Permasalahan Pokok.
Hubungan antara pekerja dengan pengusaha pada dasarnya bersifat “unik”. Disatu pihak, dirasakan hubungan hukum yang tidak seimbang karena secara sosial ekonomi pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan sosial ekonomi pekerja. Akibatnya terdapat hubungan yang rentan terhadap terjadinya perselisihan hubungan industrial. Di lain pihak hubungan saling membutuhkan antara pekerja dan pengusaha merupakan embrio bagi terciptanya hubungan kerjasama antara pekerja dengan pengusaha.
Melihat hubungan yang bersifat “unik” tersebut, maka diperlukan seperangkat peraturan perundang-undangan sebagai pedoman bersikap para pelaku proses produksi barang maupun jasa dalam pelaksanaan hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta dapat dijadikan sebagai pedoman apabila terjadi perselisihan hubungan industrial di perusahaan. Hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu diperlukan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang kondusif bagi terpeliharanya hubungan kemitraan antara pekerja dengan pengusaha. Hal ini juga merupakan perwujudan pengakuan dan kesediaan menghormati hak asasi masing-masing pelaku proses produksi.
Dalam hubungan ini, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Badan Penelitian dan Pengembangan HAM, Departemen Hukum dan HAM menilai perlu melakukan Kajian Penanganan Perselisihan Industrial melalui hubungan tripartit ditinjau dari aspek HAM.
Di era industrialisasi, perselisihan hubungan industrial terus meningkat dan semakin kompleks. Berdasarkan data Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Pusat tahun 1999 tercatat 2.451 kasus perselisihan yang masuk ke P4 Pusat. Jumlah tersebut meningkat menjadi 3.167 kasus di tahun 2003. Hal ini berarti bahwa dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terjadi peningkatan kasus sebesar 29.21 %. Dengan kata lain, jumlah kasus yang masuk ke Panitia Pusat meningkat rata-rata 5.84 % per tahun.
Dari hasil pengamatan, perselisihan hubungan industrial dapat terjadi dengan didahului ataupun tidak didahului oleh suatu pelanggaran hukum. Perselisihan hubungan industrial yang didahului suatu pelanggaran hukum terjadi dalam beberapa bentuk :
a. Pengusaha tidak memenuhi hak normatif pekerja sebagaimana telah diperjanjikan atau telah diatur dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan misalnya pengusaha membayar upah pekerja di bawah upah minimum.
b. Perlakuan pengusaha yang bersifat diskriminatif. Misalnya perbedaan pembayaran upah berdasarkan perbedaan gender atau warna kulit.
c. Pekerja melakukan tindakan tidak disiplin atau kesalahan atau pelanggaran, misalnya : malas, mengganggu pekerja lain, merusak alat, mencuri.
Selanjutnya perselisihan hubungan industrial yang tanpa didahului suatu pelanggaran dapat terjadi karena faktor :
a. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan ketentuan Perjanjian Kerja Bersama atau peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Misalnya dalam pemberian bonus, cuti panjang, pembayaran uang lembur, dan lain-lain.
b. Tidak tercapai kesepahaman tentang syarat-syarat kerja, misalnya karena pengusaha tidak mampu atau tidak bersedia memenuhi tuntutan pekerja atau serikat pekerja dalam hal kenaikan upah, uang transpor, hak cuti, dan lain-lain.
c. Perselisihan hubungan industrial dilihat dari UU No. 22 Tahun 1957 adalah pertentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan. Serta sesuai UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Pengertian perselisihan hubungan industrial dari kedua pengertian diatas tersebut menggunakan istilah “pertentangan” yang apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengarah terjadinya mogok kerja atau penutupan perusahaan yang tidak saja merugikan kedua belah pihak.
Lebih jauh perselisihan dapat terjadi apabila kedua belah pihak melupakan prinsip HAM sebagaimana diatur pada pasal 69 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur bahwa : “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”. Oleh karena “setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik”.
Perselisihan hubungan industrial apabila tidak mengindahkan hak dan kewajiban akan HAM, perselisihan tersebut dapat mengarah terjadinya pelanggaran HAM baik sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha. Oleh karena itu untuk terpeliharanya hubungan kemitraan antara pekerja dengan pengusaha, penanganan perselisihan hubungan industrial perlu mempertimbangkan pelaksanaan HAM.
Tujuan Pengkajian.
Tujuan Pengkajian adalah untuk menginventarisasi faktor-faktor yang mempengaruhi berjalan lancar dengan produktivitas tinggi, kesejahteraan pekerja dan keluarganya dapat ditingkatkan. Tujuan yang lain adalah untuk mengetahui penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial sehingga perselisihan dapat dihindari atau perselisihan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, damai, cepat dan memuaskan semua pihak.
Kesimpulan.
Secara umum kondisi ketenagakerjaan di Propinsi Riau, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat dan DKI Jakarta belum sepenuhnya pulih dari keterpurukan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, banyak perusahaan yang tidak beroperasi karena kesulitan bahan baku, penurunan produksi akibat kurangnya permintaan pasar, berkurangnya minat investor, rasionalisasi organisasi dan SDM dan hal-hal lain yang tentunya menimbulkan kerawanan terhadap terjadinya perselisihan hubungan industrial.Hubungan Industrial dari sudut pandang hak asasi manusia antara lain perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum hak asasi manusia yang didalamnya termasuk hak-hak pekerja dan pengusaha sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Pasal 28D (2) : “Setiap orang berhak bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Pasal 28D (3) : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 28I (2) : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa masih ada perusahaan yang belum membentuk lembaga bipartit. Demikian juga masih ada lembaga bipartit yang belum berfungsi secara efektif, baik karena jarang melakukan pertemuan, maupun karena anggotanya tidak menjalankan misinya secara profesional, antara lain sebagai akibat kurangnya kesadaran dari pengusaha terhadap pentingnya lembaga bipartit dan keterbatasan waktu dan tenaga dari personil yang ditunjuk sebagai anggota bipartit masih terbebani dengan tanggungjawab pekerjaan sehari-hari. Selain itu pada kenyataan juga menunjukkan bahwa ditengah-tengah bergulirnya era kebebasan berserikat sehubungan dengan Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dengan Keputusan Presiden No.83 tahun 1998 serta berlakunya Undang-undang No.21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh, masih ada perusahaan yang belum memiliki serikat pekerja dan masih ada pekerja yang belum bergabung dengan salah satu serikat pekerja, sebagai akibat kurangnya informasi yang diterima oleh para pekerja dan kondisi tawar-menawar para pekerja dibandingkan pengusaha lebih rendah dalam hal pemenuhan hak-hak dasar pekerja.
Dalam penyelesaian suatu perselisihan hubungan industrial adakalanya pengusaha mendapat tekanan dari kerabat, keluarga, warga kampung dan pengacara pekerja dalam bentuk ancaman, caci maki bahkan sampai pada pemukulan dan penghadangan di jalan umum. Demikian juga halnya dengan pegawai perantara dan panitera adakalanya mendapat ancaman, intimidasi dari pihak-pihak yang berselisih. Dari pihak pekerja dengan cara demonstrasi/pengerahan massa, dimana pekerja cenderung memaksakan kehendaknya agar pegawai perantara dan panitera selaku fasilitator/mediator dapat memenuhi tuntutan/kehendak mereka, dari Pengusaha dengan cara memaksakan kehendaknya agar pegawai perantara dan panitera dapat meloloskan keinginannya untuk tidak membayar kewajibannya kepada pekerjanya. Walaupun tuntutan/keinginan pekerja dan pengusaha tersebut tidak ada dasarnya bahkan bertentangan dengan ketentuan hukum. Dalam perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi pekerja, ditemukan fakta bahwa masih terdapat pekerja di perusahaan yang mengalami diskriminasi dalam berbagai bentuk bentuk antara lain :
a. Perlakuan tidak sama untuk menduduki jabatan tertentu dan mengikuti pendidikan karier tententu bagi karyawan/pekerja dari golongan tertentu.
b. Pekerja perempuan selalu dianggap pekerja lajang tidak berhak atas tunjangan keluarga.
c. Dalam satu perusahaan melarang pekerjanya berstatus suami-istri, dimana pada umumnya yang mengundurkan diri selalu pihak istri.
d. Masih ditemukan pembedaan masa pensiun, dimana pekerja pria lebih lama dibandingkan pekerja perempuan padahal rata-rata harapan hidup lebih lama perempuan daripada pria.
e. Masih ditemukan pembedaan berdasarkan RAS, yang paling menyolok upah tenaga kerja asing jauh lebih tinggi daripada upah tenaga kerja dalam negeri.
Hal ini bertentangan dengan Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 yang telah disahkan dengan Undang-Undang No. 80 Tahun 1957 dan Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 yang telah disahkan dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 1999.
Kalangan pengusaha, serikat pekerja terutama pekerja sangat awam terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Ketenagakerjaan dan Hak Asasi Manusia, bahkan sebagian besar responden dari kalangan tersebut belum mengetahui ketentuan dalam Undang-undang Nomor. 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, Undang-undang Nomor. 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Undang-undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kondisi seperti ini berdampak buruk pada proses penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial. Masih ditemukan adanya pekerja yang belum memahami isi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) karena pekerja tidak dilibatkan dalam penyusunan PKB, kondisi seperti ini membuka peluang bagi pengusaha melakukan tindakan sewenang-wenang, perlakuan diskriminasi, tindakan pembodohan/mengelabui pekerja dalam hal mengurangi atau tidak memberikan hak-hak pekerja. Ketidak tahuan pekerja terhadap PKB ini dibuat pengusaha sebagai tameng apabila terjadi masalah/perselisihan hubungan industrial. Hal ini tentunya bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan ketentuan dalam Undang-undang No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial relatif berlangsung lama, ditemukan adanya kasus perselisihan hubungan industrial yang sejak tahun 1998 sampai saat ini masih menunggu putusan dari Mahkamah Agung. Dan sebagian besar kasus perselisihan hubungan industrial yang naik banding, sampai saat ini masih menunggu putusan dari P4P, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung.
Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang akan berlaku pada bulan Januari 2005, kondisi dilapangan menunjukkan bahwa sarana prasarana, perangkat hukum dan sumber daya manusia di daerah belum siap sehingga banyak kalangan mengkawatirkan Undang-undang ini belum dapat diberlakukan sesuai waktu yang ditetapkan.
Adakalanya permasalahan yang timbul diperusahaan-perusahaan tidak berkembang menjadi perselisihan hubungan industrial karena pihak pengusaha dan pekerja menempuh penyelesaian secara musyawarah dan mufakat.
Saran.
Memperhatikan kondisi ketenagakerjaan akhir-akhir ini, hendaknya Pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis dalam membantu pengusaha keluar dari keterpurukan, dalam memperoleh bahan baku, dan dalam menciptakan lapangan kerja baru.
Depnakertrans dan dinas-dinas dijajarannya agar lebih meningkatkan sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya di bidang Ketenagakerjaan bagi kalangan pengusaha, serikat pekerja dan pekerja. Demikian juga Departemen Hukum dan HAM seharusnya lebih berperan aktif dalam mensosialisasikan peraturan perundang-undangan secara umum dan khususnya peraturan perundang-undangan tentang Hak Asasi Manusia kepada Pengusaha, Serikat Pekerja dan Pekerja.
Perlunya dibentuk Kelompok Kerja ( POKJA ) yang terdiri dari instansi pemerintah terkait untuk mempersiapkan sarana dan prasarana, perangkat hukum serta sumber daya manusia dalam rangka mempercepat persiapan pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004, karena berdasarkan Undang-undang No.2 tahun 2004 diharapkan waktu yang diperlukan dalam penyelesaian kasus perselisihan hubungan industrial akan lebih cepat, adil dan murah.
Sehubungan dengan sarana prasarana, perangkat hukum dan Sumber Daya Manusia di daerah dianggap belum siap menyosong berlakunya Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2004 maka dipandang perlu Pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-Undang ( PERPU ) tentang penundaan pelaksanaan Undang-undang Nomor. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sekurang-kurangnya selama 1 tahun terhitung sejak bulan Januari 2005.Dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial, adakalanya ditemui kesulitan dalam pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi para pihak terkait dengan perselisihan yang saling berbenturan. Untuk menjadi bahan perhatian Pemerintah melalui instansi terkait dibawahnya agar menyusun suatu pola terpadu dalam membentuk keserasian hubungan industrial yang mengakomodir pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bagi para pihak yang ada dalam hubungan industrial tersebut tanpa mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia satu sama lain, melalui perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar