Permasalahan-permasalahan di dunia nyata seringkali melibatkan banyak objective atau, dengan kata lain, ukuran kinerja dari hampir semua sistem di dunia nyata adalah berupa kumpulan ukuran kinerja (Ignizio dan Cavalier, 1994: 508). Objective-objective tersebut kadangkala bersifat konfliktual (Taha, 2000). Sementara di sisi yang lain, objective-objective tersebut seringkali tidak memiliki sifat unidimensionality (Tabucanon, 1988: 62). Dalam situasi demikian, salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode goal programming (GP) (Tabucanon, 1988: 62; Lee dan Clayton, 1972: B-297).
Menurut Taha (2000), di dalam goal programming terdapat dua algoritma, yang kedua-duanya mengkonversikan multiple objective ke dalam fungsi tujuan tunggal: (i) weights method, dan (ii) preemptive method. Di dalam weights method, fungsi objective tunggal merupakan jumlah terbobot dari berbagai fungsi yang menggambarkan goals dari permasalahan yang ada. Sedangkan preemptive method dimulai dengan melakukan prioritisasi terhadap goals berdasarkan urutan tingkat kepentingannya. Model kemudian dioptimumkan dengan menggunakan satu goal pada waktu tertentu sedemikian hingga nilai optimum dari goal dengan prioritas yang lebih tinggi tidak pernah terdegradasi oleh goal dengan prioritas yang lebih rendah.
Di dalam formulasi goal programming, goal dan constraint (kendala) didefinisikan secara tepat (precisely) (yaitu diketahui secara tepat, sehingga nilai simpangannya berusaha diminimumkan). Namun seringkali persoalan pengambilan keputusan berada dalam situasi yang imprecise, dimana baik goal maupun bobot kepentingan dari goal tersebut tidak dinyatakan secara tepat (Narasimhan, 1980; Jimenes dkk., t.t.). Untuk permasalahan demikian, dikembangkan metode fuzzy goal programming (FGP) (Narasimhan, 1980; Jimenes dkk., t.t.; Ciptomulyono, 2000), yaitu metode goal programming yang mengakomodasikan konsep fuzzy.
Mengikuti Narasimhan (1980), pembahasan mengenai fuzzy goal programming dapat diuraikan sebagai berikut.
Di dalam fuzzy goal programming, tidak lagi dilakukan pembedaan konvensional antara goal dan constraint. Baik goal maupun constraint disertakan ke dalam fuzzy decision D dengan cara yang sama persis.
Fuzzy decision didefinisikan sebagai himpunan alternatif yang dihasilkan dari interseksi antara goals dan constrains. Lebih formalnya, bila terdapat fuzzy goals G dan fuzzy constraints C dalam ruang alternatif X, maka fuzzy decision D ditentukan sebagai himpunan fuzzy (G C). Karena decision D didefinisikan sebagai fuzzy subset, maka keputusan optimum adalah alternatif di dalam x Î X yang memaksimumkan membership function dari decision set, mD(x).
Permasalahan fuzzy goal programming dapat dinyatakan sebagai berikut:
Carilah nilai keputusan optimum D
Dengan adanya pembatas AX @ b (2.7)
X ³ 0 (2.8)
Dimana symbol “~” merupakan suatu fuzzifier yang menggambarkan impreciseness dari goal.
Misalkan membership function didefinisikan sebagai berikut:
mi(AX) = 1, jika (AX)i = bi (2.9)
= f((AX)i, bi), jika (AX)i ¹ bi (2.10)
dengan 0 < mi(AX) < 1 (2.11)
dimana (AX)i menggambarkan persamaan ke-i dari AX, dan bi merupakan komponen ke-i dari vektor kolom b, yang merupakan representasi dari tingkat aspirasi pengambil keputusan. Persamaan (2.9) dan (2.10) menyatakan bahwa membership function dari goal ke-i akan bernilai 1 apabila goal ke-i tepat tercapai; selain kondisi tersebut, membership function akan bernilai antara 0 dan 1. Dengan kata lain, apabila goal ke-i tidak tepat tercapai, maka taraf pencapaian goal tersebut tercermin di dalam nilai mi(AX).
Membership function dari decision set, mD(x), adalah sebagai berikut:
mD(x) = m1(AX)Ùm2(AX) … Ùmm(AX) (2.12)
= mi(AX) (2.13)
dan keputusan maximize diberikan oleh persamaan berikut:
mD(x) = mi(AX) (2.14)
Lebih lanjut, andaikan membership function mi(AX) didefinisikan sebagai berikut:
mi(AX) = (2.15)
dimana merupakan konstanta yang dipilih secara subyektif sebagai nilai deviasi dari tingkat aspirasi, bi. Dengan menggunakan membership function pada persamaan (2.14), penyelesaian permasalahan fuzzy goal programming pada persamaan (2.15) menjadi ekuivalen dengan penyelesaian permasalahan independen yang berbentuk sebagai berikut:
(2.16)
dan
(2.17)
Keputusan maksimisasi untuk tiap-tiap sub-permasalahan kemudian dibandingkan, dan sub-permasalahan dengan membership function yang nilainya lebih tinggi merupakan keputusan yang mengoptimumkan permasalahan yang digambarkan pada persamaan (2.14).
Bentuk formulasi linear programming yang ekuivalen dengan persamaan (2.16) adalah sebagai berikut:
(2.18)
Bila bobot goal tidak sama, misalnya dinotasikan dengan wi, maka
mD(x) = w1m1(AX)Ùw2m2(AX) … Ùwmmm(AX)
= wmmi(AX) (2.19)
Dan keputusan maximize diberikan oleh persamaan berikut:
mD(x) = wmmi(AX) (2.20) Misalkan membership function mi(AX) didefinisikan seperti pada persamaan (2.15), maka persamaan (2.16) berubah menjadi sebagai berikut:
(2.21)
Dan bentuk liniernya dapat ditampilkan sebagai berikut:
(2.22)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar