KEBIJAKAN pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) membawa dampak yang sangat luas bagi sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Berbagai media massa menyajikan sejumlah data dan fakta, masyarakat yang bekerja baik di sektor formal maupun informal menghadapi masalah karena setelah itu seluruh biaya kebutuhan pokok naik, sementara penghasilan belum ada penyesuaian.
Banyak perusahaan terutama industri padat karya seperti tekstil di berbagai daerah melakukan pemutusan hubungan kerja, karena kondisi perusahaan yang dililit berbagai kesulitan. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah menyatakan hingga November 2005, 21 perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) total 7.724 orang. Dari jumlah itu, 5.832 orang adalah karyawan perusahaan tekstil. (Kompas 22/12/05)
Disamping dihadapkan pada persoalan PHK, buruh juga harus menanggung beban hidup yang semakin berat akibat rendahnya upah yang diterima.
Melihat realitas persoalan buruh yang bekerja di sektor industri, perlu kiranya dilakukan kajian untuk merefleksi kembali bagaimana buruh/pekerja memperjuangkan hak-haknya. Ditinjau dari sisi yuridis normatif, untuk mengatasi berbagai ketidakadilan yang dialami mereka akibat relasi yang timpang antara pengusaha dan pekerja, pembuat UU telah melakukan perubahan terhadap ketentuan UU di bidang ketenaga-kerjaan yang dirasakan belum cukup menjamin terbangunnya suatu mekanisme bagi buruh untuk memperjuangkan kepentingannya.
Hak berserikat/berorganisasi dipandang sebagai suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sebagai sarana memperjuangkan terpenuhinya hak-hak buruh/pe-kerja seperti hak atas upah, hak buruh perempuan atas fungsi reproduksi dan hak atas kesehatan dan keselamatan kerja.
Esensi pentingnya buruh/pekerja membentuk organisasi/se-rikat pekerja/serikat buruh ditegaskan dalam UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Secara eksplisit konsideran UU No.21 Tahun 2000 menyebutkan, serikat pekerja/se-rikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan, melindungi dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.
Ketentuan demikian ditegaskan kembali dalam Ketentuan Umum UU tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang intinya menyatakan serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/bu-ruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
Sementara itu tata cara atau prosedur pembentukan serikat pekerja/serikat buruh diatur secara lebih rinci didalam UU No.21 Tahun 2000.
Memperjuangkan Kepentingan
Definisi serikat pekerja/serikat buruh sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan dapat dilihat kembali dalam beberapa pasal UU Ketenagakerjaan. Melalui serikat pekerja/serikat buruh, mereka dapat merundingkan penyusunan peraturan perusahaan dan menyelesaikan masalah pemenuhan hak-hanya sebagai buruh.
Ketentuan Pasal 110 Ayat 1, 2 dan 3 menyebutkan, peraturan perusahaan disusun dengan memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh. Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh adalah pengurus serikat pekerja/serikat buruh. Apabila di dalam perusahaan yang bersangkutan belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakilpekerja/buruh dipilih secara demokratis untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Demikian pula dalam hal terjadi perselisihan antara buruh dan pengusaha. Jika terjadi sengketa/perselisihan antara buruh dan pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh kembali menjalankan fungsinya untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh. Ketentuan Pasal 151 (1) dan (2) UU No.13 Tahun 2003 pada pokoknya menyebutkan dengan segala upaya pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh.
Pertanyaannya bagaimana implementasi dari ketentuan tersebut di atas? Apakah setiap pekerja/buruh telah mempunyai akses informasi yang cukup tentang haknya untuk berserikat/berorganisasi?
Mengapa pekerja perlu membentuk dan atau bergabung dalam organisasi serikat pekerja/ serikat buruh? Membangun kesadaran pekerja/ buruh untuk berorganisasi/membentuk serikat pekerja/serikat buruh tentu tidak semudah membalik telapak tangan.
Selama 32 tahun rakyat Indonesia mengalami pengalaman pahit dalam kehidupan berpolitik. Dalam kurun waktu tersebut kehidupan politik masyarakat berada di bawah rezim Orde Baru yang membatasi hak untuk berserikat dan berkumpul dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan.
Kondisi ini mengalami perubahan setelah seluruh elemen masyarakat menghendaki reformasi kearah perubahan sosial yang demokratis.
Di era reformasi, berbagai bentuk perubahan sosial yang mengarah pada kehidupan demokratis terjadi diseluruh sektor. Hal itu dapat dilihat dengan dibukanya ruang yang sangat luas bagi masyarakat untuk berserikat dan berorganisasi, mengemukakan pendapat, memperjuangkan kepentingan melalui lembaga politik.
Peluang yang sangat baik ini tentu tidak secara langsung dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena minimnya akses informasi dan rendahnya pengetahuan di bidang politik.
Dalam dunia kerja, buruh/pekerja belum melihat organisasi/serikat pekerja/serikat buruh sebagai satu kebutuhan. Terlebih buruh perempuan, selama ini budaya dan hukum menempatkan perempuan di sektor domestik yang terbatas pada kegiatan rutin kerumahtanggaan. Kegiatan politik dan atau pengambilan keputusan menjadi domain - nya laki-laki.
Pencitraan perempuan sebagai pekerja domestik menimbulkan berbagai masalah. Mutu profesionalisme pekerja/buruh perempuan dianggap redah - upah murah dan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Pengalaman di lapangan menunjukkan kesadaran buruh laki-laki dan perempuan untuk berorganisasi masih rendah.
Kemudian representasi perempuan dalam struktur serikat pekerja/serikat buruh juga masih sangat minim. Padahal jabatan sebagai pengurus serikat pekerja/buruh teramat penting karena sesuai ketentuan Pasal 110 Ayat 1 dan 2 UU Ketenagakerjaan, pengurus serikat pekerja/serikat buruhlah yang akan menjadi wakil buruh dalam setiap perundingan bersama perusahaan.
Jabatan
Jika representasi buruh perempuan sangat kecil di dalam kepengurusan serikat pekerja/serikat buruh, maka buruh perempuan akan kesulitan untuk menyuarakan dan atau memperjuangkan kepentingannya baik berkaitan dengan masalah pengupahan, PHK maupun pemenuhan hak atas fungsi reproduksinya (cuti haid, melahirkan dan menyusui). Tentang pemenuhan hak reproduksi, suara buruh perempuan tentu lebih valid karena perempuan mempunyai pengalaman yang berbeda dengan laki-laki.
Demikian pula dengan masalah gelombang PHK pascakenaikan harga BBM. Buruh perempuan akan lebih rentan terkena PHK karena pengusaha beranggapan mempekerjakan perempuan hanya mendatangkan biaya besar.
Mereka harus menanggung cuti haid dan cuti melahirkan. Disamping alasan tersebut, pengusaha juga mempunyai pemikiran jika laki-laki yang di-PHK, risiko akan didemo lebih besar daripada perempuan. Biasanya perempuan lebih nrimo, lebih banyak diam dan sedikit yang mau ribut. Agar dapat memperjuangkan kepentingannya, perempuan harus meraih jabatan sebagai pengurus serikat pekerja/serikat buruh.
Melihat hambatan tersebut di atas serta mengingat arti pentinganya fungsi serikat pekerja/ serikat buruh sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan buruh, pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah seharusnya menyusun program informasi yang tidak hanya terbatas pada kegiatan penyampaian informasi kesempatan kerja di instansi pemerintah atau swasta.
Program penyampaian informasi kepada buruh sudah waktunya diperluas menjadi program pendidikan politik ke arah terbangunnya kesadaran buruh untuk membentuk dan atau menjadi anggota serikat buruh/serikat pekerja. Hanya dengan cara demikian saja ( berserikat) buruh dapat meningkatkan bargaining position dalam rangka memperjuangkan kepentingannya.(11)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar