Menurut Sadgrove (1995) terdapat tiga manfaat utama program TQM, sebagai berikut:
1. Manfaat-manfaat untuk pelanggan, yaitu: masalah-masalah produk dan layanan lebih sedikit, kepedulian pelanggan lebih baik, kepuasan lebih besar.
2. Manfaat-manfaat untuk perusahaan, yaitu: mutu meningkat, karyawan lebih termotivasi, produktivitas meningkat, biaya berkurang, kecacatan/ kegagalan menurun, penyelesaian masalah-masalah lebih cepat.
3. Manfaat-manfaat untuk karyawan (staff), yaitu: pemberdayaan, pendi- dikan lebih banyak, maka keahlian lebih banyak, lebih banyak pengakuan.
Selanjutnya Sadgrove juga mengidentifikasi keunggulan-keunggulan yang unik pada TQM yaitu:
1. Menjadikan perusahaan sebagai pemimpin (leader), bukan sebagai pengikut (follower).
2. Membantu perkembangan tim kerja (it fosters teamwork).
3. Menjadikan perusahaan lebih sensitif terhadap keinginan-keinginan pelanggan.
4. Menjadikan perusahaan mengadaptasi perubahan lebih cepat.
5. Membebaskan karyawan dari departemen-departemen yang berbeda bertemu dengan lainnya.
Spitzer (1993) di dalam artikelnya mengatakan bahwa manfaat-manfaat TQM dapat dimasukan ke dalam dua kategori dasar: peningkat hasil (revenue enhan- cers) dan pengurang biaya (cost reducers). Secara berkesesuaian meningkatkan kinerja, ciri-ciri, keandalan, kesesuaian, daya tahan, keterpeliharaan, estetika, atau mutu produk yang dipersepsikan relatif terhadap yang dipasok oleh pesaing, akan menambah permintaan produk atau layanan suatu perusahaan, mengasumsikan bahwa dimensi-dimensi mutu tersebut masih sesuai terhadap pelanggan. Pening- katan permintaan ini akan diterjemahkan ke dalam pangsa pasar (market share) dan (biasanya) meningkatkan nilai-nilai untuk sebuah perusahaan. Peningkatan- peningkatan ini merupakan peningkat hasil.
Sumber peningkat hasil lain disediakan oleh sistem TQM berhubungan dengan waktu menuju pasar (the time-to-market) atau waktu siklus produk total (total product cycle time) untuk suatu produk atau layanan. Ketepatan waktu penge- nalan suatu produk baru, perubahan-perubahan produk, atau kemudahan pengiriman produk yang ada adalah semuanya tergantung pada waktu-waktu siklus perusahaan. TQM, yang mencari peningkatan proses-proses dan produk- produk secara terus menerus, akan menekan organisasi untuk membersihkan atau mengurangi seluruh aktivitas-aktivitas yang tidak perlu atau yang tidak memberikan nilai tambah (non-value-added) yang terlibat di dalam siklus produksi.
Selanjutnya Spitzer menjelaskan bahwa manfaat-manfaat ekonomi secara poten- sial yang diperoleh dari implementasi-implementasi TQM mengenai peningkatan penghitungan di dalam: biaya pembelian bahan-bahan baku, biaya tenaga kerja langsung dan tidak langsung, biaya-biaya yang dapat diterima, space require- ments, tingkat persediaan, siklus waktu produk total, biaya mutu. Manfaat- manfaat aktual yang terkait dengan manfaat pembayaran pada sistem TQM akan beragam, sebagai berikut:
1) Reduksi 10% hingga 20% di dalam biaya pembelian bahan-bahan baku.
2) Reduksi 10% hingga 20% di dalam biaya tenaga kerja langsung dan tidak langsung.
3) Reduksi 10% hingga 20% di dalam biaya-biaya yang dapat diterima.
4) Reduksi 30% hingga 50% di dalam space requirements.
5) Reduksi 30% hingga 90% di dalam tingkat persediaan rata-rata.
6) Reduksi 40% hingga 60% di dalam siklus waktu produk total.
7) Reduksi 30% hingga 50% di dalam biaya mutu.
Mohraman et al (1995) dalam hasil studinya menyatakan bahwa pengenalan TQM memiliki dampak yang positif dalam produktivitas, kecepatan menanggapi, mutu produk dan layanan, dan pelayanan pelanggan.
Boxer (1993) dan Balkema dan Molleman (1999) (dalam Boxer, 2000) mengi- dentifikasi kategori-kategori kongruen dalam hambatan-hambatan keberhasilan implementasi TQM dan kelompok-kelompok organisasi-diri (self organised). Kepemimpinan adalah tema yang umum dalam hal ini. Boxer mengidentifikasi 3 (tiga) hambatan kunci pada implementasi aktivitas-aktivitas mutu, yaitu; kemalasan intelektual (intellectual laziness), ketidaktahuan (ignorance), dan kepemimpinan yang rendah (poor leadership). Tiga hambatan kongruen pada formasi kelompok-kelompok organisasi-diri telah diidentifikasi oleh Balkema dan Molleman (1999), yaitu; peran pemimpin (equates to poor leadership), sikap- sikap para pekerja (equates to intellectual laziness), dan keahlian-keahlian serta kemampuan-kemampuan belajar (equates to ignorance).
ASQC (1996) menyatakan bahwa hambatan-hambatan untuk mengimplemen- tasikan TQM diketahui tidak terbatas. Hal ini diperlihatkan di dalam seluruh sektor – manufaktur, jasa, dan pendidikan. Dengan demikian, hal ini penting untuk seluruhnya memahami dan menghindari hambatan-hambatan tersebut baik sebelum dan selama implementasi TQM. Diidentifikasi terdapat 15 (limabelas) hambatan-hambatan teratas pada implementasi TQM, yaitu:
1) Ketiadaan komitmen manajemen.
2) Ketidakcukupan pengetahuan atau pemahaman TQM.
3) Ketidakmampuan mengubah budaya organisasi.
4) Kesalahan perencanaan.
5) Ketiadaan pelatihan dan pendidikan yang berkesinambungan.
6) Ketidakmampuan membangun organisasi belajar yang menyediakan pening- katan berkesinambungan.
7) Ketidakcocokan struktur organisasi dan individu-individu serta departemen- departemen yang terpisah.
8) Ketidakcukupan sumberdaya-sumberdaya.
9) Ketidaktepatan sistem penghargaan.
10) Penggunaan program paket persiapan atau ketidaktepatan mengadaptasi TQM untuk organisasi.
11) Ketidakefektivan teknik-teknik ukuran dan ketiadaan akses pada data dan hasil-hasil.
12) Fokus jangka pendek atau penggunaan solusi tambal-sulam (Band-Aid solution).
13) Ketidakcukupan memberikan perhatian untuk pelanggan internal dan eksternal.
14) Ketidaktepatan kondisi-kondisi untuk mengimplementasikan TQM.
15) Ketidakcukupan menggunakan pemberdayaan dan kelompok kerja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar