Kebudayaan dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep itu adalah amat luas karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Hal – hal yang tidak termasuk kebudayaan hanyalah beberapa reflex yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu perbuatan yang sebenarnya juga merupakan perbuatan naluri seperti makan misalnya, oleh manusia dilakukan dengan peralatan dengan tata cara sopan santun dan protocol, sehingga hanya bisa dilakukannya dengan baik sesudah suatu proses belajar tata – cara makan.
Karena demikian luasnya, maka guna keperluan analisa konsep kebudayaan itu perlu dipecah lagi ke dalam unsur – unsurnya. Unsur – unsur terbesar yang terjadi karena pecahan tahap pertama disebut “unsur – unsur kebudayaan universal”, dan merupakan unsur – unsur yang pasti bisa ditemukan di semua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam dalam masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat kekotaan yang besar dan komplex. Unsur – unsur universal itu, yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini, adalah :
1. Sistem religi dan upacara keagamaan,
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
3. Sistem pengetahuan,
4. Bahasa,
5. Kesenian,
6. Sistem mata pencaharian hidup,
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Ketujuh universal tersebut masing – masing dapat dipecah lagi ke dalam sub – unsur – unsurnya. Demikian ketujuh unsur kebudayaan universal tadi memang mencakup seluruh kebudayaan makhluk manusia di manapun juga di dunia, dan menunjukkan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Susunan tata – urut dari unsur – unsur kebudayaan universal seperti tercantum di atas dibuat dengan sengaja untuk sekalian menggambarkan unsur – unsur mana yang paling sukar berubah atau kena pengaruh kebudayaan lain, dan mana yang paling mudah berubah atau diganti dengan unsur – unsur serupa dari kebudayaan – kebudayaan lain. Dalam tata – urut itu akan segera terlihat bahwa unsur – unsur yang berada dibagian atas dari deretan, merupakan unsure – unsure yang lebih sukar berubah daripada unsur – unsur yang tersebut kemudian. Sistem religi dan sebagian besar dari sub – unsur – unsurnya biasanya memang mengalami perubahan yang lebih lambat dibandingkan dengan misalnya suatu teknologi atau suatu peralatan bercocok tanam tertentu. Namun harus diperhatikan bahwa ini hanya dalam garis besarnya saja, karena ada kalanya ada sub – sub – unsur dari suatu unsure lebih sukar dirubah daripada sub – sub – unsur dari suatu unsure yang tercantum diatasnya. Kita bias membayangkan bahwa sub – sub – unsur hukum waris misalnya, merupakan hal yang lebih sukar berubah bila dibandingkan dengan sub – sub – unsur arsitektur sesuatu tempat pemujaan. Hal yang pertama merupakan bagian dari sub – unsur hukum, yang sebaliknya merupakan bagian dari unsur sistem dan oraganisasi kemasyarakatan; hal yang kedua merupakan bagian darisub – unsur prasarana upacara, yang sebaliknya merupakan bagian dari unsure sistem religi. Namun dalam garis besarnya tata – urut dari unsur – unsur universal tercantum diatas, menggambarkan kontinuum dari unsur – unsur yang paling sukar berubah ke unsur – unsur yang lebih mudah berubah.
Kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud, ialah :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide – ide, gagasan, nilai – nilai, norma – norma , peraturan dan sebagainya,
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpoladari manusia dalam masyarakat,
3. Wujud kebudayaan sebagai benda – benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideel dari kebudayaan. Sifatnya abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada didalam kepala – kepala atau denganperkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup. Kalau warga masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka itu dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideel sering berada dalam karangan dan buku – buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideel juga banyak tersimpan dalam disk, tape, arsip, koleksi microfilm dan microfish, kartu computer, disk, silinder dan tape computer.
Kebudayaan ideel ini dapat kita sebut adapt tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adapt istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu, maksudnya menunjukkan bahwa kebudayaan ideel itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi itu secara lebih khusus lagi adapt terdiri dari beberapa lapisan yaitu dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas. Lapisan yang paling abstrak adalah misalnya system nilai – budaya. Lapisan yang kedua adalah sistem norma – norma adalah lebih konkret, dan sistem hukum yang bersandar kepada norma – norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan – peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas peraturan – peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari – hari dalam kehidupan masyarakat manusia (seperti misalnya aturan sopan – santun), merupakan lapisan adat – istiadat yang paling konkret tetapi teerbatas ruang lingkupnya.
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas – aktivitas manusia – manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain, yangdari detik ke detik, yang dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu mengikuti pola – pola tertentu yang berdasarkan adat tata – kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia – manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari – hari, bias diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan semua karya manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda – benda atau hal – hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto. Ada benda – benda yang amat besar seperti : suatu pabrik baja; ada benda – benda yang amat kompleks dan sophisticated seperti suatu computer yang berkapasitas tinggi atau benda – benda besar yang bergerak seperti suatu perahu tangki – minyak; ada benda – benda yang besar dan indah seperti suatu cadi yang indah; atau ada pula benda – benda yang kecil seperti kain batik; atau yang lebih kecil lagi, yaitu kancing baju.
Sudah tentu dalam analisa sistematis, kebudayaan fisik yang dimiliki atau dihasilkan oleh suatu bangsa itu, harus lebih dahulu digolong – golongkan menurut tingkatnya masing – masing. Sebagai pangkal penggolongan dapat dipakai unsur – unsur kebudayaan yang terbesar ialah, unsur – unsur universal yang telah kami jelaskan diatas. Kemudian tiap unsur besar tadi kita pecah ke dalam sub – unsur - unsurnya; tiap sub – unsure ke dalam sub – sub – unsurnya; tiap sub – sub – unsur ke dalam sub – sub – sub – unsurnya, dan demikian seterusnya. Sebagai contoh : aspek fisik dari suatu religi sebagai suatu unsur kebudayaan yang universal, adalah gedung (atau bangunan)tempat pemujaan. Unsur besar itu dapat kita pecah ke dalam sub – unsure, yaitu antara lain misalnya perabot upacara. Sub – unsure tersebut dapat dibagi lagi kedalam beberapa sub – sub – unsur diantaranya ada misalnya jubah pendeta – pemuka – upacara. Sub – sub unsur ini kalau dipecah lagi membawa kita kepada bagian – bagian dari jubah tadi, dan suatu sub – sub – sub – unsur yang kecil dari jubah adalah kancing jubah dari sang pendeta – pemuka – upacara.
Ketiga wujud dari kebudayaan yang terurai diatas, dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan yang lain. Kebudayaan ideel dan adapt istiadat mengatur dan memberi arah kepada kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran – pikiran dan ide – ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda – benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuksuatu lingkunagn hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola – pola perbuatannnya, bahkan mempengaruhi cara berpikirnya.
Adapun perbedaan antara adat dan kebudayaan adalah soal lain, dan bersangkutan dengan konsepsi bahwa kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah (1) wujud ideel; (2) wujud kelakuan; dan (3) wujud fisik. Adat adalah wujud ideel dari kebudayaan. Secara lengkap wujud itu dapat kita sebut adat – tata – kelakuan, karena adat berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat ialah aturan sopan santun untuk untuk memberi uang kepada seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat ialah (i) tingkat nilai – budaya; (ii) tingkat norma – norma; (iii) tingkat hokum; (iv) tingkat aturan khusus.
Tingkat pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide – ide yang mengkonsepsikan hal – hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi – konsepsi serupa itu biasanya luas dan kabur; tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia. Tingkat ini dapat kita sebut system nilai – budaya. Jumlah nilai – nilai – budaya tingkat pertama dalam suatu kebudayaan biasanya tidak banyak.
Contoh dari suatu nilai – budaya, terutama dalam masyarakat kita, adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep ini, biasanya kita sebut nilai gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena memang hamper semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerjasama dengan orang lain: dengan perkatan lain: konsep tersebut di atas hanya berarti bahwa semua kelakuan manusia yang bukan bersifat bersaing atau berkelahi itu adalah baik. Jelaslah bahwa nilai itu sebenarnya tidak rasional. Contoh lain : suatu nilai budaya yang terpenting terutama dalam masyarakat kebudayaan barat adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu dapat berhasil sama sekali atas usahanya sendiri. Ideal yang disebut nilai individualisme ini, juga kabur dan tak rasional, karena dalam kenyataannya jarang terjadi bahwa manusia itu dapat mencapai ssesuatu hasil yang sama sekali terlepas dari usaha atau bantuan orang lain.
Tingkat adat yang kedua dan lebih konkret adalah system norma. Norma – norma itu adalah nilai – nilai budya yang sudah terkait kepada peranan – peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Peranan manusia dalam kehidupannya adalah banyak, manusia sering berubah peranan dari saat ke saat, dari kari ke hari. Pada suatu saat ia berperanan sebagai orang atasan, saat kemudian ia berperanan sebagai orang bawahan, pada suatu hari ia berperanan sebagai guru, pada hari lain ia adalah pemimpin partai politik. Tiap peranan membawakan baginya sejumlah norna yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dengan dalam hal memainkan peranannya yang besangkutan. Jumlah norma dari suatu kebudayaan lebih banyak daripada jumlah nilai – budayanya.
Tingkat adat yang ketida dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik hukum adat maupun hukum tertulis). Hukum sudah jelas mengenai bermacam – macam sector hidup yang sudah terang batas – batas ruang – lingkupnya. Jumlah undang – undang hukum dalam suatu masyarakat sudah jauh lebih banyak daripada jumlah norma yang menjadi pedomannnya.
Tingkat adat yang keempat adalah aturan – aturan khusus yang mengatur aktivitas – aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang – lingkupnya dalam dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan –aturan khusus ini amat konkret sifatnya dan banyak diantaranya terkait dalam sistem hukum. Contohnya adalah peraturan lalu – lintas. Contoh dari aturan khusus yang tidak tersangkut ke dalam sistem hukum adalah misalnya aturan sopan – santun.
Dari penjelasan sebelumnya, kami telah menjelaskan wujud – wujud kebudayaan yaitu wujud ideel, wujud kelakuan dan wujud fisik. Seluruh total dari kelakuan manusia yang berpola, tentu bias kita perinci menurut fungsi – fungsi khasnya dalam memenuhi kebutuhan – kebutuhan hidup manusia dalam masyarakatnya. Suatu sistem aktivitas khas dari kelakuan berpola (wujud kedua dari kebudayaan) beserta komponen – komponennya ialah : sistem norma dan tata kelakuannya (wujud pertama dari kebudayaan) dan peralatannya (wujud ketiga dari kebudayaan), ditambah dengan manusia atau personel yang melaksanakan kelakuan berpola, itulah yang merupakan pranata atau institution. Pranata – pranata kebudayaan ini dapat kita anggap sebagai suatu pemerincian lebih lanjut dari ketujuh unsur kebudayaan universal itu.
Dibawah ini akan dicantumkan suatu daftar dari beberapa puluh pranata kebudayaan yang digolongkan ke dalam delapan kelompok, dengan memakai delapan kebutuhan hidup manusiasebagai prinsip penggolongan (tentu kehidupan hidup manusia, itu ada lebih dari delapan, tetapi disini hanya dicantumkan delapan, hanya sebagai ilustrasi).
1. Pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kekerabatan, ialah yang sering disebut kinship atau domestic institutions. Contohnya : pelamaran, perkawinan, poligami, pengasuhan anak – anak, perceraian dan sebagainya.
2. Pranata – pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan hidup manusia untuk pencarian hidup, memproduksi, menimbun, dan mendistribusi harta dan benda, ialah economic institutions. Contoh : pertanian, peternakan, pemburuan, feodalisme, industri, barter, koperasi, penjualan dan sebagainya.
3. Pranata – pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan penerangan dan pendidikan manusia supaya menjadi anggota masyarakat ynag berguna , ialah educational institutions. Contoh : pengasuhan kanak – kanak, pendidikan rakyat, pendidikan menengah, pendidikan tinggi, pemberantasan buta huruf, pendidikan keagamaan, pers, perpustakaan umum dan sebagainya.
4. Pranata – pranata yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia, menyelami alam semesta sekelilingnya, ialah scientific institutions. Contoh : metodik ilmiah, penelitian, pendidikan ilmiah dan sebagainya.
5. Pranata – pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia menyatakan rasa keindahannya, dan untuk rekreasi, ialah aesthetic and recreational institutions. Contoh : seni rupa, seni suara, seni gerak, seni drama, kesusasteraan, sport dan sebagainya.
6. Pranata – pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan Tuhan atau dengan alam gaib, ialah religious institutions. Contoh : gereja, doa, kenduri, upacara, penyiaran agama, pantangan, ilmu gaib, dan sebagainya.
7. Pranata – pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan berkelompok secara besar – besaran atau kehidupan bernegara, ialah political institutions. Contoh : Pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian, ketentaraan dan sebagainya.
8. Pranata – pranata yang mengurus kebutuhan jasmaniah dari manusia, ialah somatic institutions. Contoh : pemeliharaan kecantikan, pemeliharaan kesehatan, kedokteran dan sebagainya.
Penggolongan diatas tidak memuaskan karena tidak mencakup segala macam pranata yang mungkin ada dalam masyarakat manusia. Kalu dipikirkan secara mendalam dan obyektif, hal – hal seperti kejahatan, banditisme, pelacuran dan sebagainya, juga dapat dianggap sebagai pranata – pranata kemasyarakatan; tetapi dalam penggolongan – penggolongan di atas, pranata – pranata tersebut tidak dapat tempat. Kecuali itu harus pula diperhatikan bahwa banyak dari pranata tersebut di atas mempunyai demikian banyak aspek, sehingga pranata – pranata itu tidak hanya dapat digolongkan ke dalam satu golongan tetapi juga ke dalam lebih dari suatu golongan. Misalnya feodalisme sebagai suatu sistem hubungan antara pemilik tanah dan penggarap tanah, yang pada hakekatnya mengakibatkan suatu produksi dari hasil bumi, dapat dianggap suatu economic institution, tetapi sebagai suatu system hubungan antara pihak berkuasa dan pihak rakyat sebagai dasar suatu negara,dapat dianggap suatu political institution. Jadi penggolongan diatas hanya mencantumkan untuk memberi ilustrasi secara konkret dari apa yang disebut pranata itu dalam ilmu – ilmu sosial.
Pada bagian ini kami akan membahas mengenai konsep kebudayaan nasional yang ruang lingkupnya menjadi terbatas. Memang hanya satu di antara ketujuh unsur kebudayaan universal itu bisa cocok dikembangkan secara khusus. Unsur – unsure kebudayaan yang universal yang telah kami sebutkan di atas yaitu :
1. Sistem religi dan upacara keagamaan,
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan,
3. Sistem pengetahuan,
4. Bahasa,
5. Kesenian,
6. Sistem mata pencaharian hidup,
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Sulit untuk mengembangkan suatu system teknologi yang khas ala Indonesia dalam abad elektronik ini dan atom ini, karena dalam lapangan itu bangsa Indonesia sudah terlampau terbelakang. Sulit juga untuk mengembangkan suatu sistem ekonomi dan berkepribdian ala Indonesia, karena bangsa Indonesia terlampau miskin untuk dapat berhasil dalam suatu usaha seperti itu. Juga untuk mengembangkan suatu organisasi masyarakat khas Indonesia adalah sulit, karena prinsip- prinsip struktur masyarakat itu terbatas kemungkinan – kemungkinannya. Hal yang bias kita beri sifat khas, mungkin hanya adapt sopan santun pergaulan Indonesia. Bahasa tentu merupakan alat jitu untuk mengembangkan rasa identitas Indonesia, sebaliknya sulit untuk dipakai sebagai alat untuk meninggikan rasa kebanggaan bangsa. Ilmu pengetahuan tak bias ditonjolkan sebagai suatu unsur Kebudayaan Nasional Indonesia, karena ilmu pengetahuan sekarang bersifat universal. Walaupun demikian, suatu hasil yang gemilang dalam suatu usaha ilmu pengetahuan, suatu penemuan baru oleh seorang putera Indonesia, bias meninggikan rasa kebanggaan orang Indonesia sebagai keseluruhan. Religi dan agama sulit juga untuk dengan sengaja menurut sifat – sifatnya khas Indonesia. Agama adalah titah Tuhan, maka sebaiknya janganlah kita berusaha untukmengembangkan suatu agama islam khas ala Indonesia, atau agama katholik khas ala Indonesia (Wlaupun secara nyata suatu proses kea rah itu toh sudah dan masih berlangsung, namun hal itu sulit ditonjolkan untuk mempertinggi rasa kebanggaan dan kepribadian nasional kita).
Hanya ada satu unsur kebudayaan yang dapat menonjolkan sifat khas dan mutu, dan dengan demikian amat cocok sebagai unsur yang paling utama dari Kebudayaan Nasional Indonesia, yaitu kesenian. Kalau demikian halnya, maka masalah mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia pada hakekatnya memang terbatas kepada masalah mengembangkan Kesenian Nasional Indonesia.
Dengan demikian, kalau usaha mengembangkan kebudayaan nasional itu dalam prakteknya toh menyangkut usaha mengembangkan kesenian nasional, amat perlu untuk bisa mengetahui ruang lingkup dari kesenian itu agar bisa diketahui ruang lingkup dari usaha mengembangkan kesenian itu. Semua bidang yang termasuk ruang lingkup kesenian yaitu : seni bangunan, seni patung, seni relief, seni lukis, seni rias, seni kerajinan, seni olahraga, seni vokal, seni instrumental, seni sastra.
Seni bangunan sebenarnya adalah suatu bidang kesenian yang amat cocok untuk dapat mempertinggi rasa kebanggaan dan identitas suatu bangsa. Wujudnya sangat fisik dan lokasinya di kota – kota besar, yang sering dikunjungi bangsa – bangsa dari segala penjurumata angina, sehingga dapat tampak dari luar. Sifat khasnya bisa mudah ditonjolkan, sedang mutunya pun dapat mudah dapat diobservasi. Sumber untuk mengembangkan sifat – sifat khas dalam seni bangunan Indonesia dapat dicari di dalam seni bangunan dari suku – suku bangsa di daerah atau alam Indonesia seluruhnya, sedangkan pemanfaatan mutu ditentukan oleh standar ilmu arsitektur. Gaya nasional yang benar – benar bisa kita banggakan sebenarnya belum ditemukan oleh arsitek – arsitek kita. Suatu gedung seperti Wisma Nusantara di Jakarta, meskipun indah dan bermutu, samasekali belum mengandung unsur – unsur khas Indonesia. Banyak gedung baru di berbagai kota di Indonesia belum memperlihatkan suatu kepribadian yang kuat walaupun usaha untuk mengolah unsur – unsur tertentu dari seni arsitektur Indonesia sudah dicoba. Untunglah bahwa kita masih mempunyai sumber lain untuk mengambil hasil – hasil dalam seni bangunan yang baik, yang mempunyai sifat khas dan bermutu. Sumber itu adalah zaman yang lampau. Bangunan – bangunan seperti stupa Borobudur, candi Prambanan, candi Penataran dan sebagainya, memang memberi rasa kebanggaan kepada sebagian besar orang Indonesia, dan sangat meninggikan kepribadian Indonesia serta mempertinggi rasa identitasnya.
Seni patung, relief, lukisan, dan gambar, merupakan bidang – bidang kesenian yang paling fleksibel dan mudah dipakai untuk mengembangkan sifat kepribadian kita berdasar sifat – sifat khas dan mutu yang tinggi. Sifat khas itu tidak hanya dapat dikaitkan dengan wujud lahiriah dari bidang kesenian, tetapi juga dengan isinya, dan dengan konsepsi intelektualnya. Sumber untuk mencari unsur – unsur yang bisa memberi sifat kekhususan itu tidak hanya kehidupan zaman yang lampau, tetapi kehidupan zaman sekarang dan seluruh alam semesta Indonesia, bahkan seluruh alam semesta di dunia luas ini.
Seni rias Indonesia, terutama seni pakaian untuk wanita, sudah mempunyai sifat – sifat khas yang dapat kita banggakan keindahan dan kecantikannya, karena itu sebaiknya kita pelihara selama mungkin sebagai salah satu unsure kebudayaan nasional kita yang menonjol.Erat bersangkutan dengan seni berpakaian adalah seni kerajinan, terutama seni tenun, seni batik, seni ikat, dan seni tekstil Indonesia lain. Cabang kesenian itu sudah berakar dalam kebudayaan Indonesia sejak lama, tinggi mutu keindahannya, bisa menonjolkan sifat khas Indonesia, bisa memberi rasa kebanggaan kepada kita, dan bisa dikembangkan lebih lanjut dengan mempertinggi mutunya dalam rangka industri tekstil modern. Itulah sebabnya seni tekstil Indonesia merupakan seni bidang kesenian yang utama dalam rangka seni kerajinan yang dapat mendorong perkembangan Kebudayaan Nasional Indonesia.
Seni olahraga Indonesia yang harus dihubungkan erat dengan seni tari Indonesia, memang sering dipakai sebagai salah satu unsure penting dalam hal usaha mengembangkan Kebudayaan Nasional Indonesia sejak zaman taman siswa memulai perjuangan pendidikannya untuk menumbuhkan perasaan dan kesadaran nasional antara anak – anak Indonesia dalam zaman penjajahan Belanda. Sifat dari beberapa seni tari di Indonesia, baik yang dikembangkan dalam lingkungan istana – istana Swapraja (seperti dalam kebudayaan Jawa) maupun di tengah kebudayaan masyarakat desa (seperti Bali), memang amat khas, sedangkan mutunya tak dapat diragukan lagi. Meskipun demikian rupa – rupanya baik seni tari Jawa maupun sni Tari Bali sudah mencapai suatu taraf pengkhususan yang sudah sangat jauh berbeda, sehingga sukar dicampur menjadi satu tanpa merugikan masing – masing. Memang usaha penyampuran semacam itu tak perlu diusahakan untuk membentuk suatu seni tari nasional Indonesia. Seni tari Indonesia adalah seni tari Jawa dalam manifestasinya yang setinggi – tingginya (tentu disesuaikan dengan persepsi orang sekarang mengenai waktu) dan seni tari Bali juga dalam manifestasinya yang setinggi – tingginya, sedangkan harus ada kesempatan untuk perkembangan aliran – aliran seni tari yang mempunyai dasar yang lain, tetapi yang menonjolkan tema Indonesia yang khusus dengan mutu yang tinggi, baik dalam teknik seni tari maupun dalam konsepsi intelektualnya.
Seni musik Indonesia berkembang erat sejajar dengan seni tari Indonesia, tetapi di samping itu dalam seni musik nasional Indonesia harus ada suatu tempat yang penting untuk seni musik pop Indonesia dan seni musik klasik Indonesia. Kedua – duanya memerlukan sifat khas Indonesia dan mutu yang tinggi. Seni pop Indonesia sedang mencari sifat khasnya itu,sedangkan mutu masih bisa ditingkatkan. Seni musik klasik Indonesia belum sampai pada taraf kemampuan untuk mencari sifat khasnya karena mutunya memang masih ada di bawah standar yang semestinya. Hal itu karena dukungan dari masyarakat luas belum ada. Pendukung musik klasik di mana pun di dunia biasanya adalah golongan intelektual dalam masyarakat, padahal di Indonesia golongan itu masih sangat lemah.
Seni sastra Indonesia yang bersifat daerah ada banyak macamnya, menurut bahasa daerah yang menjadi pengembannya. Di antara kesusasteraan – kesusasteraan daerah itu ada yang mempunyai sejarah tertulis yang panjang seperti misalnya kesusasteraan Jawa, Bali, Bugis, Melayu dan lain – lain, tetapi pada masa ini seni sastra daerah yang bersifat kontemporer belum banyak berarti. Hal itu adalah suatu pratanda bahwa kehidupan intelektual dalam kebudayaan daerah pada umumnya masih sangat berorientasi ke masa yang lampaudan belum menunjukkan kemampuan dan potensi baru untuk menyesuaikan diri dengan suasana hidup masa kini. Sebab dari keadaan itu mudah dapat kita pahami. Industrialisasi dan suasana hidup moderen belum berkembang secara berarti di daerah – daerah. Kota - kota di daerah masih terlampau bersifat kota administrative dengan suatu golongan pegawai atau golongan priyayi sebagai kelas sosial yang dominant. Baik kelas usahawan daerah maupun kehidupan intelektual di kota – kota seperti itu masih terlampau terpengaruh oleh gaya hidup dan mentalitas priyayi, yang umumnya belum mempunyai suatu sikap mental modern dan yang karena itu masih terlampau berorientasi ke masa yang lampau.
Seni sastra dalam bahasa nasional dalam suatu masyarakat majemuk seperti masyarakat Indonesia. Memang merupakan salah satu bidang kesenian yang paling cocok dan paling kuat untuk bisa mengembangkan kebudayaan nasional. Kita telah dapat melihat bagaimana pentingnya peranan kesusasteraan nasional dalam perkembangan bahasa nasional kita, dan sebaliknya bagaimana pentingnya peranan bahasa nasional kita dalam hal mengembangkan rasa kesatuan nasional dalam masa Pergerakan Nasional, maupun dalam masa revolusi kita. Kesusasteraan Nasional, kita walaupun masih berada dalam keadaan pasang surut, toh sudah menunjukkan kemampuannya untuk menghasilkan karya – karya bermutu yang menonjolkan sifat – sifat khas Indonesia. Cepat atau lambatnya perkembangan kebudayaan nasional tergantung pada cepat atau lambatnya perkembangan kesusasteraan nasional.
Seni drama, dapat dianggap sebagai suatu bidang kesenian, perluasan dari seni kesusasteraan. Bahkan bisa sejajar dengan seni kesusasteraan Indonesia. Seni drama Indonesia yang bersifat daerah ada banyak macamnya menurut kebudayaan suku – bangsa yang mendiami daerah yang bersangkutan. Seni drama Jawa, Bali, Lombok, Banjarmasin, dan lain – lain, hidup dalam berbagai bentuk, tetapi yang terpenting diantaranya adalah seni drama atau seni pendalangan. Seni drama wayang di berbagai daerah tersebut di atas terorientasi ke zaman yang lampau, tetapi di samping itu, terutama di kota – kota Jawa, juga ada beberapa bentuk seni drama yang bersifat kontemporer (ludruk, sandiwara rakyat, lenong dan lain - lain). Mutunya masih kasar karena seni drama seperti itu iasanya merupakan tontonan bagi rakya buruh di kota – kota. Walaupun demikian, sifatnya menarik, spontan, mempunyai fungsi sosial yang penting, dan mungkin juga bisa menonjolkan sifat – sifat kekhususan kebudayaan dan kehidupan bangsa Indonesia. Hanya saja mutunya belum sedemikian tinggi, sehingga bisa kita akui sebagai suatu unsur kebudayaan nasional kita.
Seni drama dalam Bahasa Nasional sedang berkembang mencari kepribadiannya sendiri. Demikian juga halnya dengan suatu bidang seni drama yang sekarang menjadi universal, ialah seni film. Juga seni film Indonesia sedang mencari – cari kepribadiannya, dan belum mencapai suatu kemantapan. Tehniknya sudah baik, tetapi dipandang dari sudut isinya belum menemukan sifat – sifat khas kehidupan masyarakat dan Kebudayaan Indonesia, dan hanya dengan beberapa terkecualian yang menyolok, pada umumnya masih menunjukkan suatu mutu intelektual yang rendah.
Peninjauan sepeintas selalu mengenai distribusi potensi dan kelemahan dari berbagai bidang kesenian yang ada di Indonesia, hanya dimaksud sebagai contoh mengenai unsur – unsur dan bidang – bidang apakah yang harus kita pehatikan apabila kita hendak merencanakan pembangunan kebudayaan nasional kita. Untuk mengembangkan ciri kekhususan dalam berbagai bidang kesenian, tetapi terutama kesusasteraan Nasional Indonesia yang dapat kita banggakan, diperlukan mutu. Mutu juga diperlukan untuk peningkatan daya kreatif para arsitek, pemahat, pelukis, penari, ahli musik, tetapi terutama daya kreatif para pengarang kita.
Daya kreatif itu biasanya timbul pada para karyawan, ahli, sarjaa, atau seniman, dalam suatu bidanng keahlian atau kesenian, yang sadar akan kekurangan dalam lingkungan atau karya mereka. Walaupun demikian, kesadaran saja belum cukup. Banyak orang sadar akan bermacam kekurangan yang ada dalam masyarakat sekitarnya, yang sadar akan bermacam kekurangan dalam pekerjaan, karya dan hasil karya mereka sendiri, tetapi toh tidak berbuat apa – apa, karena menerima saja kekurangan itu, atau karena tak mampu memperbaiki kekurangan itu. Sebaliknya, kalau karyawan, ahli, sarjana atau seniman yang bersangkutan telah mempunyai keahlian tinggi, dan memiliki suatu mentalitas untuk selalu memperbaiki mutu dari karya – karyanya, maka pada suatu ketikan ia akan mencapai suatu hasil yang belum pernah dicapai sebelumnya, baik oleh dirinya sendiri, ataupun oleh orang lain. Dengan demikian ia telah menciptakan, mengkreasikan, suatu hasil karya yang baru, atau ia telah menciptakan suatu penemuan yang baru.
Daya kreatif di antara para karyawan, ahli, sarjana, atau seniman memang haya bisa dikembangkan melalui peningkatan mutu karya mereka dalam teknik maupun dalam konsepsinya. Walaupun demikian, pengembangan kesenian nasional tidak hanya menyaratkan pengembangan mutu dan daya kreatif dari para karyawan, ahli, sarjana, dan senimannya saja, tetapi juga menyaratkan peningkatan mutu dari para konsumennya, yaitu berbagai golongan rakyat Indonesia yang harus menikmati hasil karya dari berbagai bidang kesenian tadi. Peningkatan mutu dari rakyat di sini berarti bahwa lebih banyak di antara kita orang Indonesia dari berbagai macam golongan, harus meningkatkan pengetahuan umum kita, harus membiasakan diri kita untuk lebih banyak membaca dan untuk mengembangkan kebiasaan membaca kepada anak – anak kita, yang akan menjadi konsumen dan pendukung kebudayaan nasional Indonesia di masa yang akan datang.
Kepulauan Indonesia yang merupakan suatu gugusan yang terpanjang dan terbesar di dunia, menurut para ahli ilmu geologi, mendapat bentuknya kira-kira seperti apa yang kita kenal sekarang ini. Banyaknya kebudayaan memiliki hubungan juga terhadap suatu organisasi, karena dalam suatu organisasi memiliki berbagai karakter serta budaya masing-masing.
Masalah dari menjelaskan budaya organisasi berasal dari fakta yang menyebutkan bahwa konsep dari organisasi itu sendiri ambigu. Kita tidak dapat menggunakan beberapa “fenomena budaya” dan kemudian menggunakan keberadaan mereka sebagai bukti dari keberadaan sebuah kelompok. Kita terlebih dahulu harus menjelaskan bahwa sekelompok manusia telah mempunyai stabilitas dan sejarah yang cukup untuk membuat terbentuknya budaya. Hal ini berarti bahwa beberapa organisasi tidak akan mempunyai budaya karena tidak mempunyai sejarah atau frekuensi pergantian dari anggota-anggotanya. Tetapi isi dan kekuatan dari budaya harus sudah ditentukan secara empiris. Mereka tidak bias didapatkan begitu saja dari observasi fenomena budaya permukaan.
Budaya adalah apa yang dipelajari oleh kelompok dalam periode waktu tertentu seperti saat kelompok tersebut memecahkan masalah hidup dan mati pada lingkungan eksternal dan masalah integrasi pada internal. Pembelajaran semacam ini adalah hasil simultan dari tingkah laku,kognitif dan proses emosional. Pengekstrapolasian lebih jauh dari pandangan antropologi, sebuah tingkat terdalam dari budaya akan menjadi kognitif pada persepsi seperti itu, bahasa, dan berpikir bahwa proses-proses dari kelompok itu menjadi penyebab utama dari perasaan, kelakuan, nilai, dan tingkah laku yang jelas.
Dari teori sistem, teori Lewinian dan teori kognitif menjadi teori yang lain, sistem tersebut memelihara semacam keseimbangan, mencoba mengurangi pembubaran, dan kemudian membawa beberapa asumsi dasar menjadi pelurusan satu dengan yang lain (Durkin, 1981; Festinger 1957; Hebb, 1954; Heider, 1958; Hirschhorn, 1987; Lewin, 1952). Terdapat permasalahan konseptual, biar bagaimanapun, karena sistem mencakup subsistem, organisasi mencakup kelompok dan unit-unit di dalamnya, dan masih tidak jelas apakah jangkauan kecenderungan menuju keseimbangan akan muncul pada keseluruhan sistem yang kompleks.
Pada tujuan kita, cukuplah untuk menjelaskan bahwa kelompok tersebut dapat dijelaskan dengan sejarah kita dapat membuat budaya dan dalam organisasi ada kemungkinan terdapat banyak sub sejarah. Bila organisasi secara keseluruhan telah membagi pengalaman-pengalamannya, akan pula terdapat budaya organisasi keseluruhan. Dalam unit ini, kecenderungan untuk berintegrasi dan seimbang menjadi kenyataan, dan sangat mungkin untuk unit-unit yang ada dari sistem yang lebih besar untuk mempunyai budaya yang bebas bahkan dalam konflik satu sama lain sekalipun.
Sekarang, budaya dapat diartikan sebagai (a) sebuah pola dari perkiraan dasar, (b) penemuan, pembuatan, atau pengembangan dari kelompok, (c) ketika belajar untuk mengatasi masalah adaptasi pada external dan integrasi pada internal, (d) telah bekerja dengan baik sehingga diakui keabsahannya, (e) untuk diajarkan pada anggota baru sebagai (f) langkah yang benar untuk merasakan, memikirkan, dan perasaan dalam hubungan untuk masalah tersebut.
Kekuatan dan tingkat dari kestabilan internal dari budaya adalah, oleh karena itu, fungsi dari stabilitas kelompok, lama kelompok tersebut berdiri, dan intensitas pembelajaran dan pengalaman dari kelompok-kelompok tersebut, mekanisme pada saat pembelajaran dilakukan, kekuatan dan kejelasan dari perkiraan yang ditentukan oleh penemunya dan pemimpin kelompok.
Saat sebuah kelompok telah belajar menangani perkiraan umum, hasilnya adalah pola otomatis dari perasaan, pemikiran, dan kelakuan, yang menghasilkan, pengertian, kestabilan, dan kenyamanan ; keinginan yang berasal dari ketidakmampuan untuk mengerti atau memperkirakan peristiwa yang terjadi di sekitar kelompok, akan berkurang dengan belajar. Kekuatan dan keuletan dari usaha mendapatkan budaya, berasal dari pekerjaan pengurangan kegelisahan ini. Seseorang dapat berpikir bahwa beberapa aspek dari budaya sebagai hal untuk kelompok, sedangkan mekanisme pertahanan adalah untuk individu (Hirschhorn, 1987; Menzies, 1960; Schein, 1985b).
Kepemimpinan merupakan suatu objek yang sudah lama diminati para ilmuwan maupun orang awam. Istilah tersebut berisi konotasi tentang citra individu-individu yang berkuasa dan dinamis yang memimpin armada yang menang perang, yang mengendalikan kerajaan-kerajaan korporasi dari atas gedung-gedung pencakar langit yang berkilauan, atau yang mengarahkan tujuan bangsa-bangsa.
Pertanyaan-pertanyaan mengenai kepemimpinan sudah lama merupakan suatu subjek spekulasi, namun penelitian ilmiah mengenai kepemimpinan belum dimulai sebelum abad kedua puluh. Fokus dari kebanyakan penelitian adalah mengenai determinan-determinan dari efektivitas kepemimpinan. Para ilmuwan perilaku (behavioral scientists) telah mencoba untuk menemukan ciri-ciri, kemampuan-kemampuan, perilaku-perilaku, sumber-sumber kekuasaan, atau aspek-aspek apa saja dari situasi tersebut yang menentukan sejauh mana seorang pemimpin mampu mempengaruhi para pengikutnya dan mencapai sasaran-sasaran kelompok.
Kepemimpinan mempunyai arti yang berbeda pada orang-orang yang berbeda. Kata ini merupakan suatu kata yang diambil dari kamus umum dan dimasukkan ke dalam kamus teknis sebuah disiplin ilmiah tanpa didefinisikan dengan tepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar