlibat di sini antara lain adalah, indeks biaya hidup, pertumbuhan ekonomi di masa lalu, tingkat konsumsi masyarakat dan lain –lain.
2. Keterbukaan. Indikator ini menggambarkan kemampuan daerah untuk berinteraksi dengan daerah lain di sekitarnya. Kemampuan untuk berinteraksi dengan daerah lain akan meningkatkan kemapanan peran daerah terhadap wilayah sekitarnya.
3. Sistim Keuangan. Sistem ini akan membantu memperkuat daerah dalam keberpihakannya melakukan realokasi resources.
4. Infrastruktur dan sumber daya alam. Kapasitas infrastruktur dan teknologi yang dimiliki oleh suatu daerah akan memperkuat percepatan pertumbuhan ekonomi daerah.
5. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kemampuan masyarakat dalam menerapkan teknologi yang sesuai dengan pemikirannya.
6. Sumber Daya Manusia. Tingkat pendidikan, ketrampilan dan sikap budaya masyarakat.
7. Kelembagaan. Iklim sosial politik serta hukum yang ada di masyarakat.
8. Governance dan Kebijakan Pemerintah. Kualitas administrasi pemerintah dalam menunjang produktifitas masyarakat.
9. Manajemen dan Ekonomi Mikro. Kemampuan masyarakat mengelola usahanya dengan cara moderen dan efisien.

Dari kedua catatan indikator daya saing itu, kita dapat simpulkan bahwa daya saing suatu wilayah bukanlah persoalan statis akan tetapi lebih merupakan persoalan dinamis dan menyesuaikan dengan perubahan yang ada.
Meskipun hampir semua faktor yang mempengaruhi daya saaing itu berubah, akan tetapi ada faktor yang di luar kendali pemerintah dan ada faktor yang berada dalam kendali pemerintah. Faktor penting yang berada di dalam kendali pemerintah antara lain adalah faktor kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Faktor lain yang biasa dikendalikan oleh pemerintah melalui regulasinya adalah sistem keuangan. Sedangkan sektor swasta memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan indikator keterbukaan.

Daya Saing Provinsi DI Yogyakarta.
Sejak diimplementasikannya UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DI Yogyakarta) terbagi menjadi lima daerah otonom kabupaten/kota. Kelima kabupaten/kota tersebut memiliki karakteristik yang berbeda–beda satu sama lainnya. Daerah yang tumbuh cepat di Provinsi DI Yogyakarta adalah Kabupaten Sleman. Sedangkan Kabupaten Bantul merupakan daerah padat penduduk dengan tingkat intensitas pertanian tanaman pangan yang relatif tinggi. Daerah urban terdapat di kota Yogyakarta dengan karakteristik indutri kecil dan pedagang kaki limanya. Kedua daerah lainnya yaitu Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo adalah dua daerah yang relatif luas dan masih belum cukup menikmati hasil pembangunan yang ada selama ini.
Secara umum kabupaten dan kota di Provinsi DI Yogyakarta memiliki endowment yang cukup dalam persaingan antar daerah. Akan tetapi dalam beberapa hal kabupaten dan kota di Provinsi DI Yogyakrta tidak cukup memiliki mesin penggerak ekonomi yang memadai seperti misalnya jaringan enterpreneur yang solid dengan daerah lain, hubungan perdagangan tradisional yang terpelihara dengan negara lain atau bahkan sistem perbankan yang berwawasan nasional dan bahkan global. Faktor–faktor terakhir ini merupakan faktor strategis yang relatif jarang dimiliki oleh kabupaten/kota atau daerah otonom pasca UU no 22 tahun 1999.
Secara keseluruhan, (sekurang – kuramgnya menurut Abdullah) provinsi DI Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki daya saing “tinggi” apabila dibandingkan dengan ketigapuluh provinsi di Indonesia lainnya. Dari kombinasi indikator yang dikemukakan tersebut, Provinsi DI Yogyakarta menduduki peringkat ke-6. Meskipun demikian dari kesembilan indikator pemeringkatan yang dianalisa tersebut, hanya indeks Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, indeks SDM dan indeks Managemen dan Ekonomi Mikro saja yang memiliki peringkat distinction, yaitu peringkat tiga dan dua. Dengan kata lain, Provinsi DI Yogyakarta memiliki keunggulan terkuat pada hal–hal yang terkait dengan endowment yang dimiliki dari hasil pembangunan ekonomi selama jangka waktu yang cukup panjang. Keunggulan ini cukup memperkuat daya saing Provinsi DI Yogyakarta, namun demikian dalam kaitannya dengan strategi pengembangan daya saing, keunggulan daya saing seperti yang dimiliki Provinsi DI Yogyakarta itu tidak bisa dibangun dalam jangka yang relatif pendek. Oleh karenanya diperlukan pemikiran untuk menyiasati peningkatan daya saing Provinsi DI Yogyakarta melalui pengembangan indikator yang relatif tidak unggul. Dari kesembilan indikator tersebut diatas sebenarnya ada dua indikator strategis yang perlu dikembangkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua indikator penting itu adalah indikator Keterbukaan dan indikator Sistem Keuangan. Pada kedua indikator tersebut, secara kebetulan Provinsi DI Yogyakarta tidak memiliki peringkat yang baik. Untuk indikator Keterbukaan, Provinsi DI Yogyakarta menduduki peringkat ke–15. Sedangkan indikator Sistem Keuangan Provinsi DI Yogyakarta menduduki peringkat ke-8. Apabila kedua indikator ini biasa didorong untuk meningkat lebih cepat, maka Provinsi DI Yogyakarta akan tumbuh lebih pesat dan mampu bersaing lebih baik dari wilayah lain.


Strategi Daya Saing Ekonomi
Daya saing ekonomi sekali lagi bukan sekadar daya saing yang bersifat statis. Daya saing ekonomi lebih banyak ditentukan oleh endowment dan kemampuan memanfaatkan endowment tersebut kedalam kancah pergaulan ekonomi dengan masyarakat lain didaerah lain, sehingga terbangun nilai tambah yang “berpihak” kepada kepentingan masyarakat kita.
Dari pembahasan dengan kasus Provinsi DI Yogyakarta itu, maka dapat dipahami bahwa meskipun Provinsi DI Yogyakarta memiliki keunggulan SDA dan Iptek yang sangat tinggi, akan tetapi apabila masyarakat dan pemerintah tidak mampu untuk mengelola keunggulan itu menuju kepada nilai tambah yang tinggi, maka daya saing itu tidak akan menjadi daya saing ekonomi yang memadai. Oleh karena itu, bagi masyarakat Provinsi DI Yogyakarta, strategi yang sangat diperlukan dalam jangka pendek adalah meningkatkan indeks Keterbukaan dan indeks Sistem Keuangan untuk menjadi lebih baik.
Indeks Keterbukaan yang lebih baik akan menghasilkan keterkaitan ekonomi dengan wilayah lain secara lebih erat dan berhasil guna lebih tinggi. Indeks Keterbukaan yang lebih tinggi mencerminkan kemampuan enterpreneur Provinsi DI Yogyakarta yang lebih tinggi untuk memperluas jaringan ekonomi dengan masyarakat sekitarnya, sehingga mampu menciptakan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pembangunan terminal kargo atau pelabuhan atau bandara internasional merupakan salah satu kunci peningkatan indeks keterbukaan ini. Dengan dilakukannya penerbangan langsung ke luar negeri akan terbentuk jaringan perdagangan yang lebih luas dan saling memanfaatkan yang akan mendorong pertumbuhan perekonomian secara lebih pesat. Sementara itu indeks sistem keuangan yang lebih baik akan membantu terbangunnya investasi di daerah yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan ekionomi lokal. Salah satu strategi untuk meningkatkan indikator ini adalah dengan membangun sistem perbankan lokal yang berskala nasional atau global. Dengan perbankan lokal bertaraf nasional atau global ini akan tercipta suatu daerah yang menjadi pusat ekonomi berjaringan luas dan memiliki kedaulatan ekonomi. Dengan cara ini pola pembangunan ekonomi akan lebih terarah.

Kesimpulan
Strategi peningkatan daya saing ekonomi wilayah kabupaten/kota, pada dasarnya ditentukan oleh banyak hal. Beberapa hal yang sangat penting untuk dicermati antara lain , pertama adalah penguasaan dari endowment yang telah dimiliki selama ini. Faktor kedua yang menjadi sangat penting dan justru sering terlupakan adalah kerjasama dengan daerah disekitarnya, yang pada saat yang sama sedang dibanding–bandingkan indeks daya saingnya. Dengan kata lain, meskipun di antara daerah terjadi persaingan yang ketat untuk memperoleh “kue perekonomian“, pada saat yang sama kerjasama yang kuat justru harus terjadi untuk meningkatkan daya saing masing–masing persaingan. Kadang–kadang harus melalui logika yang paradoksikal.

Sektor Jasa Sebagai Penentu Daya Saing dengan SNSE

Sebagai sebuah kota terbesar di Indonesia, Jakarta menyimpan berbagai fenomena perkotaan yang sangat kompleks. Di bidang ekonomi, salah satu fenomena tersebut adalah besarnya peranan sektor jasa dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, pada tahun 2000 peranan sektor jasa mencapai 64,89 persen dari total PDRB Jakarta. Selebihnya, 34,80 persen merupakan sumbangan sektor industri dan 0,31 persen sektor pertanian.
Keadaan tersebut tidaklah mengherankan. Sebagai sebuah kota yang masuk kategori metropolitan, maka sudah semestinya dominasi sektor jasa cukup kuat. Kuatnya dominasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sektor jasa memegang peranan utama dalam menentukan daya saing Jakarta. Kota lain di Indonesia yang perekonomiannya banyak bersandar pada sektor jasa adalah Medan dan Surabaya. Peranan sektor jasa di Kota Medan mencapai 67,16 persen dan Kota Surabaya 53,24 persen pada tahun 2000.
Namun demikian dibandingkan Medan dan Surabaya, Jakarta merupakan sebuah kawasan perkotaan yang jauh lebih besar dipandang dari berbagai ukuran. Jumlah penduduk Jakarta mencapai 8.384.853 jiwa pada tahun 2000, sementara jumlah penduduk Medan dan Surabaya secara berturut-turut adalah 1.933.771 dan 2.599.796 jiwa. PDRB Jakarta atas dasar harga berlaku pada tahun 2000 mencapai Rp.194.278.587,1 juta; sedangkan Medan Rp. 13.958.606,5 juta dan Surabaya Rp. 41.070.326,1 juta. Dalam kapasitasnya menghasilkan jasa, PDRB sektor jasa per kapita selama tahun 2000 sebesar Rp. 15.035.974,00 di Jakarta dan Rp. 4.848.408,00 di Medan serta Rp. 8.410.189,00 di Surabaya.
Sebagai konsekuensi dari kota jasa, maka kandungan ‘jasa’ dari setiap komoditas yang dikonsumsi masyarakat juga cukup tinggi. Hasil penelitian Cendron,dkk (1982) di daerah perkotaan di Perancis menunjukkan bahwa di dalam harga setiap buah brugnons yang dibayar masyarakat terdapat kandungan jasa sebesar 77,5 persen. Maksudnya biaya penanaman dan pemetikan buah brugnons tersebut hanyalah 22,5 persen dari harga yang dibayar konsumen. Selebihnya, 77,5 persen, adalah biaya conditioning, margin perantara, margin wholesale dan margin eceran. Hasil penelitian Cendron, dkk, untuk kemeja menunjukkan bahwa di dalam harga kemeja yang dibayar masyarakat, 57,6 persen adalah biaya jasa. Beberapa tahun sebelumnya Lalond, dkk (1970) melakukan penelitian di USA untuk barang-barang manufaktur. Hasilnya menunjukkan bahwa 52 persen dari harga yang dibayar masyarakat (konsumen) merupakan biaya jasa.
Contoh-contoh di atas memberikan gambaran bahwa sebagian besar penduduk kota bekerja di sektor jasa, apakah itu perdagangan, pengangkutan, pergudangan, keuangan, dan jasa-jasa lainnya. Untuk Jakarta, jumlah tenaga kerjanya adalah 3.426.731 orang, sebanyak 2.188.050 orang diantaranya atau 63,85 persen bekerja di sektor jasa.
Fenomena ekonomi lain mengenai Jakarta adalah terdapatnya kesenjangan pendapatan antara kelompok berpendapatan rendah dan tinggi. Dari data BPS DKI Jakarta terungkap bahwa pada tahun 2000, kelompok 40 persen rumah tangga termiskin di Jakarta memperoleh bagian 10,39 persen dari total pendapatan disposabel (disposable income), sedangkan kelompok 20 persen rumah tangga terkaya menikmati 62,56 persen. Jika yang diperbandingkan adalah kelompok 10 persen terbawah dan teratas, maka kelompok 10 persen rumah tangga termiskin menerima 1,67 persen dan kelompok 10 persen rumah tangga terkaya menikmati 49,14 persen bagian dari total pendapatan disposabel Jakarta. Artinya, dalam ukuran total pendapatan rumah tangga terkaya sama dengan 29,38 kali pendapatan rumah tangga termiskin.
Dalam ukuran rata-rata, pendapatan per kapita kelompok 10 persen rumah tangga termiskin adalah Rp.1.691.380,00 dan kelompok 10 persen rumah tangga terkaya adalah Rp.83.532.200,00 per tahun. Dengan demikian pendapatan per kapita 10 persen rumah tangga terkaya sekitar 49,39 kali pendapatan per kapita 10 persen rumah tangga termiskin.

Permasalahan
Dari latar belakang di atas dapat disarikan bahwa disamping memiliki ciri sebagai kota jasa, Jakarta juga menanggung beban ketimpangan pendapatan. Inilah pokok permasalahan penelitian yang akan dikaji. Selanjutnya dari pokok permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Adakah hubungan antara besarnya peranan sektor jasa dengan timpangnya distribusi pendapatan di Jakarta?
2) Seberapa besar kontribusi sektor jasa terhadap pendapatan keluarga miskin dan kaya di Jakarta?
3) Kebijakan apa yang bisa diterapkan terhadap sektor jasa untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di Jakarta?

Tujuan, Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menjawab permasalahan-permasalahan di atas. Langkah-langkah yang dilakukan untuk itu adalah merumuskan batasan sektor jasa itu sendiri, melihat peranannya selama ini di Jakarta dan melakukan analisis terhadap perkembangan sektor jasa dikaitkan dengan kualitas distribusi pendapatan.
Kerangka analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang lebih dikenal dengan nama Social Accounting Matrix (SAM). Pemilihan SNSE sebagai kerangka analisis karena kemampuannya menangkap kaitan-kaitan kegiatan ekonomi secara menyeluruh sampai pada kelompok-kelompok rumah tangga yang terlibat. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan analisis distribusi pendapatan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perumusan kebijakan ekonomi di Jakarta dengan memberikan ruangan bagi berkembangnya sektor jasa yang secara alamiah memang akan berkembang pesat, dengan tidak meninggalkan aspek distribusi pendapatan yang lebih merata. Dengan demikian maka, lebih dari sekedar menjadi kota jasa, Jakarta dapat diharapkan menjadi kota jasa yang berkualitas.


Sektor Jasa dalam Struktur Ekonomi Jakarta

Komponen Sektor Jasa
Dalam sebuah daftar PDRB yang terbagi atas banyak sektor, sektor-sektor mana saja yang tergolong sektor jasa? Sebelum menentukan sektor-sektornya, penelitian ini berusaha memberi batasan terlebih dahulu mengenai sektor jasa. Sektor jasa dapat diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan ‘pelayanan’ bagi konsumennya. Bedakan misalnya dengan sektor industri yang menghasilkan ‘barang’ olahan—yang diubah dari berbagai bahan baku atau bahan dasar. Memang, dalam menghasilkan pelayanan, sektor jasa tidak jarang harus menghasilkan juga ‘barang’ olahan. Namun demikian barang yang dihasilkan tersebut hanyalah sebagai pelengkap, sedangkan tujuan utamanya adalah memberikan pelayanan.
Sejalan dengan itu Pangestu Subagyo (2000) menyebutkan bahwa jasa wujudnya tidak mudah diketahui tetapi dapat dirasakan, biasanya dilengkapi dengan barang sebagai penyampai atau penghantar jasa. Riddle (1986) lebih menekankan pada waktu dan tempat yang dipersembahkan (dikorbankan) oleh penjual untuk memberikan kepuasan bagi pembeli, sebagai ciri dari sektor jasa. Sedangkan Chase dan Aquilano (1989) menguraikan sektor-sektor yang termasuk dalam kegiatan jasa adalah: jasa keuangan, jasa pemerintahan, jasa komunikasi, jasa transportasi, jasa pendidikan, restoran, perdagangan besar dan eceran, hotel dan penginapan, serta jasa hiburan.
Berdasarkan batasan dan referensi di atas, dengan memperhatikan kebiasaan pendataan statistik di Indonesia, maka sektor-sektor yang masuk dalam kategori sektor jasa yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 9.1. Kolom paling kanan menunjukkan nomor sektor tersebut dalam pengklasifikasian yang dilakukan dalam SNSE DKI Jakarta tahun 2000 ukuran 103x103.

Sektor Jasa dalam PDRB JakartaDengan dasar pembagian seperti terdapat dalam tabel 9.1. maka peranan sektor jasa dalam struktur ekonomi—dalam hal ini diwakili oleh PDRB—Jakarta dapat dijelaskan. Tabel 9.2 memberikan gambaran struktur PDRB tersebut, untuk tahun 1995 dan tahun 2000. Dapat dilihat dalam tabel tersebut bahwa secara keseluruhan struktur ekonomi Jakarta tidak mengalami perubahan, meskipun terjadi krisis besar yang melanda perekonomian Indonesia. Struktur ekonomi Jakarta tahun 2000 tidak jauh berbeda dari tahun 1995, meskipun pada tahun1997-1998 dilanda krisis ekonomi.
Sektor jasa meliputi sektor-sektor: perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa lain. Apabila peranan keempat sektor tersebut dijumlahkan, maka dapat dihitung bahwa peranan sektor jasa pada tahun 1995 adalah 63,99 persen dan pada tahun 2000 menjadi 64,89 persen dari total PDRB. Tidak mengalami perubahan yang berarti. Demikian pula peranan komponen-komponen sektor jasa juga tidak mengalami banyak perubahan. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memberikan kontribusi terbesar, disusul kemudian oleh (dengan perbedaan yang sangat kecil) sektor perdagangan, hotel dan restoran, berikutnya sektor jasa-jasa lain dan terakhir sektor pengangkutan dan komunikasi.
Metodologi: Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Metodologi sekaligus data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM). Dengan metodologi ini diharapkan dapat diketahui pengaruh sektor jasa dalam menentukan distribusi pendapatan Jakarta. Lebih jauh lagi dapat dilacak secara struktural jalur pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan tersebut.

Model Dasar SNSE
SNSE menggambarkan transaksi antar blok perekonomian dalam masyarakat. Blok perekonomian yang dimaksudkan adalah faktor produksi, institusi dan sektor (aktivitas) produksi. Ketiga blok tersebut kemudian dikenal sebagai neraca endogen, yang menggambarkan blok-blok perekonomian yang saling berinteraksi di dalam suatu wilayah. Sedangkan seluruh kegiatan ekonomi di luar wilayah disatukan dalam neraca eksogen.
Konsep dasar SNSE pertama-tama bisa dilihat dari sistem transaksi dalam neraca endogennya. Suatu kegiatan produksi (misal restoran) dalam blok sektor produksi memerlukan input antara (misal peternakan) dari blok sektor produksi sendiri dan input primer (tenaga kerja dan kapital) dari blok faktor produksi. Oleh karena itu dalam kegiatannya sektor produksi akan melakukan pengeluaran (pembayaran) kepada sektor produksi sendiri dan kepada faktor produksi. Pembayaran untuk faktor produksi akan diteruskan kepada pemilik faktor produksi, yaitu blok institusi (misal rumah tangga kaya). Selanjutnya institusi, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosial sehari-harinya, akan melakukan pembelian (berbelanja) kepada sektor produksi dan transfer pendapatan kepada institusi lain (misal transfer rumah tangga kaya kepada rumah tangga miskin). Demikian seterusnya. Hubungan ini bisa dilihat dalam gambar 9.1, untuk perekonomian yang terdiri dari 2 buah sektor produksi (SP1 dan SP2), 2 buah faktor produksi (FP1 dan FP2) dan 2 buah institusi (I1 dan I2). Tanda panah dalam gambar tersebut menunjukkan aliran uang.

Dengan adanya neraca eksogen, maka setiap blok dalam neraca endogen bisa melakukan transaksi dengan neraca eksogen. Dalam hal ini terdapat dua jenis transaksi, yakni transaksi yang menyebabkan neraca endogen melakukan (mengeluarkan) pembayaran dan transaksi yang menyebabkan neraca endogen menerima pembayaran. Contoh paling mudah untuk kedua jenis transaksi tersebut adalah ekspor dan impor. Ekspor, berarti neraca endogen menerima pembayaran; sedangkan impor, berarti neraca endogen melakukan pembayaran. Penerimaan dari eksogen biasa disebut suntikan atau injections dan pengeluaran untuk eksogen biasa disebut kebocoran atau leakages bagi sebuah perekonomian.
Konsep dasar lain dari SNSE adalah bahwa jumlah pengeluaran setiap blok/neraca/sektor ekonomi sama dengan jumlah penerimaannya. Secara matematis, jika jumlah penerimaan sektor i adalahYi dan jumlah pengeluaran sektor j adalah Yj, maka jika i=j maka Yi = Yj. Dengan kata lain jika Y adalah matriks kolom yang beranggotakan Yi dan Z adalah matriks baris yang beranggotakan Yj , maka Z = Y’ (transpose dari Y).
Dengan memegang konsep-konsep dasar di atas maka SNSE dapat dimodelkan secara sederhana dalam sebuah tabel seperti terlihat dalam tabel 9.3. Nama dan urutan setiap kolom dari tabel tersebut sama persis dengan nama dan urutan barisnya. Arah ke bawah dari setiap sektor dalam tabel tersebut menunjukkan distribusi pengeluaran, sedangkan arah ke kanan menunjukkan komponen penerimaan dari sektor tersebut. Jumlah ke bawah setiap sektor sama dengan jumlah ke kanan, dengan kata lain penjumlahan kolom setiap sektor sama dengan pejumlahan barisnya, atau jumlah pengeluaran sama dengan penerimaan.
Angka Pengganda
Dari tabel 9.3 bisa didapatkan persamaan penerimaan setiap sektor ekonomi, yakni berupa penerimaan endogen ditambah penerimaan eksogen. Demikian pula, pengeluaran setiap sektor ekonomi sama dengan pengeluaran endogen ditambah pengeluaran eksogen. Dari tabel tersebut disa diturunkan persamaan-persamaan matematis yang menggambarkan hubungan perekonomian dalam kerangka SNSE, kemudian bisa dijabarkan angka pengganda yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui hubungan antara satu neraca dengan lainnya yang selanjutnya bisa pula dijadikan alat untuk melakukan simulasi kebijakan.
Semua transaksi antar neraca endogen dalam tabel 9.3 dapat dituliskan ke dalam sebuah matriks t sebagai berikut:

(1)

Penjumlahan baris dari matriks t menunjukkan jumlah penerimaan setiap sektor. Pola penjumlahannya dapat dituliskan sebagai:
untuk i = 1 - 3 (2)
maka dapat disusun matriks T yang tidak lain adalah matriks penerimaan endogen.
(3)
Sedangkan jumlah penerimaan dari neraca eksogen adalah matriks X,

(4)

dan total penerimaan adalah matriks Y:

(5)

Sehingga dapat dirumuskan persamaan penerimaan sebagai berikut:

Y = T + X (6)

Selanjutnya jika setiap sel dari matriks transaksi t dibagi jumlah kolomnya dan hasilnya adalah matriks A yang beranggotakan aij , maka:

(7)

maka perkalian antara A dengan Y akan menghasilkan matriks berdimensi 3 x 1, yang tidak lain adalah matriks T.

T = AY (8)

Apabila persamaan (8) disubstitusikan ke persamaan (6), maka:

Y = AY + X (9)

(I-A)Y = X

Y = (I-A)-1X (10)

Kalau (I-A)-1 ditulis sebagai Ma, maka:

Y = Ma X (11)

Matriks A disebut pengganda langsung, karena di dalamnya berisi koefisien-koefisien aij yang menunjukkan pengaruh langsung dari perubahan sektor j terhadap sektor i. Sedangkan Ma disebut pengganda global atau pengganda neraca (accounting multiplier) yang di dalamnya berisi koefisien-koefisien pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan suatu sektor terhadap sektor yang lain. Dengan demikian kita bisa dapatkan pengganda tidak langsung dengan cara mengurangi Ma dengan A.

Pengaruh Sektor Jasa terhadap Distribusi PendapatanDengan merujuk pada kerangka dasar SNSE di atas maka pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan dapat dimodelkan. Sektor jasa tidak lain adalah bagian dari sektor produksi. Sedangkan distribusi pendapatan dapat dilihat pada blok institusi.
Terlihat bahwa sektor jasa tidak berpengaruh langsung terhadap distribusi pendapatan, melainkan harus melalui faktor produksi. Oleh karena itu untuk mengetahui besarnya pengaruh tersebut nantinya akan digunakan pengganda global (Ma). Sedangkan pengganda langsung akan digunakan untuk mengetahui jalur pengaruh yang dilalui oleh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan. Analisis seperti ini biasa disebut analisis jalur struktural atau structural path analysis.


Analisis: Sektor Jasa dan Distribusi Pendapatan

Data dan Penyesuaian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SNSE DKI Jakarta tahun 2000 yang diterbitkan oleh BPS DKI Jakarta pada bulan Desember 2002. Data ini merupakan data SNSE Jakarta terbaru pada saat penelitian ini dilakukan. Dari beberapa versi pengelompokan yang ada dalam SNSE DKI Jakarta 2000, yang digunakan dalam penelitian ini adalah SNSE dengan ukuran 103 baris kali 103 kolom, yang merupakan versi SNSE yang paling rinci.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah terdapatnya perbedaan antara format SNSE DKI Jakarta dengan format model dasar SNSE sebagaimana terdapat dalam tabel 9.2. Perbedaan tersebut berada dalam neraca endogen. Dalam SNSE DKI Jakarta, neraca endogen dibagi atas 6 blok: faktor produksi, institusi, sektor produksi, komoditas domestik, margin perdagangan dan pengangkutan, serta komoditas impor.
Agar dapat dilakukan analisis seperti yang dimodelkan di atas, maka sebelum diolah lebih lanjut neraca endogen dalam SNSE DKI Jakarta diagregasikan menjadi 3 blok. Seperti terlihat dalam tabel 9.4, dalam penelitian ini blok-blok sektor produksi, komoditas domestik serta margin perdagangan dan pengangkutan dijadikan satu dalam blok sektor produksi. Sedangkan komoditas impor dimaksukkan ke dalam neraca eksogen.

Analisis Pengganda
Hasil pengolahan data SNSE untuk memperoleh angka pengganda global atau pengganda neraca, yang menunjukkan pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan Jakarta, dapat dilihat dalam tabel 9.5. Dalam hal ini sektor jasa dibagi berdasarkan pembagian yang terdapat dalam tabel 9.2. Sedangkan rumah tangga dibagi menjadi 10 tingkatan: 10 persen rumah tangga paling miskin disebut golongan I (Gol. I), 10 persen di atasnya disebut golongan II (Gol. II), dan seterusnya sampai 10 persen terkaya disebut golongan X (Gol. X). Pada tahun 2000 di Jakarta terdapat 1.992.696 rumah tangga. Jumlah rumah tangga dalam setiap kelompok (golongan), oleh karena itu, adalah 199.270 rumah tangga; kecuali rumah tangga golongan III, VI, IX dan X, masing-masing 199.269 rumah tangga.
Dalam tabel 9.5 bisa dibaca pengaruh setiap jenis jasa terhadap setiap golongan rumah tangga. Untuk sektor restoran (sektor no. 38) misalnya, setiap terjadi kenaikan permintaan akhir (omzet penjualan) sebesar Rp. 10.000 akan berdampak global kepada seluruh sektor perekonomian, sebagian diantaranya berdampak pada kenaikan pendapatan rumah tangga dengan distribusi kenaikan sebagai berikut: rumah tangga golongan I naik Rp.83, golongan II Rp.136, golongan III 162, golongan IV Rp.234, golongan V Rp.269, golongan VI Rp.350, golongan VII Rp.433, golongan VIII Rp.549, golongan IX Rp.702 dan golongan X Rp.2.433. Terlihat di sini bahwa rumah tangga paling kaya menerima paling banyak, disusul kemudian rumah tangga terkaya kedua, dan seterusnya, sampai rumah tangga paling miskin menerima paling sedikit.
Bagaimana dengan pengaruh sektor jasa selain restoran? Apabila dicermati keseluruhan tabel 9.5, maka terdapat pola yang sama, rumah tangga terkaya menerima bagian penggandaan pendapatan terbesar disusul rumah tangga terkaya kedua, dan seterusnya sampai rumah tangga termiskin menerima bagian terkecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya perbaikan ekonomi Jakarta melalui peningkatan sektor jasa akan lebih banyak memberikan pengaruh pada peningkatan pendapatan rumah tangga kaya dibandingkan rumah tangga miskin.
Hal ini akan melahirkan pilihan-pilihan kebijakan yang saling bertentangan. Di satu pihak, perekonomian Jakarta didominasi oleh kegiatan jasa, dan oleh karenanya kebijakan meningkatkan permintaan akhir terhadap jasa akan memberi pengaruh paling besar terhadap perkonomian Jakarta. Tanpa adanya kebijakan pun sebenarnya secara alamiah kegiatan ekonomi masyarakat akan semakin terkonsentrasi pada sektor jasa. Di lain pihak, peningkatan permintaan akhir sektor jasa akan memberikan manfaat pendapatan lebih besar pada rumah tangga kaya dibandingkan rumah tangga miskin. Dengan demikian kebijakan di sektor jasa justru akan menambah dalam jurang pendapatan antara si kaya dengan si miskin. Benarkah demikian? Subbab berikut akan memberikan analisis untuk memecahkan masalah ini.

Nisbah Kesenjangan Kaya-Miskin
Sebelum masuk ke dalam uraian berikut, perlu diingat kembali bahwa secara keseluruhan rasio atau nisbah pendapatan antara kelompok paling kaya dengan kelompok paling miskin adalah 29,38. Hal ini sudah dijelaskan dalam pendahuluan penelitian ini. Angka 29,38 tersebut akan dijadikan ukuran apakah suatu kebijakan di sektor jasa tertentu menambah atau mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Jika kebijakan sektor jasa menghasilkan nisbah pendapatan antara kelompok paling kaya dengan paling miskin (selanjutnya disebut “nisbah kesenjangan kaya-miskin”) lebih dari 29,38 maka kebijakan tersebut semakin memperparah ketimpangan, sebaliknya jika menghasilkan nisbah kesenjangan kaya-miskin kurang dari 29,38 maka kebijakan tersebut memperbaiki distribusi pendapatan. Hasil perhitungan nisbah kesenjangan kaya-miskin terdapat dalam tabel 9.6. yang dihasilkan dari tabel 9.5, dengan cara membagi baris rumah tangga golongan X dengan golongan I. Interpretasinya adalah, jika terjadi kenaikan permintaan akhir terhadap salah satu sektor jasa, berapa besar manfaat yang diterima rumah tangga paling kaya dibandingkan yang diterima rumah tangga paling miskin. Itulah yang dimaksudkan dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin. Nisbah yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin besar pula.
Dengan menggunakan angka 29,38 sebagai batasan, maka sebagian besar sektor jasa akan masuk kategori yang semakin memperparah ketimpangan. Dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin sebesar 42,44, sektor jasa sosial kemasyarakatan dan hiburan merupakan kegiatan jasa yang paling mendorong ketimpangan. Sektor ini meliputi kegiatan jasa pendidikan swasta, kesehatan swasta, organisasi sosial swasta, produksi dan distribusi film dan video, bioskop, photo studio, radio dan televisi swasta, drama, museum, musik dan kegiatan hiburan lainnya, jasa panti pijat, jasa kebudayaan dan rekreasi.
Sedangkan sektor jasa yang paling mampu mengurangi ketimpangan jika dibenahi (dikembangkan), adalah sektor angkutan jalan raya. Dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin sebesar 18,73 sektor ini berada di bawah batas yang ditentukan di atas, dan ini memenuhi syarat sebagai sektor yang mengurangi ketimpangan. Sektor ini meliputi kegiatan-kegiatan yang melibatkan semua angkutan bermotor dan tidak bermotor yang menggunakan prasarana jalan raya untuk kegiatan pengangkutan penumpang dan barang. Di sektor ini banyak (relatif dibandingkan sektor jasa lainnya) rumah tangga miskin yang terlibat.
Sektor jasa lain yang masih termasuk kategori mampu mengurangi ketimpangan, meskipun nisbah kesenjangan kaya-miskinnya mendekati ambang batas adalah sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor angkutan rel, laut, udara dan ASDP.

Penelusuran Jalur Struktural
Penelusuaran jalur struktural atau analisis jalur struktural atau structural path analysis disini digunakan untuk mengetahui bagaimana pengembangan sektor angkutan jalan raya dapat mempengaruhi rumah tangga miskin, dalam hal ini rumah tangga golongan I. Penelusuran bisa dilakukan dengan bantuan komputer, menggunakan program MATS. Namun demikian penelusuran juga bisa dilakukan maupun dijelaskan secara manual.
Penelusuran dan penjelasan secara manual dapat dilakukan melalui bantuan matriks A yang penurunannya dirumuskan dalam persamaan (7). Melalui matriks pengganda langsung (A) dapat ditelusuri pengaruh langsung terbesar sektor angkutan jalan raya (no. 39) kepada sektor-sektor lain. Dalam hal ini ditemukan tiga sektor dalam blok faktor produksi yang memperoleh pengaruh langsung terbesar, yaitu kapital (sektor no. 9), tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji (no. 4), serta tenaga kasar penerima upah dan gaji (no. 3). Dari 3 sektor tersebut kemudian ditelusuri pengaruh langsungnya terhadap rumah tangga golongan I. Hasilnya, hanya dua sektor memberikan pengaruh cukup besar, yakni: tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji (no. 4), serta tenaga kasar penerima upah dan gaji (no. 3). Hasil penelusuran ini, beserta besarnya angka pengganda langsung dirangkum dalam gambar 9. 3.
Dengan demikian terdapat dua jalur utama mengalirnya pendapatan dari sektor angkutan jalan raya kepada kelompok penduduk miskin, melalui tenaga kasar penerima upah dan gaji dan tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji. Artinya, selama ini kaum miskin Jakarta lebih banyak menerima pendapatan karena sumbangan tenaga kasar mereka kepada kegiatan angkutan jalan raya dibandingkan kegiatan-kegiatan jasa lainnya. Peranan jalur utama aliran pendapatan dari kegiatan ekonomi angkutan jalan raya kepada rumah tangga miskin dapat dihitung. Dari tabel 9.5 dapat diketahui bahwa pengaruh global dari sektor no. 39 (angkutan jalan raya) kepada kelompok rumah tangga paling miskin adalah 0,0134. Selanjutnya dari gambar 9. 3 dapat dihitung bahwa pengaruh penggandaan sektor angkutan jalan raya kepada rumah tangga golongan I melalui tenaga kasar penerima upah dan gaji adalah 0,0755 x 0,0282 sama dengan 0,00213, yang jika dibandingkan dengan 0,0134 hasilnya adalah 15,89 persen.

Dengan cara yang sama pengaruh penggandaan sektor angkutan jalan raya kepada rumah tangga golongan I melalui tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji adalah 34,98 persen. Total pengaruh melalui jalur utama ini, oleh karena itu, adalah 50,87 persen. Sisanya terjadi melalui jalur-jalur yang lain yang nilainya masing-masing sangat kecil.

Kesimpulan dan Saran
Dari serangkaian analisis di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sekaligus saran berkenaan dengan upaya mengurangi ketimpangan pendapatan di Jakarta dalam sebuah kenyataan bahwa perekonomian Jakarta didominasi oleh sektor jasa, sebagai berikut:
a. Sebagai kegiatan ekonomi yang dominan, sektor jasa ikut memberikan andil dalam penciptaan ketimpangan pendapatan di Jakarta. Oleh karena itu penerapan kebijakan ekonomi di sektor jasa harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena sebenarnya perkembangan sektor jasa memiliki potensi memperparah ketimpangan pendapatan yang sudah terjadi.
b. Dari sekian banyak kegiatan yang terdapat dalam sektor jasa, kegiatan angkutan jalan raya merupakan kegiatan yang paling kecil pengaruhnya terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan di Jakarta. Kegiatan ini menyerap lebih banyak faktor produksi yang dimiliki masyarakat golongan bawah dibandingkan kegiatan jasa lainnya. Faktor produksi yang dimaksudkan adalah ‘tenaga kasar’ yang mereka miliki dan sumbangkan untuk perekonomian dengan menjadi operator alat angkutan, baik milik sendiri (tidak mendapat upah/gaji) maupun bukan milik sendiri (mendapat upah/gaji).
c. Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud merumuskan kebijakan sektor jasa, dapat disarankan bahwa kebijakan di bidang angkutan jalan raya dapat diprioritaskan. Kebijakan tersebut dapat berupa peningkatan kapasitas teknologi dan pembenahan sistem angkutan jalan raya, sehingga tingkat kenyamanan, keamanan dan kelancaran dapat meningkat dengan pesat. Selain memberi manfaat pada masyarakat umum, kebijakan ini dapat meningkatkan omzet pelayanan angkutan jalan raya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat lapisan bawah yang banyak terlibat dalam kegiatan angkutan jalan raya di Jakarta.