Selasa, 21 Oktober 2008

Hakikat dan Contoh Kebenaran

Hakikat dan Contoh Kebenaran

I. Pendahuluan
Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.
William P. Tolley dalam bukunya yang berjudul Preface To Philosophy A Tex Book, mengemukakan bahwa "our question are endless: what is a man, what is a nature, what is a justice, what is a god? Berbeda dengan hewan, manusia sangat concern mengenai asal mulanya, akhirnya, maksud dan tujuannya, makna dan hakikat kenyataan. Mungkin saja ia adalah anggota marga satwa, namun ia juga adalah warga dunia yang memiliki ide dan nilai.
Dengan menempatkan manusia sebagai hewan yang berpikir, berintelektual dan berbudaya, maka dapat disadari kemudian bila pada kenyataannya manusialah yang memiliki kemampuan untuk menelusuri keadaan dirinya dan lingkungannya. Manusialah yang membiarkan pikirannya mengembara dan akhirnya bertanya. Berpikir adalah bertanya, bertanya adalah mencari jawaban, mencari jawaban adalah mencari kebenaran; mencari jawaban tentang alam dan Tuhan adalah mencari kebenaran tentang alam dan Tuhan.
Hidup manusia adalah mencari kebenaran. Plato pernah menanyakan “Apakah kebenaran itu? Pada waktu yang lain, Bradley menjawab, “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran. Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari ketidakbenaran (Syafi’I, 1995)
Makna kebenaran dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985). Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian, pengabdian ilmu secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Daldjoeni, 1985).
Selaras dengan hal tersebut, Poedjawiyatna (1987) mengatakan bahwa persesuaian antara pengetahuan dengan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini dipegang sebagai kebenaran mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden, dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat di luar jangkauan manusia.

II. Teori Kebenaran
Beberapa teori telah dilahirkan untuk mencoba mendekati arti dari kebenaran. Beberapa teori itu adalah teori kebenaran korespondensi, teori kebenaran koherensi atau konsistensi, teori kebenaran pragmatis, teori kebenaran performatif, dan teori kebenaran konsensus.
a. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi pertama kali dipelopori oleh Bertrand Russell (1872-1970), merupakan teori yang tertua, populer, dan mungkin teori kebenaran yang paling alamiah. Teori ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme dan materialisme. Pandangannya bahwa realitas itu independen, tidak tergantung dari suatu pemikiran (realisme) dan kebenaran adalah objektif yang wujudnya tidak tergantung pada kesadaran manusia (materialisme).
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan.
Gejala-gejala alamiah, menurut kaum empiris, adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat panca indera manusia. Gejala itu bila ditelaah mempunyai beberapa karakteristik tertentu. Logam bila dipanaskan akan memuai. Air akan mengalir ke tempat yang rendah. Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lain dan berbedanya objek yang dapat ditangkap indera. Perbedaan sensivitas tiap indera dan organ-organ tertentu menyebabkan kelemahan ilmu empiris.
Ilmu pengetahuan empiris hanyalah merupakan salah satu upaya manusia dalam menemukan kebenaran yang hakiki dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penyusunan pengetahuan secara empiris cenderung menjadi suatu kumpulan fakta yang belum tentu bersifat konsisten, dan mungkin saja bersifat kontradiktif. Adanya kecenderungan untuk mengistimewakan ilmu eksakta sebagai ilmu empiris untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi manusia tidak selalu tepat. Pengistimewaan pengetahuan empiris secara kultural membuat manusia modern seperti pabrik. Semua cabang kebudayaan yang terbentuk menjadi produksi yang bersifat massal.
Keberhasilan ilmu eksakta yang berdasarkan empirisme dalam mengembangkan teknologi ketika berhadapan dengan ”kegagalan” ilmu-ilmu human dalam menjawab masalah manusia, membawa dampak buruk terhadap kedudukan dan pengembangan ilmu-ilmu human. Analisis filsafat tentang kenyataan ini harus ditempatkan secara proporsional, karena merupakan suatu usaha ilmiah untuk membantu manusia mengungkap misteri kehidupannya secara utuh.
b. Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistensi
Teori koherensi, pada kenyataannya kurang diterima secara luas dibandingkan teori korespondensi. Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya. Teori koherensi ini berkembang dengan baik pada abad 19 dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh pengikut mazhab idealisme. Pandangan idealisme menyatakan bahwa objek pengetahuan tidaklah berwujud terlepas dari kesadaran tentang objek tersebut (subjektivisme).
Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsep-konsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika.
Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya.
Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas.
Pengetahuan rasional yang berdasarkan logika tidak hanya terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak hanya tertuju pada objek-objek tertentu. Gagasan rasionalistis dan positivistis cenderung untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang didapat secara refleksi. Pemikiran rasional cenderung bersifat solifistik dan subyektif. Adanya keterkaitan antara materi dengan non materi, dunia fisik dan non fisik ditolak secara logika. Apabila kerangka ini digunakan secara luas dan tak terbatas, maka manusia akan kehilangan cita rasa batiniahnya yang berfungsi pokok untuk menumbuhkan apa yang didambakan seluruh umat manusia yaitu kebahagiaan.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57).
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Menurut teori ini, proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia. Manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya merupakan titik temu berbagai disiplin ilmu. Hidup manusia seutuhnya merupakan objek paling kaya dan paling padat. Ilmu pengetahuan seyogyanya bisa melayani keperluan dan keselamatan manusia. Pertanyaan-pertanyaan manusia mengenai dirinya sendiri, tujuan-tujuannya dan cara-cara pengembangannya ternyata belum dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan yang materialis-pragmatis tanpa referensi kepada nilai-nilai moralitas.
Aksiologi ilmu pengetahuan modern yang dibingkai semangat pragmatis-materialis ini telah menyebabkan berbagai krisis lingkungan hidup, mulai dari efek rumah kaca akibat akumulasi berlebihan CO2, pecahnya lapisan ozon akibat penggunaan freon berlebihan, penyakit minimata akibat limbah methylmercury hingga bahaya nuklir akibat persaingan kekuasaan antar negara. Ketiadaan nilai dalam ilmu pengetahuan modern yang menjadikan sains untuk sains, bahkan sains adalah segalanya, telah mengakibatkan krisis lingkungan dan kemanusiaan. Krisis lingkungan dan kemanusiaan, mulai dari genetic engineering hingga foules solitaire (kesepian dalam keramaian, penderitaan dalam kemelimpahan). Manusia telah tercabut dari aspek-aspek utuhnya, cinta, kehangatan, kekerabatan, dan ketenangan. Kedua krisis global ini telah menghantui sebagian besar lingkungan dan masyarakat modern yang materialis-pragmatis.
d. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
e. Teori Kebenaran Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut.Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
Pengalihkesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah.
Dalam ilmu astronomi, keunggulan kuantitatif tabel-tabel Rudolphine dan Keppler dibandingkan yang hitungan manual Ptolomeus merupakan faktor utama dalam konversi para astronom kepada Copernicanisme. Dalam fisika modern, teori relativitas umum Einsten mendapat ejekan karena ruang itu tidak mungkin melengkung. Untuk membuat transisi kepada alam semesta Einstein, seluruh konsep ruang, waktu, materi, gaya, dan sebagainya harus diubah dan di reposisi ulang. Hanya orang-orang yang bersama-sama menjalani atau gagal menjalani transformasi akan bisa menemukan dengan tepat apa yang mereka sepakati dan apa yang tidak.

III. Contoh Kebenaran
Contoh kebenaran dapat terlihat pada masing-masing teori kebenaran. Contoh kebenaran adalah sebagai berikut:
a. Contoh Kebenaran pada Teori Kebenaran Korespondensi
Contoh kebenaran pada teori kebenaran korespondensi adalah:
1. Jika seseorang mengatakan bahwa, “IPB berada di kota Bogor,” maka pernyataan tersebut adalah benar, sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat faktual yakni Bogor, memang kota dimana IPB berada. Apabila ada orang lain yang menyatakan bahwa “IPB berada di kota Medan,” maka pernyataan itu adalah tidak benar, sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini, maka secara faktual, “IPB bukan berada di kota Medan, melainkan Bogor.”
2. Seseorang mengatakan, “Wah lagi hujan nih!”. Perkataan bisa jadi benar, jika perkataan itu berhubungan dengan realitasnya. Tapi terkadang maksud perkataan lebih kepada sindiran, godaan atau yang bersifat menyesatkan. Sehingga secara semantik, pernyataan ini dapat menjadi benar atau salah
b. Contoh Kebenaran pada Teori Kebenaran Koherensi atau Konsistensi
Contoh kebenaran pada teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah:
1. Semua manusia akan mati. Fulan adalah seorang manusia. Fulan pasti akan mati.
2. Seluruh mahasiswa IPB harus mengikuti kegiatan Ospek. Ahmad adalah mahasiswa IPB. Ahmad harus mengikuti kegiatan Ospek.
c. Contoh Kebenaran pada Teori Kebenaran Pragmatis
Contoh kebenaran pada teori kebenaran pragmatis adalah:
1. Kemacetan jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi oleh satu orang. Maka penyelesaiannya “Mewajibkan jalan pribadi ditumpangi oleh tiga orang atau lebih”. Ide tadi benar apabila ide tersebut berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan.
2. Ada orang yang menyatakan sebuah teori A dalam komunikasi, dan dengan teori A tersebut dikembangkan teknik B dalam meningkatkan efektivitas komunikasi, maka teori A itu dianggap benar, sebab teori A ini adalah fungsional atau mempunyai kegunaan.
d. Contoh Kebenaran pada Teori Kebenaran Performatif
Contoh kebenaran pada teori kebenaran performatif adalah:
1. Pada saat saya berkata,”Memang benar bahwa Bandung Indah Plaza terletak di Jalan Merdeka”. Saya melakukan suatu tindakan yang memberikan kebebasan pada pendengar dari ucapan saya untuk percaya bahwa Bandung Indah Plaza terletak di Jalan Merdeka.
2. Pada saat saya berjanji untuk memberi adik saya lima ribu rupiah, saya tidak membuat suatu tuntutan mengenai pernyataan yang dikatakan dengan, “saya akan memberimu lima ribu rupiah”. Tetapi, saya melakukan tindakan dari ‘menjanjikan sesuatu’.
e. Contoh Kebenaran pada Teori Kebenaran Konsensus
Contoh kebenaran pada teori kebenaran konsensus adalah:
1. Dalam ilmu astronomi, keunggulan kuantitatif tabel-tabel Rudolphine dan Keppler dibandingkan dengan hitungan manual Ptolomeus merupakan faktor utama dalam konversi para astronom kepada Copernicanisme.
2. Untuk membuat transisi kepada alam semesta Einstein, seluruh konsep ruang, waktu, materi, gaya, dan sebagainya harus diubah dan di reposisi ulang.

IV. Pandangan Islam tentang Kebenaran
Berbagai kalangan mengatakan bahwa teori korespondensi adalah pemahaman yang tepat terhadap kebenaran. Korespondensi berarti hubungan (antara subjek dengan objek). Kesesuaian subjek dan objeklah yang dikatakan sebuah kebenaran. Hal ini seperti yang di katakan oleh syaikh taqqiudin An–Nabbani bahwa berfikir tentang kebenaran tidak berbeda dengan berfikir dengan yang lain. Kebenaran adalah kesesuaian antara pemikiran dan fakta. Berfikir tentang kebenaran adalah menjadikan keputusan yang telah dikeluarkan akan sesuai dengan fakta yang telah ditranfer ke dalam otak melalui alat indera. Kesesuaian inilah yang akan menjadikan makna yang ditunjukan oleh pemikiran sebagai suatu kebenaran. Pemikiran tersebut harus sesuai dengan fitrah manusia.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa hubungan antara objek dan subjek adalah kebenaran itu sendiri. Akan tetapi, jika ada hubungan yang tumpang tindih atau ganda bukan berarti menghilangkan kebenaran awal. Kebenaran dalam islam adalah ketika menggunakan/ menentukan sesuatu dengan berfikir secara rasional atau berpikir Al-Qur’an. Berpikir yang benar adalah berpikir yang sesuai dengan dalil (bukti). Banyak nash Al-Qur’an yang menjelaskan tentang seharusnya kita melihat bukti - bukti sebagai objek berfikir dan diyakini oleh sebuah konsep ideal subjek yang harus di buktikan realitasnya. Biasanya di sebut Aqidah Rasional bagi manusia.
Allah berfirman yg artinya:
“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? ( TQS. Ath – Thariq [86] : 5)”
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan (AL Ghosyiyyah [88]: 17)
Masih banyak lagi dalil Al-Qur’an yang senada dengan ini, untuk menunjukkan bahwa manusia harus berfikir dengan menjadikan realitas (fakta) sebagai objek yang harus di sesuaikan dengan konsep ideal. Untuk memandang tentang pengetahuan awal di dunia ini Allah telah berfirman:
"Allah telah mengajarkan (memberi informasi) kepada Adam nama-nama benda seluruhnya, kemudian Allah mengemukakannya kepada malaikat lalu berfirman,”Sebutkan kepada-Ku nama-nama benda itu jika kamu orang yang benar! Mereka menjawab, “ Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang engkau ajarkan kepada kami”. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Allah berfirman, “Hai anak Adam, beritahukan kepada mereka nama benda – benda itu!” Maka setelah Adam menjelaskan kepada meraka nama-nama benda itu, Allah berfirman,”Bukankah sudah Aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit serta mengetahui apa saja yang kamu tampakkan dan apa saja yang kamu sembunyikan." (QS. Al–Baqarah [2]: 31 -33).
Daftar Pustaka

Awing, A.C. (1951), The Fundamental Questions of Philosophy, Routledge and Kegan Paul, London.
Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. (1994), Pustaka Filsafat: Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Jakarta.
Burhanuddin Salam (1995), Pengantar Filsafat, Bumi Aksara, cet. iii, Jakarta.
Butler, J. Donald (1951), Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, Horper and Brothers, New York.
Harun Hadiwijono (1980), Sari Sejarah Filsafat Barat II, Kanisius,Yogyakarta.
Iman, M. Shohibul (1996), Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, Seminar Islamisasi IPTEK. Bogor.
Inu kencana Syafi’I (1995), Filsafat kehidupan (Prakata), Bumi Aksara, Jakarta.
I.R. Poedjawijatna (1987), Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Bina Aksara, Jakarta.
Jujun S. Sumiasumantri (1985), Ilmu dalam Prespektif, Gramedia, cet. 6, Jakarta.
Kneller, George F. (1984), Movement of Thought in Modern Education, John Witey and Sound, New York
Koento Wibisono (1982), Arti Perkemabangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada University Press, cet. ke 2, Yogyakarta.
Kuhn, Thomas S.(1993), Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Rapar, Jan Hendrik (1996), Pengantar Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Suriasumantri, Jujun S. (1998), Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cetakan ke-11, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Tidak ada komentar: