Sabtu, 23 Agustus 2008

Strategi Peningkatan Daya Saing Kabupaten/Kota

Persoalan daya saing daerah atau daya saing kabupaten dan kota mulai muncul dan menjadi persoalan yang serius sejak Republik ini mengalami krisis ekonomi dan melaksanakan desentralisasi ekonomi. Otonomi daerah secara langsung atau tidak telah mendorong tumbuhnya pemikir–pemikir lokal yang concern terhadap daerahnya masing–masing. Dan sejak itu persoalan daya saing daerah mulai menjadi wacana.
Dalam banyak wacana dan diskusi, daya saing daerah sering diperspektif kan sebagai keunggulan daerah dalam merebut sumber kesempatan yang sangat terbatas. Bahwa daerah yang memiliki daya saing adalah daerah yang akan memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya ekonomi yang sudah mulai menipis. Persepsi seperti itu sudah barang tentu tidak sepenuhnya benar. Daya saing suatu daerah mempunyai keterkaitan yang sangat luas kepada aspek–aspek teknologi, sumber daya manusia, infrastruktur dan bahkan aspek kebudayaan yang menunjang terbentuknya masyarakat produktif di suatu daerah atau wilayah.

Indikator Daya Saing Daerah
Tolok ukur daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh banyak faktor. Porter (1990) menyatakan bahwa daya saing suatu masyarakat ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu :
a. Factor Condition, yaitu kapasitas SDA, SDM dan infrastruktur,
b. Strategy, Structure dan pola persaingan bisnis yang ada di masyarakat,
c. Demand Condition, yaitu keadaan perekonomian lokal secara umum,
d. Related and Supporting Industries, yaitu keterkaitan dan jaringan bisnis serta industri dengan industri dan daerah lain.
Sementara itu, Abdullah (2002) dalam bukunya “Daya Saing Daerah”, menyebutkan bahwa sekurang–kurangnya ada 9 (sembilan) indikator utama penunjang daya saing perekonomian suatu daerah. Kesembilan faktor tersebut antara lain adalah:
1. Perekonomian Daerah. Perekonomian daerah ini merupakan ukuran kinerja makro ekonomi yang merupaka ukuran kinerja umum suatu daerah. Tolok ukur yang terlibat di sini antara lain adalah, indeks biaya hidup, pertumbuhan ekonomi di masa lalu, tingkat konsumsi masyarakat dan lain –lain.
2. Keterbukaan. Indikator ini menggambarkan kemampuan daerah untuk berinteraksi dengan daerah lain di sekitarnya. Kemampuan untuk berinteraksi dengan daerah lain akan meningkatkan kemapanan peran daerah terhadap wilayah sekitarnya.
3. Sistim Keuangan. Sistem ini akan membantu memperkuat daerah dalam keberpihakannya melakukan realokasi resources.
4. Infrastruktur dan sumber daya alam. Kapasitas infrastruktur dan teknologi yang dimiliki oleh suatu daerah akan memperkuat percepatan pertumbuhan ekonomi daerah.
5. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Kemampuan masyarakat dalam menerapkan teknologi yang sesuai dengan pemikirannya.
6. Sumber Daya Manusia. Tingkat pendidikan, ketrampilan dan sikap budaya masyarakat.
7. Kelembagaan. Iklim sosial politik serta hukum yang ada di masyarakat.
8. Governance dan Kebijakan Pemerintah. Kualitas administrasi pemerintah dalam menunjang produktifitas masyarakat.
9. Manajemen dan Ekonomi Mikro. Kemampuan masyarakat mengelola usahanya dengan cara moderen dan efisien.

Dari kedua catatan indikator daya saing itu, kita dapat simpulkan bahwa daya saing suatu wilayah bukanlah persoalan statis akan tetapi lebih merupakan persoalan dinamis dan menyesuaikan dengan perubahan yang ada.
Meskipun hampir semua faktor yang mempengaruhi daya saaing itu berubah, akan tetapi ada faktor yang di luar kendali pemerintah dan ada faktor yang berada dalam kendali pemerintah. Faktor penting yang berada di dalam kendali pemerintah antara lain adalah faktor kelembagaan dan kebijakan pemerintah. Faktor lain yang biasa dikendalikan oleh pemerintah melalui regulasinya adalah sistem keuangan. Sedangkan sektor swasta memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan indikator keterbukaan.

Daya Saing Provinsi DI Yogyakarta.
Sejak diimplementasikannya UU no 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DI Yogyakarta) terbagi menjadi lima daerah otonom kabupaten/kota. Kelima kabupaten/kota tersebut memiliki karakteristik yang berbeda–beda satu sama lainnya. Daerah yang tumbuh cepat di Provinsi DI Yogyakarta adalah Kabupaten Sleman. Sedangkan Kabupaten Bantul merupakan daerah padat penduduk dengan tingkat intensitas pertanian tanaman pangan yang relatif tinggi. Daerah urban terdapat di kota Yogyakarta dengan karakteristik indutri kecil dan pedagang kaki limanya. Kedua daerah lainnya yaitu Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Kulon Progo adalah dua daerah yang relatif luas dan masih belum cukup menikmati hasil pembangunan yang ada selama ini.
Secara umum kabupaten dan kota di Provinsi DI Yogyakarta memiliki endowment yang cukup dalam persaingan antar daerah. Akan tetapi dalam beberapa hal kabupaten dan kota di Provinsi DI Yogyakrta tidak cukup memiliki mesin penggerak ekonomi yang memadai seperti misalnya jaringan enterpreneur yang solid dengan daerah lain, hubungan perdagangan tradisional yang terpelihara dengan negara lain atau bahkan sistem perbankan yang berwawasan nasional dan bahkan global. Faktor–faktor terakhir ini merupakan faktor strategis yang relatif jarang dimiliki oleh kabupaten/kota atau daerah otonom pasca UU no 22 tahun 1999.
Secara keseluruhan, (sekurang – kuramgnya menurut Abdullah) provinsi DI Yogyakarta merupakan daerah yang memiliki daya saing “tinggi” apabila dibandingkan dengan ketigapuluh provinsi di Indonesia lainnya. Dari kombinasi indikator yang dikemukakan tersebut, Provinsi DI Yogyakarta menduduki peringkat ke-6. Meskipun demikian dari kesembilan indikator pemeringkatan yang dianalisa tersebut, hanya indeks Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, indeks SDM dan indeks Managemen dan Ekonomi Mikro saja yang memiliki peringkat distinction, yaitu peringkat tiga dan dua. Dengan kata lain, Provinsi DI Yogyakarta memiliki keunggulan terkuat pada hal–hal yang terkait dengan endowment yang dimiliki dari hasil pembangunan ekonomi selama jangka waktu yang cukup panjang. Keunggulan ini cukup memperkuat daya saing Provinsi DI Yogyakarta, namun demikian dalam kaitannya dengan strategi pengembangan daya saing, keunggulan daya saing seperti yang dimiliki Provinsi DI Yogyakarta itu tidak bisa dibangun dalam jangka yang relatif pendek. Oleh karenanya diperlukan pemikiran untuk menyiasati peningkatan daya saing Provinsi DI Yogyakarta melalui pengembangan indikator yang relatif tidak unggul. Dari kesembilan indikator tersebut diatas sebenarnya ada dua indikator strategis yang perlu dikembangkan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Kedua indikator penting itu adalah indikator Keterbukaan dan indikator Sistem Keuangan. Pada kedua indikator tersebut, secara kebetulan Provinsi DI Yogyakarta tidak memiliki peringkat yang baik. Untuk indikator Keterbukaan, Provinsi DI Yogyakarta menduduki peringkat ke–15. Sedangkan indikator Sistem Keuangan Provinsi DI Yogyakarta menduduki peringkat ke-8. Apabila kedua indikator ini biasa didorong untuk meningkat lebih cepat, maka Provinsi DI Yogyakarta akan tumbuh lebih pesat dan mampu bersaing lebih baik dari wilayah lain.


Strategi Daya Saing Ekonomi
Daya saing ekonomi sekali lagi bukan sekadar daya saing yang bersifat statis. Daya saing ekonomi lebih banyak ditentukan oleh endowment dan kemampuan memanfaatkan endowment tersebut kedalam kancah pergaulan ekonomi dengan masyarakat lain didaerah lain, sehingga terbangun nilai tambah yang “berpihak” kepada kepentingan masyarakat kita.
Dari pembahasan dengan kasus Provinsi DI Yogyakarta itu, maka dapat dipahami bahwa meskipun Provinsi DI Yogyakarta memiliki keunggulan SDA dan Iptek yang sangat tinggi, akan tetapi apabila masyarakat dan pemerintah tidak mampu untuk mengelola keunggulan itu menuju kepada nilai tambah yang tinggi, maka daya saing itu tidak akan menjadi daya saing ekonomi yang memadai. Oleh karena itu, bagi masyarakat Provinsi DI Yogyakarta, strategi yang sangat diperlukan dalam jangka pendek adalah meningkatkan indeks Keterbukaan dan indeks Sistem Keuangan untuk menjadi lebih baik.
Indeks Keterbukaan yang lebih baik akan menghasilkan keterkaitan ekonomi dengan wilayah lain secara lebih erat dan berhasil guna lebih tinggi. Indeks Keterbukaan yang lebih tinggi mencerminkan kemampuan enterpreneur Provinsi DI Yogyakarta yang lebih tinggi untuk memperluas jaringan ekonomi dengan masyarakat sekitarnya, sehingga mampu menciptakan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Oleh karena itu, pembangunan terminal kargo atau pelabuhan atau bandara internasional merupakan salah satu kunci peningkatan indeks keterbukaan ini. Dengan dilakukannya penerbangan langsung ke luar negeri akan terbentuk jaringan perdagangan yang lebih luas dan saling memanfaatkan yang akan mendorong pertumbuhan perekonomian secara lebih pesat. Sementara itu indeks sistem keuangan yang lebih baik akan membantu terbangunnya investasi di daerah yang lebih menguntungkan bagi pertumbuhan ekionomi lokal. Salah satu strategi untuk meningkatkan indikator ini adalah dengan membangun sistem perbankan lokal yang berskala nasional atau global. Dengan perbankan lokal bertaraf nasional atau global ini akan tercipta suatu daerah yang menjadi pusat ekonomi berjaringan luas dan memiliki kedaulatan ekonomi. Dengan cara ini pola pembangunan ekonomi akan lebih terarah.

Kesimpulan
Strategi peningkatan daya saing ekonomi wilayah kabupaten/kota, pada dasarnya ditentukan oleh banyak hal. Beberapa hal yang sangat penting untuk dicermati antara lain , pertama adalah penguasaan dari endowment yang telah dimiliki selama ini. Faktor kedua yang menjadi sangat penting dan justru sering terlupakan adalah kerjasama dengan daerah disekitarnya, yang pada saat yang sama sedang dibanding–bandingkan indeks daya saingnya. Dengan kata lain, meskipun di antara daerah terjadi persaingan yang ketat untuk memperoleh “kue perekonomian“, pada saat yang sama kerjasama yang kuat justru harus terjadi untuk meningkatkan daya saing masing–masing persaingan. Kadang–kadang harus melalui logika yang paradoksikal.

Sektor Jasa Sebagai Penentu Daya Saing dengan SNSE

Sebagai sebuah kota terbesar di Indonesia, Jakarta menyimpan berbagai fenomena perkotaan yang sangat kompleks. Di bidang ekonomi, salah satu fenomena tersebut adalah besarnya peranan sektor jasa dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, pada tahun 2000 peranan sektor jasa mencapai 64,89 persen dari total PDRB Jakarta. Selebihnya, 34,80 persen merupakan sumbangan sektor industri dan 0,31 persen sektor pertanian.
Keadaan tersebut tidaklah mengherankan. Sebagai sebuah kota yang masuk kategori metropolitan, maka sudah semestinya dominasi sektor jasa cukup kuat. Kuatnya dominasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sektor jasa memegang peranan utama dalam menentukan daya saing Jakarta. Kota lain di Indonesia yang perekonomiannya banyak bersandar pada sektor jasa adalah Medan dan Surabaya. Peranan sektor jasa di Kota Medan mencapai 67,16 persen dan Kota Surabaya 53,24 persen pada tahun 2000.
Namun demikian dibandingkan Medan dan Surabaya, Jakarta merupakan sebuah kawasan perkotaan yang jauh lebih besar dipandang dari berbagai ukuran. Jumlah penduduk Jakarta mencapai 8.384.853 jiwa pada tahun 2000, sementara jumlah penduduk Medan dan Surabaya secara berturut-turut adalah 1.933.771 dan 2.599.796 jiwa. PDRB Jakarta atas dasar harga berlaku pada tahun 2000 mencapai Rp.194.278.587,1 juta; sedangkan Medan Rp. 13.958.606,5 juta dan Surabaya Rp. 41.070.326,1 juta. Dalam kapasitasnya menghasilkan jasa, PDRB sektor jasa per kapita selama tahun 2000 sebesar Rp. 15.035.974,00 di Jakarta dan Rp. 4.848.408,00 di Medan serta Rp. 8.410.189,00 di Surabaya.
Sebagai konsekuensi dari kota jasa, maka kandungan ‘jasa’ dari setiap komoditas yang dikonsumsi masyarakat juga cukup tinggi. Hasil penelitian Cendron,dkk (1982) di daerah perkotaan di Perancis menunjukkan bahwa di dalam harga setiap buah brugnons yang dibayar masyarakat terdapat kandungan jasa sebesar 77,5 persen. Maksudnya biaya penanaman dan pemetikan buah brugnons tersebut hanyalah 22,5 persen dari harga yang dibayar konsumen. Selebihnya, 77,5 persen, adalah biaya conditioning, margin perantara, margin wholesale dan margin eceran. Hasil penelitian Cendron, dkk, untuk kemeja menunjukkan bahwa di dalam harga kemeja yang dibayar masyarakat, 57,6 persen adalah biaya jasa. Beberapa tahun sebelumnya Lalond, dkk (1970) melakukan penelitian di USA untuk barang-barang manufaktur. Hasilnya menunjukkan bahwa 52 persen dari harga yang dibayar masyarakat (konsumen) merupakan biaya jasa.
Contoh-contoh di atas memberikan gambaran bahwa sebagian besar penduduk kota bekerja di sektor jasa, apakah itu perdagangan, pengangkutan, pergudangan, keuangan, dan jasa-jasa lainnya. Untuk Jakarta, jumlah tenaga kerjanya adalah 3.426.731 orang, sebanyak 2.188.050 orang diantaranya atau 63,85 persen bekerja di sektor jasa.
Fenomena ekonomi lain mengenai Jakarta adalah terdapatnya kesenjangan pendapatan antara kelompok berpendapatan rendah dan tinggi. Dari data BPS DKI Jakarta terungkap bahwa pada tahun 2000, kelompok 40 persen rumah tangga termiskin di Jakarta memperoleh bagian 10,39 persen dari total pendapatan disposabel (disposable income), sedangkan kelompok 20 persen rumah tangga terkaya menikmati 62,56 persen. Jika yang diperbandingkan adalah kelompok 10 persen terbawah dan teratas, maka kelompok 10 persen rumah tangga termiskin menerima 1,67 persen dan kelompok 10 persen rumah tangga terkaya menikmati 49,14 persen bagian dari total pendapatan disposabel Jakarta. Artinya, dalam ukuran total pendapatan rumah tangga terkaya sama dengan 29,38 kali pendapatan rumah tangga termiskin.
Dalam ukuran rata-rata, pendapatan per kapita kelompok 10 persen rumah tangga termiskin adalah Rp.1.691.380,00 dan kelompok 10 persen rumah tangga terkaya adalah Rp.83.532.200,00 per tahun. Dengan demikian pendapatan per kapita 10 persen rumah tangga terkaya sekitar 49,39 kali pendapatan per kapita 10 persen rumah tangga termiskin.

Permasalahan
Dari latar belakang di atas dapat disarikan bahwa disamping memiliki ciri sebagai kota jasa, Jakarta juga menanggung beban ketimpangan pendapatan. Inilah pokok permasalahan penelitian yang akan dikaji. Selanjutnya dari pokok permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Adakah hubungan antara besarnya peranan sektor jasa dengan timpangnya distribusi pendapatan di Jakarta?
2) Seberapa besar kontribusi sektor jasa terhadap pendapatan keluarga miskin dan kaya di Jakarta?
3) Kebijakan apa yang bisa diterapkan terhadap sektor jasa untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di Jakarta?

Tujuan, Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menjawab permasalahan-permasalahan di atas. Langkah-langkah yang dilakukan untuk itu adalah merumuskan batasan sektor jasa itu sendiri, melihat peranannya selama ini di Jakarta dan melakukan analisis terhadap perkembangan sektor jasa dikaitkan dengan kualitas distribusi pendapatan.
Kerangka analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang lebih dikenal dengan nama Social Accounting Matrix (SAM). Pemilihan SNSE sebagai kerangka analisis karena kemampuannya menangkap kaitan-kaitan kegiatan ekonomi secara menyeluruh sampai pada kelompok-kelompok rumah tangga yang terlibat. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan analisis distribusi pendapatan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perumusan kebijakan ekonomi di Jakarta dengan memberikan ruangan bagi berkembangnya sektor jasa yang secara alamiah memang akan berkembang pesat, dengan tidak meninggalkan aspek distribusi pendapatan yang lebih merata. Dengan demikian maka, lebih dari sekedar menjadi kota jasa, Jakarta dapat diharapkan menjadi kota jasa yang berkualitas.


Sektor Jasa dalam Struktur Ekonomi Jakarta

Komponen Sektor Jasa
Dalam sebuah daftar PDRB yang terbagi atas banyak sektor, sektor-sektor mana saja yang tergolong sektor jasa? Sebelum menentukan sektor-sektornya, penelitian ini berusaha memberi batasan terlebih dahulu mengenai sektor jasa. Sektor jasa dapat diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan ‘pelayanan’ bagi konsumennya. Bedakan misalnya dengan sektor industri yang menghasilkan ‘barang’ olahan—yang diubah dari berbagai bahan baku atau bahan dasar. Memang, dalam menghasilkan pelayanan, sektor jasa tidak jarang harus menghasilkan juga ‘barang’ olahan. Namun demikian barang yang dihasilkan tersebut hanyalah sebagai pelengkap, sedangkan tujuan utamanya adalah memberikan pelayanan.
Sejalan dengan itu Pangestu Subagyo (2000) menyebutkan bahwa jasa wujudnya tidak mudah diketahui tetapi dapat dirasakan, biasanya dilengkapi dengan barang sebagai penyampai atau penghantar jasa. Riddle (1986) lebih menekankan pada waktu dan tempat yang dipersembahkan (dikorbankan) oleh penjual untuk memberikan kepuasan bagi pembeli, sebagai ciri dari sektor jasa. Sedangkan Chase dan Aquilano (1989) menguraikan sektor-sektor yang termasuk dalam kegiatan jasa adalah: jasa keuangan, jasa pemerintahan, jasa komunikasi, jasa transportasi, jasa pendidikan, restoran, perdagangan besar dan eceran, hotel dan penginapan, serta jasa hiburan.
Berdasarkan batasan dan referensi di atas, dengan memperhatikan kebiasaan pendataan statistik di Indonesia, maka sektor-sektor yang masuk dalam kategori sektor jasa yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 9.1. Kolom paling kanan menunjukkan nomor sektor tersebut dalam pengklasifikasian yang dilakukan dalam SNSE DKI Jakarta tahun 2000 ukuran 103x103.

Sektor Jasa dalam PDRB JakartaDengan dasar pembagian seperti terdapat dalam tabel 9.1. maka peranan sektor jasa dalam struktur ekonomi—dalam hal ini diwakili oleh PDRB—Jakarta dapat dijelaskan. Tabel 9.2 memberikan gambaran struktur PDRB tersebut, untuk tahun 1995 dan tahun 2000. Dapat dilihat dalam tabel tersebut bahwa secara keseluruhan struktur ekonomi Jakarta tidak mengalami perubahan, meskipun terjadi krisis besar yang melanda perekonomian Indonesia. Struktur ekonomi Jakarta tahun 2000 tidak jauh berbeda dari tahun 1995, meskipun pada tahun1997-1998 dilanda krisis ekonomi.
Sektor jasa meliputi sektor-sektor: perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa lain. Apabila peranan keempat sektor tersebut dijumlahkan, maka dapat dihitung bahwa peranan sektor jasa pada tahun 1995 adalah 63,99 persen dan pada tahun 2000 menjadi 64,89 persen dari total PDRB. Tidak mengalami perubahan yang berarti. Demikian pula peranan komponen-komponen sektor jasa juga tidak mengalami banyak perubahan. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memberikan kontribusi terbesar, disusul kemudian oleh (dengan perbedaan yang sangat kecil) sektor perdagangan, hotel dan restoran, berikutnya sektor jasa-jasa lain dan terakhir sektor pengangkutan dan komunikasi.
Metodologi: Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Metodologi sekaligus data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM). Dengan metodologi ini diharapkan dapat diketahui pengaruh sektor jasa dalam menentukan distribusi pendapatan Jakarta. Lebih jauh lagi dapat dilacak secara struktural jalur pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan tersebut.

Model Dasar SNSE
SNSE menggambarkan transaksi antar blok perekonomian dalam masyarakat. Blok perekonomian yang dimaksudkan adalah faktor produksi, institusi dan sektor (aktivitas) produksi. Ketiga blok tersebut kemudian dikenal sebagai neraca endogen, yang menggambarkan blok-blok perekonomian yang saling berinteraksi di dalam suatu wilayah. Sedangkan seluruh kegiatan ekonomi di luar wilayah disatukan dalam neraca eksogen.
Konsep dasar SNSE pertama-tama bisa dilihat dari sistem transaksi dalam neraca endogennya. Suatu kegiatan produksi (misal restoran) dalam blok sektor produksi memerlukan input antara (misal peternakan) dari blok sektor produksi sendiri dan input primer (tenaga kerja dan kapital) dari blok faktor produksi. Oleh karena itu dalam kegiatannya sektor produksi akan melakukan pengeluaran (pembayaran) kepada sektor produksi sendiri dan kepada faktor produksi. Pembayaran untuk faktor produksi akan diteruskan kepada pemilik faktor produksi, yaitu blok institusi (misal rumah tangga kaya). Selanjutnya institusi, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosial sehari-harinya, akan melakukan pembelian (berbelanja) kepada sektor produksi dan transfer pendapatan kepada institusi lain (misal transfer rumah tangga kaya kepada rumah tangga miskin). Demikian seterusnya. Hubungan ini bisa dilihat dalam gambar 9.1, untuk perekonomian yang terdiri dari 2 buah sektor produksi (SP1 dan SP2), 2 buah faktor produksi (FP1 dan FP2) dan 2 buah institusi (I1 dan I2). Tanda panah dalam gambar tersebut menunjukkan aliran uang.

Dengan adanya neraca eksogen, maka setiap blok dalam neraca endogen bisa melakukan transaksi dengan neraca eksogen. Dalam hal ini terdapat dua jenis transaksi, yakni transaksi yang menyebabkan neraca endogen melakukan (mengeluarkan) pembayaran dan transaksi yang menyebabkan neraca endogen menerima pembayaran. Contoh paling mudah untuk kedua jenis transaksi tersebut adalah ekspor dan impor. Ekspor, berarti neraca endogen menerima pembayaran; sedangkan impor, berarti neraca endogen melakukan pembayaran. Penerimaan dari eksogen biasa disebut suntikan atau injections dan pengeluaran untuk eksogen biasa disebut kebocoran atau leakages bagi sebuah perekonomian.
Konsep dasar lain dari SNSE adalah bahwa jumlah pengeluaran setiap blok/neraca/sektor ekonomi sama dengan jumlah penerimaannya. Secara matematis, jika jumlah penerimaan sektor i adalahYi dan jumlah pengeluaran sektor j adalah Yj, maka jika i=j maka Yi = Yj. Dengan kata lain jika Y adalah matriks kolom yang beranggotakan Yi dan Z adalah matriks baris yang beranggotakan Yj , maka Z = Y’ (transpose dari Y).
Dengan memegang konsep-konsep dasar di atas maka SNSE dapat dimodelkan secara sederhana dalam sebuah tabel seperti terlihat dalam tabel 9.3. Nama dan urutan setiap kolom dari tabel tersebut sama persis dengan nama dan urutan barisnya. Arah ke bawah dari setiap sektor dalam tabel tersebut menunjukkan distribusi pengeluaran, sedangkan arah ke kanan menunjukkan komponen penerimaan dari sektor tersebut. Jumlah ke bawah setiap sektor sama dengan jumlah ke kanan, dengan kata lain penjumlahan kolom setiap sektor sama dengan pejumlahan barisnya, atau jumlah pengeluaran sama dengan penerimaan.
Angka Pengganda
Dari tabel 9.3 bisa didapatkan persamaan penerimaan setiap sektor ekonomi, yakni berupa penerimaan endogen ditambah penerimaan eksogen. Demikian pula, pengeluaran setiap sektor ekonomi sama dengan pengeluaran endogen ditambah pengeluaran eksogen. Dari tabel tersebut disa diturunkan persamaan-persamaan matematis yang menggambarkan hubungan perekonomian dalam kerangka SNSE, kemudian bisa dijabarkan angka pengganda yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui hubungan antara satu neraca dengan lainnya yang selanjutnya bisa pula dijadikan alat untuk melakukan simulasi kebijakan.
Semua transaksi antar neraca endogen dalam tabel 9.3 dapat dituliskan ke dalam sebuah matriks t sebagai berikut:

(1)

Penjumlahan baris dari matriks t menunjukkan jumlah penerimaan setiap sektor. Pola penjumlahannya dapat dituliskan sebagai:
untuk i = 1 - 3 (2)
maka dapat disusun matriks T yang tidak lain adalah matriks penerimaan endogen.
(3)
Sedangkan jumlah penerimaan dari neraca eksogen adalah matriks X,

(4)

dan total penerimaan adalah matriks Y:

(5)

Sehingga dapat dirumuskan persamaan penerimaan sebagai berikut:

Y = T + X (6)

Selanjutnya jika setiap sel dari matriks transaksi t dibagi jumlah kolomnya dan hasilnya adalah matriks A yang beranggotakan aij , maka:

(7)

maka perkalian antara A dengan Y akan menghasilkan matriks berdimensi 3 x 1, yang tidak lain adalah matriks T.

T = AY (8)

Apabila persamaan (8) disubstitusikan ke persamaan (6), maka:

Y = AY + X (9)

(I-A)Y = X

Y = (I-A)-1X (10)

Kalau (I-A)-1 ditulis sebagai Ma, maka:

Y = Ma X (11)

Matriks A disebut pengganda langsung, karena di dalamnya berisi koefisien-koefisien aij yang menunjukkan pengaruh langsung dari perubahan sektor j terhadap sektor i. Sedangkan Ma disebut pengganda global atau pengganda neraca (accounting multiplier) yang di dalamnya berisi koefisien-koefisien pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan suatu sektor terhadap sektor yang lain. Dengan demikian kita bisa dapatkan pengganda tidak langsung dengan cara mengurangi Ma dengan A.

Pengaruh Sektor Jasa terhadap Distribusi PendapatanDengan merujuk pada kerangka dasar SNSE di atas maka pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan dapat dimodelkan. Sektor jasa tidak lain adalah bagian dari sektor produksi. Sedangkan distribusi pendapatan dapat dilihat pada blok institusi.
Terlihat bahwa sektor jasa tidak berpengaruh langsung terhadap distribusi pendapatan, melainkan harus melalui faktor produksi. Oleh karena itu untuk mengetahui besarnya pengaruh tersebut nantinya akan digunakan pengganda global (Ma). Sedangkan pengganda langsung akan digunakan untuk mengetahui jalur pengaruh yang dilalui oleh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan. Analisis seperti ini biasa disebut analisis jalur struktural atau structural path analysis.


Analisis: Sektor Jasa dan Distribusi Pendapatan

Data dan Penyesuaian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SNSE DKI Jakarta tahun 2000 yang diterbitkan oleh BPS DKI Jakarta pada bulan Desember 2002. Data ini merupakan data SNSE Jakarta terbaru pada saat penelitian ini dilakukan. Dari beberapa versi pengelompokan yang ada dalam SNSE DKI Jakarta 2000, yang digunakan dalam penelitian ini adalah SNSE dengan ukuran 103 baris kali 103 kolom, yang merupakan versi SNSE yang paling rinci.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah terdapatnya perbedaan antara format SNSE DKI Jakarta dengan format model dasar SNSE sebagaimana terdapat dalam tabel 9.2. Perbedaan tersebut berada dalam neraca endogen. Dalam SNSE DKI Jakarta, neraca endogen dibagi atas 6 blok: faktor produksi, institusi, sektor produksi, komoditas domestik, margin perdagangan dan pengangkutan, serta komoditas impor.
Agar dapat dilakukan analisis seperti yang dimodelkan di atas, maka sebelum diolah lebih lanjut neraca endogen dalam SNSE DKI Jakarta diagregasikan menjadi 3 blok. Seperti terlihat dalam tabel 9.4, dalam penelitian ini blok-blok sektor produksi, komoditas domestik serta margin perdagangan dan pengangkutan dijadikan satu dalam blok sektor produksi. Sedangkan komoditas impor dimaksukkan ke dalam neraca eksogen.

Analisis Pengganda
Hasil pengolahan data SNSE untuk memperoleh angka pengganda global atau pengganda neraca, yang menunjukkan pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan Jakarta, dapat dilihat dalam tabel 9.5. Dalam hal ini sektor jasa dibagi berdasarkan pembagian yang terdapat dalam tabel 9.2. Sedangkan rumah tangga dibagi menjadi 10 tingkatan: 10 persen rumah tangga paling miskin disebut golongan I (Gol. I), 10 persen di atasnya disebut golongan II (Gol. II), dan seterusnya sampai 10 persen terkaya disebut golongan X (Gol. X). Pada tahun 2000 di Jakarta terdapat 1.992.696 rumah tangga. Jumlah rumah tangga dalam setiap kelompok (golongan), oleh karena itu, adalah 199.270 rumah tangga; kecuali rumah tangga golongan III, VI, IX dan X, masing-masing 199.269 rumah tangga.
Dalam tabel 9.5 bisa dibaca pengaruh setiap jenis jasa terhadap setiap golongan rumah tangga. Untuk sektor restoran (sektor no. 38) misalnya, setiap terjadi kenaikan permintaan akhir (omzet penjualan) sebesar Rp. 10.000 akan berdampak global kepada seluruh sektor perekonomian, sebagian diantaranya berdampak pada kenaikan pendapatan rumah tangga dengan distribusi kenaikan sebagai berikut: rumah tangga golongan I naik Rp.83, golongan II Rp.136, golongan III 162, golongan IV Rp.234, golongan V Rp.269, golongan VI Rp.350, golongan VII Rp.433, golongan VIII Rp.549, golongan IX Rp.702 dan golongan X Rp.2.433. Terlihat di sini bahwa rumah tangga paling kaya menerima paling banyak, disusul kemudian rumah tangga terkaya kedua, dan seterusnya, sampai rumah tangga paling miskin menerima paling sedikit.
Bagaimana dengan pengaruh sektor jasa selain restoran? Apabila dicermati keseluruhan tabel 9.5, maka terdapat pola yang sama, rumah tangga terkaya menerima bagian penggandaan pendapatan terbesar disusul rumah tangga terkaya kedua, dan seterusnya sampai rumah tangga termiskin menerima bagian terkecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya perbaikan ekonomi Jakarta melalui peningkatan sektor jasa akan lebih banyak memberikan pengaruh pada peningkatan pendapatan rumah tangga kaya dibandingkan rumah tangga miskin.
Hal ini akan melahirkan pilihan-pilihan kebijakan yang saling bertentangan. Di satu pihak, perekonomian Jakarta didominasi oleh kegiatan jasa, dan oleh karenanya kebijakan meningkatkan permintaan akhir terhadap jasa akan memberi pengaruh paling besar terhadap perkonomian Jakarta. Tanpa adanya kebijakan pun sebenarnya secara alamiah kegiatan ekonomi masyarakat akan semakin terkonsentrasi pada sektor jasa. Di lain pihak, peningkatan permintaan akhir sektor jasa akan memberikan manfaat pendapatan lebih besar pada rumah tangga kaya dibandingkan rumah tangga miskin. Dengan demikian kebijakan di sektor jasa justru akan menambah dalam jurang pendapatan antara si kaya dengan si miskin. Benarkah demikian? Subbab berikut akan memberikan analisis untuk memecahkan masalah ini.

Nisbah Kesenjangan Kaya-Miskin
Sebelum masuk ke dalam uraian berikut, perlu diingat kembali bahwa secara keseluruhan rasio atau nisbah pendapatan antara kelompok paling kaya dengan kelompok paling miskin adalah 29,38. Hal ini sudah dijelaskan dalam pendahuluan penelitian ini. Angka 29,38 tersebut akan dijadikan ukuran apakah suatu kebijakan di sektor jasa tertentu menambah atau mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Jika kebijakan sektor jasa menghasilkan nisbah pendapatan antara kelompok paling kaya dengan paling miskin (selanjutnya disebut “nisbah kesenjangan kaya-miskin”) lebih dari 29,38 maka kebijakan tersebut semakin memperparah ketimpangan, sebaliknya jika menghasilkan nisbah kesenjangan kaya-miskin kurang dari 29,38 maka kebijakan tersebut memperbaiki distribusi pendapatan. Hasil perhitungan nisbah kesenjangan kaya-miskin terdapat dalam tabel 9.6. yang dihasilkan dari tabel 9.5, dengan cara membagi baris rumah tangga golongan X dengan golongan I. Interpretasinya adalah, jika terjadi kenaikan permintaan akhir terhadap salah satu sektor jasa, berapa besar manfaat yang diterima rumah tangga paling kaya dibandingkan yang diterima rumah tangga paling miskin. Itulah yang dimaksudkan dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin. Nisbah yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin besar pula.
Dengan menggunakan angka 29,38 sebagai batasan, maka sebagian besar sektor jasa akan masuk kategori yang semakin memperparah ketimpangan. Dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin sebesar 42,44, sektor jasa sosial kemasyarakatan dan hiburan merupakan kegiatan jasa yang paling mendorong ketimpangan. Sektor ini meliputi kegiatan jasa pendidikan swasta, kesehatan swasta, organisasi sosial swasta, produksi dan distribusi film dan video, bioskop, photo studio, radio dan televisi swasta, drama, museum, musik dan kegiatan hiburan lainnya, jasa panti pijat, jasa kebudayaan dan rekreasi.
Sedangkan sektor jasa yang paling mampu mengurangi ketimpangan jika dibenahi (dikembangkan), adalah sektor angkutan jalan raya. Dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin sebesar 18,73 sektor ini berada di bawah batas yang ditentukan di atas, dan ini memenuhi syarat sebagai sektor yang mengurangi ketimpangan. Sektor ini meliputi kegiatan-kegiatan yang melibatkan semua angkutan bermotor dan tidak bermotor yang menggunakan prasarana jalan raya untuk kegiatan pengangkutan penumpang dan barang. Di sektor ini banyak (relatif dibandingkan sektor jasa lainnya) rumah tangga miskin yang terlibat.
Sektor jasa lain yang masih termasuk kategori mampu mengurangi ketimpangan, meskipun nisbah kesenjangan kaya-miskinnya mendekati ambang batas adalah sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor angkutan rel, laut, udara dan ASDP.

Penelusuran Jalur Struktural
Penelusuaran jalur struktural atau analisis jalur struktural atau structural path analysis disini digunakan untuk mengetahui bagaimana pengembangan sektor angkutan jalan raya dapat mempengaruhi rumah tangga miskin, dalam hal ini rumah tangga golongan I. Penelusuran bisa dilakukan dengan bantuan komputer, menggunakan program MATS. Namun demikian penelusuran juga bisa dilakukan maupun dijelaskan secara manual.
Penelusuran dan penjelasan secara manual dapat dilakukan melalui bantuan matriks A yang penurunannya dirumuskan dalam persamaan (7). Melalui matriks pengganda langsung (A) dapat ditelusuri pengaruh langsung terbesar sektor angkutan jalan raya (no. 39) kepada sektor-sektor lain. Dalam hal ini ditemukan tiga sektor dalam blok faktor produksi yang memperoleh pengaruh langsung terbesar, yaitu kapital (sektor no. 9), tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji (no. 4), serta tenaga kasar penerima upah dan gaji (no. 3). Dari 3 sektor tersebut kemudian ditelusuri pengaruh langsungnya terhadap rumah tangga golongan I. Hasilnya, hanya dua sektor memberikan pengaruh cukup besar, yakni: tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji (no. 4), serta tenaga kasar penerima upah dan gaji (no. 3). Hasil penelusuran ini, beserta besarnya angka pengganda langsung dirangkum dalam gambar 9. 3.
Dengan demikian terdapat dua jalur utama mengalirnya pendapatan dari sektor angkutan jalan raya kepada kelompok penduduk miskin, melalui tenaga kasar penerima upah dan gaji dan tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji. Artinya, selama ini kaum miskin Jakarta lebih banyak menerima pendapatan karena sumbangan tenaga kasar mereka kepada kegiatan angkutan jalan raya dibandingkan kegiatan-kegiatan jasa lainnya. Peranan jalur utama aliran pendapatan dari kegiatan ekonomi angkutan jalan raya kepada rumah tangga miskin dapat dihitung. Dari tabel 9.5 dapat diketahui bahwa pengaruh global dari sektor no. 39 (angkutan jalan raya) kepada kelompok rumah tangga paling miskin adalah 0,0134. Selanjutnya dari gambar 9. 3 dapat dihitung bahwa pengaruh penggandaan sektor angkutan jalan raya kepada rumah tangga golongan I melalui tenaga kasar penerima upah dan gaji adalah 0,0755 x 0,0282 sama dengan 0,00213, yang jika dibandingkan dengan 0,0134 hasilnya adalah 15,89 persen.

Dengan cara yang sama pengaruh penggandaan sektor angkutan jalan raya kepada rumah tangga golongan I melalui tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji adalah 34,98 persen. Total pengaruh melalui jalur utama ini, oleh karena itu, adalah 50,87 persen. Sisanya terjadi melalui jalur-jalur yang lain yang nilainya masing-masing sangat kecil.

Kesimpulan dan Saran
Dari serangkaian analisis di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sekaligus saran berkenaan dengan upaya mengurangi ketimpangan pendapatan di Jakarta dalam sebuah kenyataan bahwa perekonomian Jakarta didominasi oleh sektor jasa, sebagai berikut:
a. Sebagai kegiatan ekonomi yang dominan, sektor jasa ikut memberikan andil dalam penciptaan ketimpangan pendapatan di Jakarta. Oleh karena itu penerapan kebijakan ekonomi di sektor jasa harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena sebenarnya perkembangan sektor jasa memiliki potensi memperparah ketimpangan pendapatan yang sudah terjadi.
b. Dari sekian banyak kegiatan yang terdapat dalam sektor jasa, kegiatan angkutan jalan raya merupakan kegiatan yang paling kecil pengaruhnya terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan di Jakarta. Kegiatan ini menyerap lebih banyak faktor produksi yang dimiliki masyarakat golongan bawah dibandingkan kegiatan jasa lainnya. Faktor produksi yang dimaksudkan adalah ‘tenaga kasar’ yang mereka miliki dan sumbangkan untuk perekonomian dengan menjadi operator alat angkutan, baik milik sendiri (tidak mendapat upah/gaji) maupun bukan milik sendiri (mendapat upah/gaji).
c. Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud merumuskan kebijakan sektor jasa, dapat disarankan bahwa kebijakan di bidang angkutan jalan raya dapat diprioritaskan. Kebijakan tersebut dapat berupa peningkatan kapasitas teknologi dan pembenahan sistem angkutan jalan raya, sehingga tingkat kenyamanan, keamanan dan kelancaran dapat meningkat dengan pesat. Selain memberi manfaat pada masyarakat umum, kebijakan ini dapat meningkatkan omzet pelayanan angkutan jalan raya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat lapisan bawah yang banyak terlibat dalam kegiatan angkutan jalan raya di Jakarta.

Strategi Peningkatan Daya Saing Wilayah

Hakekat otonomi daerah berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah tidak hanya berarti penyerahan hak dan kewajiban yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengelola rumah tangganya sendiri, melainkan juga mempunyai konsekuensi bahwa daerah dituntut untuk mampu secara mandiri mengelola pembangunan daerah secara efisien dan efektif dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat, dengan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi wilayah/daerah, sumberdaya dan partisipasi masyarakat sehingga menjadi pendorong utama dalam melaksanakan pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan tujuan pemberian otonomi daerah yaitu terbentuknya masyarakat yang demokratis, berkeadilan, maju dan sejahtera serta memiliki daya saing yang didukung dengan sumberdayamanusia yang berkualitas.
Pelaksanaan otonomi daerah yang sudah berjalan 2 (dua) tahun dan memasuki tahun ke-3 ini, masih dijumpai tantangan dalam pembangunan daerah yaitu terdapatnya kesenjangan antar wilayah serta upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Disisi lain, daerah juga di tuntut untuk mampu menghadapi perkembangan dunia global yang disatu sisi tidak menampakkan sesuatu yang pasti dan sukar diramal, dan disisi yang lain globalisasi berarti dunia tanpa batas yuridikasi wilayah yang ditandai dengan tingkat persaingan perdagangan dunia yang semakin tajam, dimana produk-produk disuatu negara/daerah bisa masuk dalam area perdagangan yang bebas tanpa batas.
Untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri menghadapi perkembangan global tersebut, satu hal yang dapat dipastikan bahwa perubahan adalah hal yang mutlak harus dilakukan dan menuntut kita semua untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang menjadi penopang bagi kemajuan kehidupan masyarakat dalam membangun bangsa dan negara. Dengan penguasaan ilmu dan teknologi, kita bisa meningkatkan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan serta dapat secara kreatif dan inovatif dengan merancang bangun teknologi tepat guna untuk peningkatan kapasitas dan kualiatas produksi, meningkatkan nilai tambah dari kegiatan ekonomi daerah sehingga mampu menambah daya saing produk unggulan daerah.




Kota Magelang dalam Konteks Daya Saing Wilayah

Potensi Regional
Sebagai pusat pembangunan VII Jawa Tengah yang meliputi wilayah kabupaten Magelang, Purworejo, Wonosobo dan Temanggung, maka sejalan dengan “Visi kota Magelang sebagai kota jasa yang didukung oleh masyarakat yang bertaqwa, berbudaya, sejahtera, demokratis dan beretos kerja tinggi”, pengembangan kota Magelang diarahkan dengan memperhatikan potensi-potensi yang memberikan peluang daerah untuk percepatan pembangunan daerah dan pengembangan investasi. Penggalian dan pengembangan potensi daerah ini meliputi :
1. Kota Magelang diarahkan sebagai pusat pemasaran hasil pertanian dan wilayah hinterland-nya menuju kota Yogyakarta, Semarang dan kota-kota lain di Jawa Tengah.
2. Kota Magelang diarahkan dan dikembangkan sebagai pusat perdagangan yaitu tempat pemasaran barang-barang elektronik, otomotif, sandang dan lain-lain bagi kebutuhan konsumen di wilayah kota Magelang dan hinterland-nya.
3. Kota Magelang diarahkan dan dikembangkan sebagai pusat pelayanan jasa transportasi menuju kota Yokyakarta, Semarang, Purworejo, Salatiga, Temanggung dan Wonosobo.
4. Kota Magelang diarahkan dan dikembangkan sebagai pusat pelayanan wisata dalam skala regional maupun internasional, karena didukung oleh potensi wisata wilayah hinterland-nya, disamping potensi kota Magelang sendiri sebagai tujuan wisata.
5. Kota Magelang diarahkan dan dikembangkan sebagai pusat jasa sosial seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan olah raga dalam skala regional, karena didukung oleh ketersediaan fasilitas dan skala pelayanan regional baik fasilitas kesehatan, pendidikan serta olah raga.

Sumberdaya Alam
Kota Magelang dengan luas wilayah yang hanya 18,12 Km2 merupakan bagian wilayah provinsi Jawa Tengah yang terkecil, sehingga secara ekonomis kekayaan sumberdayaalamnya sangat terbatas. Namun dari segi topogarafis dan geografis kota Magelang sangat prospektif dan strategis.
Secara topografis, kota Magelang mempunyai kelerengan wilayah yang sangat menguntungkan, karena dengan tingkat kemiringan 2 persen - 5 persen pada bagian tengah dan 15 persen - 45 persen pada sisi barat dan timur serta disebelah barat mengalir sungai Progo dan disebelah timur mengalir sungai Elo, sehingga dengan keadaan alam yang demikian kota Magelang merupakan daerah yang bebas banjir dan prospektif serta menguntungkan sebagai tempat pengembangan usaha.
Di sisi lain, secara geografis letak kota Magelang sangat strategis, karena terletak pada simpul point jalur ekonomi antara Yokyakarta, Purworejo disamping terletak pada jalur wisata lokal maupun regional yaitu Yokyakarta. Borobudur, Kopeng dan dataran Dieng. Dengan demikian arah pengembangan kota Magelang salah satunya sebagai pusat pelayaran jasa pariwisata disamping pengembangan kota Magelang sebagai salah satu tujuan wisata yaitu wisata rekreasi dan wisata sejarah. Hal ini didukung dengan keberadaan Taman Kyai Langgeng serta beberapa bangunan peninggalan Belanda, salah satunya menara air yang terletak disudut utara-barat Alun-alun Magelang yang mempunyai keunikan gaya arsitekturnya sehingga dapat dijadikan salah satu landmark kota Magelang.
Dilihat dari potensi ekonomi lahan (tahun 2001), dari luas wilayah 1.812 ha pola pembangunan dan pemamfatan lahannya yaitu untuk perumahan dan permukiman sebesar 72,07 persen, sawah 12,69 persen, perusahaan/industri 2,87 persen, hutan/perkebunan 5,49 persen, kolam 0,42 persen, ladang 0,81 persen, dan lain lain sebesar 5,65 persen. Dengan melihat pola penggunaan lahan tersebut, maka langkah strategis yang ditempuh kota Magelang yaitu dengan mempertahankan lahan yang mampu memberi manfaat daya dukung sektor produktif dan pengembangan potensi lahan bagi penanaman investasi baru sebagai simpul-simpul penggerak ekonomi daerah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRWK).

Sumberdaya Manusia
Berdasarkan data tahun 2001 penduduk kota Magelang berjumlah sebesar 115.863 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 6.394 jiwa/km2 atau relatif tinggi tingkat kepadatan penduduknya. Di satu sisi tingkat kepadatan yang tinggi berdampak negatif terhadap penataan kota serta kebutuhan penyediaan infrastruktur dasar perkotaan, disisi lain merupakan potensi yang besar dari segi ketersediaan tenaga kerja di kota Magelang.
Dilihat dari tingkat pendidikan angkatan kerja (2001), mereka yang tamat SLTP sampai dengan perguruan tinggi (PT) proporsinya cukup besar yaitu 53,72 persen dibandingkan dengan tamatan atau tidak tamat SD sebesar 46,28 persen. Ini menunjukkan bahwa struktur penduduk angkatan kerja di kota Magelang secara umum mempunyai kualitas pendidikan yang relatif tinggi. Hal ini juga ditunjukkan dengan angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dibidang pendidikan kota Magelang yang sangat tinggi yaitu sebesar 80,98.

Sarana dan Prasarana
Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan tuntutan pembangunan, kota Magelang senantiasa berbenah diri baik secara fisik maupun secara ekonomi yang mengarah pada penciptaan suasana kondusif dan nyaman bagi berlangsungnya kegiatan ekonomi produktif serta investasi daerah. Untuk itu, peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana pelayanan publik mutlak harus dilakukan. Sarana dan prasarana tersebut antara lain berupa sarana dan prasarana transportasi, perdagangan, pendidikan, pariwisata, pos/telekomunikasi, listrik, air dan lain sebagainya.
Sarana dan prasarana dibidang transportasi di kota Magelang dapat dikatakan sangat memadai, baik berupa jalan, angkutan umum, terminal orang dan terminal barang. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi ini sangat vital sebagai urat nadi arus barang, jasa dan manusia baik antar daerah maupun didalam kota disamping merupakan sektor pendukung investasi daerah.
Dengan letak yang strategis dan sejalan dengan visi kota sebagai kota jasa, maka salah satu strategi pengembangan kota diarahkan sebagai pusat perdagangan. Untuk merealisasikan hal tersebut, pemerintah kota Magelang telah membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana perdagangan. Sarana dan prasarana tersebut diantaranya pasar-pasar tradisional, pusat-pusat pertokoan serta super market, disamping itu juga terdapat beberapa pasar untuk transaksi komoditas khusus seperti pasar buah, pasar burung maupun pasar barang bekas. Pasar-pasar dan pusat-pusat perbelanjaan yang ada dapat berfungsi sebagai penggerak kegiatan ekonomi produktif masyarakat kota maupun hinterland-nya serta mampu menyediakan lapangan kerja.
Disamping itu, dalam rangka mendorong sektor pariwisata, kota Magelang telah berbenah dengan menyediakan sarana dan prasarana yang cukup memadai bagi pelayanan jasa wisata wilayah hinterland-nya seperti obyek candi Borobudur, dataran tinggi Dieng, Kopeng dan lainnya, juga objek wisata yang ada di kota Magelang sendiri yang berupa taman wisata rekreasi Kyai Langgeng dan wisata sejarah. Untuk menunjang sektor pariwisata, telah tersedia berbagai fasilitas penginapan hotel mulai hotel kelas melati sampai hotel kelas bintang, juga trevel biro perjalanan yang siap melayani perjalanan wisata para turis baik domestik maupun manca negara.
Sarana dan prasarana yang tidak kalah penting peranannya adalah ketersediaan sarana dan prasarana komunikasi, penerangan dan air. Sarana dan prasarana pos/telekomunikasi di kota Magelang sudah cukup memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal ini dapat dilihat dari pelayanan jaringan pos dan telekomunikasi yang sudah dapat menjangkau keseluruh pelosok wilayah kota Magelang yang merupakan urat nadi semua aspek kehidupan masyarakat modern juga tersedia lebih dari cukup kapasitasnya maupun jaringannya, baik untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, perusahaan/industri dan keperluan lainnya.
Sebagai salah satu penyandang kota pendidikan, kota Magelang berupaya seoptimal mungkin sarana dan prasarana pendidikan yang representatif mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi (PT). Pusat-pusat pendidikan semakin banyak berdiri, baik formal maupun non formal yang tersebar merata hampir seluruh kota Magelang menjadikan salah satu alternatif dalam memilih pendidikan yang akan ditempuh, disamping hadirnya play group, SD, SMP dan SMU unggulan serta berdirinya Community College menjadikan daya tarik kota Magelang yang mampu memberikan pelayanan pendidikan formal dan non formal yang terbaik bagi masyarakat kota Magelang dan hinterland-nya.
Posisi kota Magelang yang terletak di tengah-tengah antara Yogyakarta dan Semarang menjadikan kota ini daya tarik bagi pelajar yang melanjutkan pendidikan khususnya jenjang perguruan tinggi yaitu dengan keberadaan Universitas Tidar Magelang, Universitas Muhammadiyah Magelang, STIMIK, Akademik Keperawatan, Akademik Kebidanan dan Akademik Air Minum. Akademik Air Minum ini merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia juga menambah daya tarik kota Magelang, disamping Akademi Militer yang mencetak pemimpin-pemimpin besar bangsa dalam skala nasional.

Pengembangan dan Pemanfaatan Potensi Wilayah.
Berdasarkan potensi yang ada sebagaimana diuraikan tersebut diatas, untuk lebih memacu pembangunan daerah tergantung pada bagaimana kita bisa mengemas potensi-potensi tersebut sehingga menjadikan kota Magelang memiliki daya tarik dan daya saing yang tinggi dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga manarik investor untuk mau menambah modalnya pada sektor-sektor strategis yang ada di kota Magelang.
Dalam rangka percepatan pembangunan daerah sekaligus sebagai upaya peningkatan daya saing daerah, pemerintah Magelang telah merumuskan beberapa kebijakan. Mengingat keterbatasan sumberdaya alam, maka upaya untuk mencapai kebijakan tersebut di atas dalam pelaksaan pembangunan diupayakan dengan menyusun perencanaan yang matang dengan pendekatan kawasan, yaitu :
1. Mempersiapkan kawasan strategis untuk menghidupkan simpul-simpul ekonomi dan keramaian kota Magelang. Hal ini sesuai dengan arahan kebijakan pengembangan wilayah kota Magelang bahwa pembangunan perekonomian dititik beratkan dalam kegiatan perdagangan dan jasa. Kebijakan ini dilakukan dengan 2 (dua) pendekatan, yang pertama dengan mengoptimalkan sarana dan prasarana perdagangan pasar yang sudah ada dengan meningkatkan aspek kualitas dan aspek kuantitas guna meningkatkan kualitas pelayanan.
Strategi kedua yaitu dengan mengembangkan embrio ekonomi baru yang potensial sesuai dengan karakteristik wilayah. Terdapat enam titik (kawasan) strategis yang menjadi prioritas yang diharapkan menjadi penggerak kegiatan perekonomian kota, yaitu :
- Kawasan GOR Samapta;
- Kawasan Sidotopo;
- Kawasan Pasar Kebonpolo;
- Kawasan Pasar Rejowinangun;
- Kawasan Kerkoff (Lembah Tidar); dan
- Kawasan Soekarno-Hatta.
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ditempuh melalui :
a. Memperbaiki perekonomian masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja yang kondusif diberbagai sektor, termasuk penataan sektor informal yang cenderung menurunkan kondisi fisik kota;
b. Meningkatkan fasilitas dan kapasitas jasa kesehatan dan pendidikan (direncanakan akan menambah satu perguruan tinggi kalau bisa negeri), pendidikan luar sekolah sebagai penunjang peningkatan keterampilan angkatan kerja serta fasilitas jasa-jasa lainnya;
c. Peningkatan kualitas SDM melalui berbagai bentuk program belajar, perpustakaan, penyediaan buku sekolah dan lain-lain, untuk mendorong terwujudnya masyarakat kota Magelang yang gemar membaca.
d. Program kemitraan dengan berbagai pihak, baik dengan pihak ketiga, antar daerah maupun antar lembaga dalam negeri maupun luar negeri.
3. Pelaksanaan pembangunan kawasan-kawasan strategis dan potensial untuk dikembangkan sebagai pusat-pusat penggerak pertumbuhan ekonomi daerah, sekaligus untuk penyebaran pengembangan dan keramaian kota dalam rangka mengurangi kesenjangan antar kawasan, yang direncanakan secara matang dengan melakukan beberapa studi. Studi kelayakan yang telah dilakukan dalam upaya pengembangan potensi daerah menuju peningkatan daya saing wilayah antara lain study kelayakan kawasan GOR Samapta sebagai pengembangan kawasan olah raga dan rekreasi kota, kawasan Sidotopo yang dipersiapkan sebagai kawasan pendidikan masa depan serta study kelayakan Tuk Pecah sebagai salah satu alternatif sumber mata air di kota Magelang serta sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada sumber-sumber mata air yang berlokasi di luar kota Magelang dan pengembangan diversifikasi air dalam kemasan.
4. Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasana pada lokasi-lokasi strategis untuk menarik para investor untuk menanamkan modalnya di kota Magelang, sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan penciptaan lapangan kerja baru yang diharapkan mampu sebagai upaya mengatasi masalah sosial wilayah perkotaan. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan dan akan terus ditingkatkembangkan diantaranya adalah pembangunan sarana dan prasarana pusat perdagangan dan rekreasi lembah Tidar, penataan kawasan Gladiol, penataan taman Badaan, pembangunan pasar Kebonpolo, pembangunan jembatan Elo Jetis, penataan irigasi dan drainase dan sarana prasarana perkotaan lainnya.
5. Pemantapan stabilitas daerah sebagai prasyarat bagi suksesnya pelaksanaan pembangunan daerah melalui upaya mendorong penciptaan iklim yang kondusif, penciptaan rasa aman bagi masyarakat dengan meminimalisasi isu-isu negatif, serta mendukung terciptanya iklim tranparansi melalui pelibatan secara langsung seluruh komponen (stakeholders) dalam penyusunan berbagai kebijakan pemerintah kota Magelang.
6. Menggerakkan kembali aktivitas ekonomi melalui pemberdayaan dan penguatan struktur perekonomian rakyat, termasuk pembinaan dan pemberdayaan sektor informal.
7. Upaya-upaya penciptaan inovasi-inovasi, kreatifitas dan rekayasa-rekayasa (rancang bangun) dalam rangka pengembangan dan peningkatan kapasitas kota, melalui kegiatan antara lain :
a. rencana renovasi dan penataan pasar tradisional,
b. penataan lingkungan perbatasan,
c. rencana pendirian perguruan tinggi guna melengkapi fasilitas pendidikan tinggi yang telah ada,
d. menata dan melakukan investasi di kawasan strategis yang diprioritaskan, dan
e. peningkatan kualitas SDM.
8. Peningkatan peran lembaga keuangan daerah (BPR, BPK) dengan memperbaiki manajemen dan peningkatan permodalan guna menopang kegiatan ekonomi skala kecil dan menengah maupun meningkatkan kerjasama dengan pihak pengembang di kota Magelang.

Penutup
Penciptaan kebijakan pembangunan kota Magelang yang dilaksanakan dengan konsisten melalui perencanaan yang matang dan rigit ini, sebenarnya diilhami oleh upaya keterbatasan SDA dan hanya mengandalkan letak strategis kota serta SDM. Oleh karena itu kota Magelang harus selalu menciptakan “Competitive Advantage” yang secara langsung maupun tidak langsung memberikan efek positif pada daya saing teknologi.
Pada hakekatnya daya saing wilayah dapat diciptakan dan diwujudkan dengan mempertimbangkan potensi dan karakteristik suatu daerah serta bagaimana kita bisa secara kreatif dan inovatif mengembangkan dan memanfaatkan potensi-potensi tersebut.
Keberhasilan suatu daerah dapat diraih apabila kita bisa mengaktualisasikan konsep pembangunan daerah secara utuh dan terpadu (comprehensive and integrate area development), dengan pelibatan dan kerjasama seluruh pelaku pembangunan (stake holders) di daerah dalam pengembangan potensi wilayah.
Pengembangan potensi wilayah harus berorientasi pasar dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan hanya dapat dikatakan berhasil apabila mampu memberikan manfaat dan efek positif serta terjadi peningkatan nilai tambah produk-produk daerah melalui pemanfaatan IPTEK, sehingga daerah memiliki daya saing yang tinggi. Hal yang menarik untuk kita diskusikan adalah apakah pengembangan potensi wilayah yang berorientasi pasar merupakan salah satu pendekatan yang efektif untuk mewujudkan daya tarik dan daya saing wilayah.

Upaya Peningkatan Daya Saing Kabupaten Sidoarjo

Pada akhir-akhir ini terjadi perubahan yang cukup dinamis dalam lingkungan eksternal maupun internal wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedikit banyak akan membawa pengaruh terhadap sistem pembangunan wilayah yang ada saat ini. Secara eksternal, faktor strategis yang cukup menonjol dewasa ini adalah adanya komitmen maupun perjanjian internasional yang mengikat bangsa Indonesia untuk ikut terlibat di dalamnya. Misalnya perdagangan bebas serta pelaksanaan AFTA 2003, memberikan gambaran bahwa keterbukaan antara negara-negara di dunia semakin nyata. Keterbukaan membawa konsekuensi pada meningkatnya pengaruh-pengaruh dari luar pada pola perilaku sistem pembangunan suatu wilayah.
Sedangkan secara internal, beberapa faktor dan isu strategis yang menonjol selama lima tahun terakhir antara lain: pertama, pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang saat ini sudah berjalan kurang lebih 4 (empat) tahun merupakan salah satu bentuk perubahan kebijakan pembangunan yang berdampak cukup signifikan. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah kabupaten/kota dalam mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri, hingga saat ini masih menyisakan beberapa persoalan yang cukup berat, baik dari sisi ekonomi, kelembagaan, sosial budaya, maupun fisik. Persoalan-persoalan ini secara langsung maupun tidak langsung akan menghambat proses pembangunan wilayah secara keseluruhan; kedua, pelaksanaan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Daerah–Pusat yang masih mengalami beberapa masalah, antara lain yang menyangkut pembagian kewenangan pemerintah Pusat dan Daerah. Akibatnya masih sering terjadi bias yang merugikan perkembangan wilayah yang bersangkutan; ketiga, krisis sosial dan ekonomi yang sempat menyentuh tahap terendah pada tahun 1997 dan hingga kini masih belum pulih, mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang sangat lamban. Hal ini berdampak secara luas kepada berbagai aspek kehidupan, seperti tingkat pengangguran yang tinggi, kejahatan meningkat, kelaparan hingga isu SARA; keempat, isu disintegrasi bangsa yang mengemuka, khususnya masalah Provinsi Papua dan Nangroe Aceh Darusalam yang membutuhkan perhatian serius, akibatnya banyak sumberdaya yang dialokasikan dan tersedot untuk mengatasi persoalan tersebut. Konsekuensinya, ada beberapa sisi pembangunan yang mendapat proporsi sumberdaya nasional yang lebih kecil, yang pada akhirnya mengarah pada kecemburuan dan ketimpangan wilayah.
Isu ekternal dan internal tersebut secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada daya saing nasional dan secara khusus daya saing daerah. Kabupaten Sidoarjo sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia juga mengalami penurunan daya saingnya. Hasil kajian BPPT tentang Pemeringkatan Daya Saing Kabupaten/Kota se Jawa dan Bali, menempatkan Kabupaten Sidoarjo dalam posisi ke-9 dan bersama 10 kab/kota lainnya berada pada kuadran 1, artinya mempunyai kemampuan teknologi dan iklim teknologi yang positif/tinggi dibandingkan kabupaten/kota se Provinsi Jawa Timur. Posisi tersebut sebenarnya hanya menunjukkan indikasi bahwa Kabupaten Sidoarjo bersama-sama 10 kabupaten/kota lainnya mempunyai daya saing yang tinggi dibandingkan 27 kabupaten lainnya di Jawa Timur, yaitu menunjukkan perbandingan relatif bukan merupakan perbandingan absolut. Perbandingan daya saing secara absolut sebenarnya tidak dapat dilakukan saat ini, mengingat metodologi tentang itu belum ada. Namun demikian, secara relatif dapat dilihat indikasi daya saing tersebut, berturut-turut dapat dihitung daya saing Provinsi Jawa Timur dibandingkan antarprovinsi se Indonesia, dan seterusnya negara Indonesia dibandingkan dengan antarnegara di dunia. Beberapa perhitungan pemeringkatan daya saing di dunia menunjukkan bahwa negara Indonesia berada pada urutan menengah bawah, misalnya: human development index (HDI) tahun 2003 menunjukkan posisi Indonesia pada peringkat 112 dari 175 negara, masuk dalam klasifikasi human development menengah (urutan 56-141). Di antara negara ASEAN, posisi Indonesia berada di bawah Vietnam (urutan 109), Philipina (85), Thailand (74), dan Malaysia (58), serta berada pada posisi di atas Kamboja (130), dan Myanmar (131). Sedangkan negara ASEAN lainnya masuk dalam klasifikasi human development tinggi, misalnya: Singapura (28), dan Brunei Darussalam (31).
Sementara itu hasil kajian Perwira Siswa (Pasis) Seskoad Dikreg XLI tahun 2003 yang menganalisis ketahanan wilayah Kabupaten Sidoarjo dalam konteks pembangunan wilayah Provinsi Jawa Timur, menunjukkan bahwa indeks ketahanan wilayah Sidoarjo cukup tangguh relatif dibandingkan ketahanan kabupaten/kota di Jawa Timur, seperti terlihat pada tabel 1. Penentuan indeks ketahanan wilayah ini didasarkan pada konsep Ketahanan Nasional (Lemhanas, 2001) yang mengkaji 8 gatra (Astagatra), yaitu: gatra geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan gatra pertahanan kemanan.
Menurut Lemhanas, sebuah wilayah dikatakan mempunyai ketahanan wilayah yang cukup tangguh, bila terjadi sebagian atau seluruh kondisi-kondisi di bawah ini:

a) Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada dasarnya berjalan normal, gejolak yang timbul langsung bisa diatasi sehingga dampaknya minim.
b) Nilai-nilai Pancasila telah diamalkan oleh sebagian masyarakat, walaupun belum konsisten.
c) Kehidupan politik cukup sehat, aspirasi masyarakat telah diwarnai perumusan kebijakan publik.
d) Ekonomi cukup besar, dengan pondasi yang cukup solid. Sektor Riil telah memberikan kontribusi yang cukup baik.
e) Masyarakat cukup bergairah dalam ikut serta melaksanakan pembangunan.
f) Keamanan terkendali, aparat siap menghadapi gejolak sampai skala menengah.

Walaupun secara relatif daya saing Kabupaten Sidoarjo ini mempunyai peringkat yang tinggi serta indeks ketahanan wilayah yang cukup tangguh, tetapi secara absolut, seperti halnya keadaan Provinsi Jawa Timur dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kabupaten Sidoarjo masih memerlukan peningkatan di segala lini pembangunan, sehingga mampu mengejar ketertinggalannya terhadap negara lain dan yang lebih penting semakin mampu menyejahterakan penduduknya.
Dengan melihat peluang, dan ancaman serta memperhatikan kekuatan dan kelemahannya, bagaimana upaya yang harus ditempuh oleh Kabupaten Sidoarjo dalam meningkatkan daya saingnya yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

Metodologi
Untuk menjawab permasalahan di atas, maka metodologi yang digunakan adalah mempelajari dokumen perencanaan Kabupaten Sidoarjo (RTRW, Renstra, Propeda), dan data sekunder lainnya (LPJ bupati, Sidoarjo Dalam Angka, dsb), serta melakukan pengamatan lapangan secara langsung (observasi), dan wawancara dengan beberapa aparat pemerintah kabupaten dan masyarakat. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah analisis diskriptif (kuantitatif) dan analisis kualitatif.

Analisis
Kabupaten Sidoarjo terdiri dari 18 kecamatan, 322 desa dan 31 kelurahan, dengan batas wilayah: Kota Surabaya dan Kab. Gresik (sebelah utara), Selat Madura (timur), Kab. Pasuruan (selatan), dan Kab. Mojokerto (sebelah barat). Luas wilayahnya yang sebesar 63.438,534 Ha, sebagian besar merupakan dataran rendah (40,81 persen) terletak di ketinggian 3–10 meter yang berada di bagian tengah dan berair tawar. Berikutnya 29,99 persen berketinggian 0–3 meter berada di sebelah timur dan merupakan daerah pantai dan pertambakan, dan 29,20 persen terletak di ketinggian 10–25 meter berada di bagian barat. Sebagian besar lahan digunakan untuk bangunan rumah dan halaman (43,02 persen), berikutnya lahan sawah (40,01 persen), lahan penggembalaan, padang rumput, empang dan lain-lain (16,45 persen), dan tegalan, kebun, ladang, huma (0,52 persen). Kabupaten Sidoarjo mendapat julukan Kota Delta karena berada di muara sungai yang banyak terdapat delta-delta.
Jumlah penduduk, berdasarkan hasil regristrasi penduduk akhir tahun 2002, tercatat sebanyak 1.316.769 jiwa, terjadi kenaikan sebesar 23.658 jiwa atau 1,83 persen dibandingkan akhir tahun 2001 sebesar 1.293.111 jiwa. Kepadatan penduduk Sidoarjo sedikit menurun dari 2.038 jiwa/km² di tahun 2001 menjadi 1.844 jiwa/km² di tahun 2002. Sex ratio menunjukan adanya penurunan dari tahun 2001, sebesar 99,98 menjadi 98,48 itahun 2002. Hal ini menunjukan bahwa penduduk permpuan di Kabupaten Sidoarjo lebih banyak dari pada penduduk laki-laki dengan perbandingan setiap 100 penduduk perempuan terdapat sekitar 99 penduduk laki-laki.
Jumlah angkatan kerja pada tahun 2002 sebesar 60 persen dari jumlah penduduk usia kerja, sebagian besar berpendidikan SLTA. Sedangkan angkatan kerja yang sudah bekerja, sebagian besar bekerja di sektor industri, berikutnya, pertanian, serta perdagangan dan jasa. Jumlah pencari kerja tahun 2002 sebesar 9.432 orang terjadi peningkatan yang cukup tajam jika dibandingkan tahun 2001 sebesar 4.753 orang atau naik 106,25 persen. Kondisi ini terjadi akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masih banyak dilakukan oleh perusahaan yang terkena dampak krisis ekonomi.
Pembangunan di Kabupaten Sidoarjo, khususnya di bidang ekonomi, telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Paling tidak dapat dilihat dari nilai PDRB tahun 2002 sebesar Rp. 14.205.508,65 (atas dasar harga berlaku) atau sebesar Rp. 4.138.142.67 (atas dasar harga konstan). Keadaan ini mendekati sama dengan nilai PDRB tahun 1996 (sebelum terjadinya krisis ekonomi) yaitu sebesar Rp. 4.895.642,14 (atas dasar harga konstan). Walaupun dianggap keadaan perekonomian Kabupaten Sidoarjo sudah pulih kembali, kedepan pembangunan ekonomi harus lebih dipacu dengan berbagai program agar terjadi peningkatan kesejahteraan penduduk.
Perekonomian Kabupaten Sidoarjo didominasi oleh kegiatan industri pengolahan (50,45 persen), berikutnya adalah sektor hotel dan restoran (21,19 persen), dan sektor angkutan dan komunikasi (8,15 persen). Dominasi sektor industri pengolahan mengisyaratkan bahwa Kabupaten Sidoarjo telah memasuki tahap perekonomian sekunder. Keadaan ini harus didukung oleh terpeliharanya pasokan energi, terjaminnya fasilitas infrastruktur dan tersedianya tenaga kerja, disamping situasi keamanan yang kondusif. Sektor sekunder ini juga perlu didukung oleh sektor primer (pertanian) sebagai basis dari kegiatan ekonomi masyarakat. Dengan harmonisasi kegiatan perekonomian ini maka akan tercipta kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Pertumbuhan ekonomi secara agregat menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan, kalau tahun 2000 tumbuh sekitar 3,07 persen menjadi 3,66 persen dan 3,93 persen di tahun 2001 dan 2002. Meskipun demikian kondisi ini masih kurang jika dibandingkan dengan sebelum terjadi krisis ekonomi dimana tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sidoarjo mencapai 5,02 persen. Tahun 2002 pertumbuhan sangat tinggi terjadi pada sektor angkutan dan komunikasi yang salah satunya merupakan dampak dari bergairahnya sektor angkutan udara secara umum, khususnya bandara Juanda. Pertumbuhan ekonomi sekitar 3,93 persen perlu terus ditingkatkan, mengingat pertumbuhan penduduk pada tahun yang sama sekitar 1,83 persen. Dengan peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah diharapkan mampu menggerakkan dinamika perekonomian masyarakat. Dengan pertumbuhan yang cukup tinggi dan pemerataan yang diupayakan secara bertahap, maka masyarakat akan menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut.Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa sektor dominan yang menggerakkan roda perekonomian Kabupaten Sidoarjo adalah sektor industri, terlihat pada tabel berikut ini, terdapat sekitar 390 industri besar, sekitar 1900 industri kecil dan hampir 12 ribu industri rakyat yang menyerap pekerja sekitar 150 ribu orang. Masing-masing kelompok industri (besar, kecil, dan industri rakyat) sebagian besar adalah subsektor industri kimia dan industri barang logam (industri besar), dan subsektor industri tekstil dan industri kayu (industri kecil dan industri rakyat).
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi tersebut, salah satunya dapat dicapai melalui peningkatan investasi. Saat ini aktivitas pembangunan yang dilakukan pemerintah hanya dialokasikan dana sebesar 23,47 persen dari total APBD selebihnya adalah untuk biaya belanja pegawai dan kebutuhan rutin lainnya. Kecilnya alokasi dana pemerintah untuk pembangunan menuntut adanya peranserta swasta dan masyarakat untuk melakukan investasi di Kabupaten Sidoarjo. Untuk dapat menarik minat investor malakukan investasi di Sidoarjo, perlu diperhatikan beberapa kemudahan, diantaranya kemudahan perijinan, fasilitas infrastruktur, insentif pajak, maupun jaminan keamanan yang kondusif.
Aktivitas perekonomian wilayah dapat juga dilihat dari aktivitas perdagangan dan jasa yang cukup menonjol. Ciri ini terutama terjadi pada wilayah perkotaan, seperti Kabupaten Sidoarjo yang berfungsi sebagai penyangga (hinterland) Kota Surabaya, sehingga menjadi kawasan yang tumbuh cepat (rapid growth area). Nilai tambah sektor perdagangan dihitung dengan cara pendekatan arus barang (commodity flow), yaitu dengan menghitung besarnya nilai komoditas di sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan dan komoditas impor yang diperdagangkan. Setelah dikurangi dengan nilai marginnya, selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai tambahnya. Rasio besarnya barang-barang yang diperdagangkan, margin dan persentase nilai tambah didasarkan data hasil penyusunan. Di samping itu ekspor dari Kabupaten Sidoarjo yang cukup besar perlu terus ditingkatkan, khususnya produk perikanan darat yang secara langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Kondisi keuangan pemerintah Kabupaten Sidoarjo dapat dilihat dari struktur penerimaan, struktur belanja daerah dan kewajiban serta tunggakan hutangnya. Tahun anggaran 2001 sebesar 17,5 persen dari total belanja Kabupaten Sidoarjo didanai dari PAD. Tahun 2002 menurun menjadi hanya 16,4 persen (sekitar 72 Milyar rupiah dibandingkan APBD sebesar 439 Milyar rupiah). Hal ini mempunyai arti bahwa kemampuan Kabupaten Sidoarjo dalam membiayai pembangunannya sendiri masih kurang, untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih keras lagi untuk meningkatkan PAD tersebut, misalnya melalui peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat secara luas sehingga secara tidak langsung penghasilan daerah melalui pajak maupun retribusi juga meningkat.
Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah Kabupaten Sidoarjo telah menyusun strategi dan program pembangunan sebagai berikut:
Visi Kabupaten Sidoarjo diarahkan dalam mewujudkan masyarakat Kabupaten Sidoarjo yang ”MANDIRI, SEJAHTERA, DAN MADANI”. Makna yang terkandung dalam Visi tersebut adalah Kabupaten Sidoarjo dengan masyarakat yang mampu mengembangkan potensi diri dan daerah serta mencukupi kebutuhan hidup dan kehidupannya secara mandiri, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta beriman dan bertakwa, berkecukupan material spiritual, sejahtera lahir batin, memegang teguh moral agama, beradab dan berahlak mulia, menjunjung tinggi supremasi hukum, demokratis, aman, tentram, tertib dan damai, serta masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibanya.
Untuk mewujudkan visi tersebut maka ditetapkan misi Kabupaten Sidoarjo sebagai berikut:
a) Mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan dan pengamalan nilai-nilai agama diiringi dengan penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila secara konsisten dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
b) Memberikan layanan kepada masyarakat secara profesional.
c) Memfasilitasi pembangunan infrastruktur yang mendorong peningkatan pembangunan yang proporsional, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan.
Dengan memperhatikan permasalahan, tantangan, peluang serta kemampuan dan potensi daerah maka kebijakan pembangunan di Kabupaten Sidoarjo diarahkan untuk memantapkan perekonomian daerah melalui berbagai kegiatan yang mengakomodir segala aspek pembangunan. Kegiatan-kegiatan dimaksud antara lain: keterlibatan masyarakat dalam dunia usaha, peningkatan kesempatan kerja melalui peningkatan kesempatan berusaha, mengembangkan sistem transportasi terpadu untuk meningkatkan aksesibilitas daerah, penguatan kelembagaan perekonomian daerah, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan di daerah, pengembangan sumberdaya alam yang memiliki keunggulan komparatif, pengembangan kawasan dengan menciptakan keterkaitan dengan wilayah sekitar dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Strategi kebijakan pembangunan Kabupaten Sidoarjo diarahkan pada: strategi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan strategi kebijakan pembangunan. Strategi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan meliputi:
(1) Mewujudkan aparatur pemerintahan yang amanah, profesional dan berdedikasi tinggi dalam pelaksanaan tugas secara efektif dan efisien, serta mewujudkan otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab.
(2) Menjadikan aparatur pemerintahan yang bersih dari praktek-praktek KKN dan meningkatkan kinerja aparat pengawasan internal, fungsional dan pengawasan masyarakat.
(3) Mewujudkan aparat pemerintah yang netral dari politisasi tanpa mengabaikan hak-hak politiknya dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
(4) Mewujudkan pemerintahan yang mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara bertanggung jawab, mudah, cepat, transparan dan memiliki akuntabilitas tinggi dengan mendorong dinamika masyarakat.
(5) Mewujudkan penyelenggara pemerintahan yang berjiwa kewirausahaan guna mendorong dinamika pertumbuhan pengembangan usaha dan percepatan pembangunan.
Sedangkan strategi kebijakan pembangunan meliputi 9 (sembilan) bidang, yaitu: bidang hukum, ekonomi, politik, agama, pendidikan, sosial budaya, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, ketentraman dan ketertiban, dan bidang pembangunan daerah:
(1) Bidang hukum. Pembangunan di bidang hukum dilaksanakan dalam rangka menumbuhkembangkan kesadaran hukum, budaya tertib hukum yang konsisten dan obyektif, adanya kepastian hukum dan tumbuhnya rasa keadilan serta terwujudnya masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya.
(2) Bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi diarahkan dalam upaya memperkuat struktur perekonomian daerah yang lebih seimbang dan merata untuk kesejahteraan masyarakat, dengan memanfaatkan kondisi dan potensi daerah serta peluang yang ada, dengan mengutamakan upaya-upaya pemulihan dan pengembangan perekonomian daerah melalui peningkatan kegiatan investasi, serta mendorong dan memfasilitasi upaya-upaya peningkatan produktifitas daerah dan pendapatan masyarakat.
(3) Bidang politik. Pembangunan di bidang politik dimaksudkan guna memacu akselerasi proses demokrasi yang lebih mantap dalam penyelenggaraan pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat dengan menumbuhkan sikap dan kesadaran berpolitik, meningkatkan pendidikan dan budaya politik yang kondusif serta mengoptimalkan peran dan fungsi partai politik.
(4) Bidang agama. Pembangunan bidang agama diarahkan pada penataan kehidupan beragama yang diharapkan mampu menciptakan dan mendorong setiap warga masyarakat yang beriman dan bertaqwa, serta secara bersungguh-sungguh memperkokoh keberadaan dan jati dirinya baik secara pribadi maupun dalam komunitas atas dasar nilai-nilai keagamaan, dengan meningkatkan kualitas pemahaman terhadap sumber nilai dan ajaran agama, mengembangkan tradisi dan budaya dialog serta komunikasi internal maupun antarumat beragama yang dilandasi saling pengertian serta mengoptimalkan fungsi sarana peribadatan sebagai pengembangan pendidikan keagamaan dan kemasyarakatan.
(5) Bidang pendidikan. Pembangunan pendidikan bertujuan membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas melalui sistem pendidikan yang lebih baik dan kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih merata dan menciptakan sistem pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masa kini pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan, menyediakan lembaga pendidikan yang merata dan seimbang di seluruh wilayah dengan fasilitas memadai, termasuk bagi anak berkelainan fisik dan mental, menyediakan tenaga pendidik yang bermutu, profesional dan berdedikasi tinggi meningkatkan peran serta masyarakat di bidang pendidikan formal dan non formal serta menciptakan manajemen lembaga pendidikan yang mendorong otonomi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan.
(6) Bidang sosial budaya. Pembangunan bidang sosial budaya diupayakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melalui peningkatan fungsi dan peran lembaga sosial, masyarakat, derajat kesehatan, ketenagakerjaan dan penanggulangan masalah sosial (kemiskinan, keterlantaran dan keterbelakangan).
(7) Bidang sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup diarahkan pada terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam yang optimal, serta pembangunan daerah yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan, upaya menegakkan hukum lingkungan secara efektif untuk menghindari sengketa sumberdaya alam dan lingkungan, serta memberdayakan masyarakat dan mengoptimalkan kekuatan pelaku ekonomi, dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
(8) Bidang ketentraman dan ketertiban. Perwujudan situasi wilayah yang aman dan kondusif menjadi tanggung jawab bersama antara aparat keamanan/daerah dan masyarakat, karena itu dimasa depan tetap harus dibangun dengan peningkatan peran masyarakat, pemerintahan daerah dan lembaga kemasyarakatan yang ada dalam mewujudkan ketentraman dan ketertiban wilayah Dalam upaya untuk mewujudkan masyarakat yang aman, tentram, tertib dan damai maka kebijakan pembangunan daerah diarahkan dengan mengembangkan jiwa dan semangat kebersamaan demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa.
(9) Bidang pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan daerah harus berbasis data dengan memanfaatkan Iptek dan diarahkan pada pengembangan potensi wilayah berdasarkan penataan ruang daerah sebagai development scenario, dalam rangka mendorong peningkatan pembangunan infrastruktur, sarana dan prasarana pengembangan wilayah untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan yang berdampak ganda pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan daya saingnya, pemerintah daerah harus mampu mensinergikan seluruh masyarakat, pengusaha swasta, dan kekuatan lainnya untuk menghadapi ancaman dimasa depan, menggali dan mengembangkan kekuatan serta mengatasi kelemahan untuk mendapatkan peluang menjadi lebih baik.
Secara umum, ancaman yang mungkin dihadapi Kabupaten Sidoarjo adalah berlakunya perjanjian AFTA 2003 dan perjanjian internasional lainnya yang mensyaratkan adanya baku mutu dalam perdagangan internasional dan tidak adanya diskriminasi produk, sehingga hanya produk yang mempunyai daya saing-lah yang dapat bertahan di persaingan global tersebut. Dalam abad persaingan ini, terjadi juga persaingan antarwilayah dalam merebut peluang-peluang yang ada, sehingga hanya wilayah yang berdaya saing yang akan unggul.
Ancaman lainnya adalah koordinasi antarwilayah yang belum baik, terdapat ‘sengketa’ perbatasan misalnya: tanah oloran di muara Sungai Porong yang semakin bertambah luas dan menjorok ke laut wilayah Kabupaten Pasuruan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS sungai Mas) yang melintasi Kabupaten Sidoarjo, Gresik, dan Kota Surabaya, serta DAS sungai Porong yang melintasi Kabupaten Sidoarjo, Mojokerto, dan Pasuruan yang merupakan kewenangan pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pengelolaan fasilitas publik yang belum jelas, misalnya: bandara Juanda yang berada di Kecamatan Sedati yang dikelola oleh Perum Angkasa Pura I (PAP-I) sedangkan lahan dimiliki oleh TNI-AL, terminal bis Purabaya (Bungurasih) di Kecamatan Waru yang pengelolaannya oleh pemerintah Kota Surabaya.
Menurut Buku Putih yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan RI, disebutkan bahwa dalam konteks strategi kemungkinan ancaman yang timbul adalah: terorisme internasional, kerusuhan massa intensitas tinggi, konflik komunal, kejahatan lintas negara, dan keimigrasian. Sedangkan menurut Kodim 0816/ Sidoarjo, ancaman/gangguan yang terjadi dapat berupa kerusuhan sosial, teror dan sabotase instalasi penting. Wilayah Sidoarjo merupakan salah satu akses utama perlintasan keluar maupun menuju Kota Surabaya dimana terdapat terminal bis antarkota Purabaya di Kecamatan Waru dan bandara internasional Juanda di Kecamatan Sedati, sehingga dalam penyelenggaraan keamanan dan ketertiban baik dalam acara protokoler maupun penyelenggaraan keamanan dan ketertiban lainnya diperlukan penanganan secara khusus.
Potensi ancaman keamanan dan ketertiban yang terjadi saat ini, paling menonjol, adalah kasus pencurian kendaraan bermotor dan aksi demonstrasi/unjuk rasa.
Dibalik ancaman-ancaman tersebut, sesungguhnya terbuka peluang-peluang yang kalau dapat dimanfaatkan akan menggerakkan aktivitas perekonomian Sidoarjo untuk kesejahteraan masyarakat. Peluang-peluang tersebut misalnya: pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan peluang besar untuk mengelola wilayahnya sendiri, perkembangan Kota Surabaya yang cukup pesat menarik Kabupaten Sidoarjo sebagai wilayah penyangga, sebagai kawasan permukiman, dan pariwisata, maupun sebagai pendukung pengembangan industri. Di samping itu kemampuan Sidoarjo dalam mengekspor produk perikanan dan hasil industri merupakan peluang yang cukup besar, mengingat pasar ekspor kedua produk tersebut masih terbuka untuk dikembangkan.
Dalam membaca ancaman dan memanfaatkan peluang yang ada, perlu diperhatikan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Beberapa kekuatan yang menonjol adalah:
· SDM yang agamis dan cukup berkualitas, indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan angka yang cukup tinggi (angka harapan hidup, lama sekolah dan angka melek huruf serta daya beli).
· Jumlah angkatan kerja yang cukup tersedia dengan tingkat pendidikan yang cukup tinggi, (proporsi pendidikan SLTA cukup tinggi), sementara itu laju pertumbuhan pengangguran yang kecil.
· Posisi Kabupaten Sidoarjo yang sangat strategis di jalur transportasi udara, darat, dan laut.
· Dokumen perencanaan pembangunan yang memadai
· Infrastruktur transportasi, telekomunikasi, energi, air minum cukup baik.
· Sektor industri dominan dengan dukungan tenaga kerja dan budaya kerja industri, dimana upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp. 516.500,- cukup kondusif.
Beberapa kelemahan yang menonjol adalah:
· Aparat pemerintah kabupaten yang belum semuanya siap menghadapi pelaksanaan otonomi daerah dan belum berjiwa enterpreneurship untuk menggerakkan perekonomian daerah dan menarik investasi.
· Sebagian masyarakat masih menolak beberapa aktivitas jasa, seperti: perhotelan, diskotik, cafĂ©, beroperasi di Kabupaten Sidoarjo. Saat ini kawasan perhotelan tidak ada yang beroperasi Kabupaten Sidoarjo, selain di sekitar bandara Juanda (Waru) yang agak jauh dari kawasan permukiman.

Kesimpulan dan Rekomendasi.
Daya saing Kabupaten Sidoarjo, secara relatif, sudah cukup tinggi dibandingkan kabupaten/kota se-Provinsi Jawa Timur, demikian juga daya saing Provinsi Jawa Timur dibandingkan provinsi seluruh Indonesia. Namun demikian bila dicermati bahwa daya saing Indonesia sangat rendah dibandingkan negara-negara di dunia, bahkan dengan negara Asean sekalipun, maka sebenarnya peningkatan daya saing tersebut harus terus diupayakan, baik tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun negara.
Isu daya saing belum menjadi perhatian pemerintah Kabupaten Sidoarjo, paling tidak dapat dilihat dari belum adanya konsep yang jelas tentang daya saing dalam dokumen perencanaan, apalagi dalam bentuk implementasi, belum ada upaya yang jelas dalam meningkatkan daya saing.
Secara umum, ancaman yang mungkin dihadapi Kabupaten Sidoarjo adalah persaingan global yang menuntut produk dengan standar mutu yang berlaku secara internasional, koordinasi antarwilayah yang belum baik terutama terkait dengan ‘sengketa’ perbatasan. Disamping itu dimungkinkan adanya terorisme internasional, kerusuhan massa intensitas tinggi, konflik komunal, kejahatan lintas negara, dan keimigrasian, sabotase instalasi penting, dan aksi demonstrasi/unjuk rasa khususnya buruh pabrik.
Peluang-peluang yang dapat menggerakkan aktivitas perekonomian Sidoarjo untuk kesejahteraan masyarakat, misalnya: pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan peluang besar untuk mengelola wilayahnya sendiri, perkembangan Kota Surabaya yang cukup pesat menarik Kabupaten Sidoarjo sebagai wilayah penyangga (kawasan permukiman, dan pariwisata, maupun sebagai pendukung pengembangan industri). Di samping itu kemampuan Sidoarjo dalam mengekspor produk perikanan dan hasil industri merupakan peluang yang cukup besar, mengingat pasar ekspor kedua produk tersebut masih terbuka untuk dikembangkan.
Melihat ancaman dan peluang di atas, kekuatan yang terutama dimiliki oleh Kabupaten Sidoarjo adalah: sumberdaya manusia (agamis, berkualitas, dan jumlah yang besar sebagai angkatan kerja), posisi strategis, infrastruktur wilayah yang memadai, dokumen perencanaan yang tersedia, dan dominasi sektor industri dalam perekonomian wilayah.
Beberapa kelemahan yang menonjol adalah: kesiapan aparat pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi daerah, dan sebagian masyarakat yang menolak beberapa aktivitas jasa.

Saran
Perlu dipahami pentingnya daya saing dan upaya peningkatannya melalui penyatuan visi sehingga upaya daya saing merupakan satu gerak dan langkah yang sama dilakukan oleh pemerintah kalangan dunia usaha maupun masyarakat luas. Misalnya dibentuk forum bersama atau Dewan Daya Saing Wilayah yang berupaya untuk meningkatkan daya saing wilayah.
Upaya peningkatan kemampuan pembiayaan harus terus dilakukan, misalnya meningkatan aktivitas di sektor perdagangan dan jasa, serta kerjasama pengelolaan dengan Perum Angkasa Pura (Bandara Juanda) dan Pemerintah Kota Surabaya (terminal Purabaya Bungurasih).
Demikian juga peningkatan ekspor sektor industri maupun subsektor perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan perlu terus dilakukan.
Dalam jangka panjang, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, melalui peningkatan tingkat pendidikan, derajat kesehatan maupun daya beli masyarakat, akan mampu mengangkat Kabupaten Sidoarjo sebagai wilayah yang mempunyai daya saing tinggi yang didukung oleh kegiatan ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge base economy), aktivitas ekonomi yang mengandalkan kualitas dan keunggulan sumberdaya manusia.

Analisis Daya Saing Teknologi di Era Otonomi Daerah

Provinsi Banten merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang lahir di era reformasi melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 tanggal 17 Oktober 2000. Dasar pemikiran terbentuknya Provinsi Banten adalah pesatnya perkembangan dan kemajuan Provinsi Jawa Barat. Pada saat pembentukannya, Provinsi Banten terdiri dari 6 kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon dengan ibukota provinsi berada di Kabupaten Serang.
Terbentuknya Provinsi Banten hampir bersamaan dengan pemberlakuan desentralisasi dan otonomi daerah di seluruh wilayah Indonesia yang pelaksanaanya dimulai bulan Januari tahun 2001. Dengan status sebagai provinsi baru, Provinsi Banten memiliki keterbatasan kemampuan manajemen dan kelembagaan. Di era desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah daerah (pemda) dituntut untuk mandiri mengelola pembangunan daerah dan mengurangi kesenjangan antar daerah yang terlalu tinggi dengan cara peningkatan daya saing daerah.

Permasalahan
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh BPPT (2002) tentang hasil pemeringkatan Indeks Daya Saing Wilayah (IDSW) berdasarkan perspektif teknologi untuk 119 kabupaten/kota Jawa-Bali, menunjukkan bahwa tiap-tiap kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten terletak pada kuadran yang berbeda-beda bila ditinjau dari posisi kemampuan teknologi (vertikal) dan iklim teknologi (horizontal). Posisi kuadran 1 merupakan posisi ideal, posisi kuadran 2 dan posisi kuadran 4 membutuhkan upaya tambahan untuk menuju kudran 1 dan terdapat 3 alternatif dari posisi kuadran 3 untuk menuju kuadran 1, yaitu (a) kuadran 3 melalui kuadran 2 menuju kuadran 1, (b) kuadran 3 melalui kuadran 4 menuju kuadran 1 dan (c) dari kuadran 3 langsung ke kuadran 1.
Posisi kuadran 3 ini membutuhkan usaha dan dana yang lebih besar dibandingkan kedua alternatif lainnya. Berdasarkan studi tersebut, terdapat 2 daerah yang berada di kuadran 3, yaitu Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang. Sedangkan Kota Tangerang terletak di kuadran 1, Kabupaten Tangerang terletak di kuadran 2, serta Kabupaten Lebak dan Kota Cilegon terletak di kuadran 4.

Tujuan dan Sasaran
Penentuan posisi kuadran tersebut diharapkan dapat lebih mempermudah pemda untuk menentukan strategi agar tiap-tiap kabupaten/kota dapat berkembang sesuai potensi dan kemampuannya melalui peningkatan daya saing wilayah, dalam hal ini berdasarkan perspektif teknologi. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu usaha ke arah peningkatan daya saing wilayah dalam perspektif teknologi.
Posisi daerah di kuadran 3 merupakan posisi yang cukup sulit, selain karena yang telah disebutkan di atas juga karena orientasinya yang memihak pada kondisi yang lemah dan terancam. Oleh karena itu untuk Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang yang berada di kuadran 3 perlu adanya analisis lebih lanjut bagaimana strategi menuju kuadran 1. Seperti telah diketahui bahwa daerah yang berada di kuadran 3 memiliki 3 alternatif untuk menuju kuadran satu. Sebaiknya apakan ada perbedaan strategi antar kedua kabupaten/kota yang ada di kuadran 3.
Sebagai acuan untuk menentukan strategi yang lebih baik, potensi dan kondisi kabupaten/kota yang berada di kuadran 3 dibandingkan dengan daerah yang berada di kuadran 1 yaitu Kota Tangerang.
Ditinjau dari posisi daerah, kabupaten/kota di Provinsi Banten berada diantara Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat. Apakah ada perbedaan IDSW secara signifikan antara kabupaten/kota yang berdekatan dengan Provinsi DKI Jakarta dan kabupaten/kota yang berdekatan dengan Provinsi Jawa Barat. Dengan asumsi bahwa kedekatan posisi wilayah dapat mempercepat dan mempermudah mobilitas ataupun transfer teknologi bagi Provinsi Banten.

Ruang Lingkup
Penelitian ini sebatas pembahasan dan analisis yang berkaitan dengan perspektif teknologi yang mendukung daya saing wilayah. Dari keempat bagian dari konsep dasar pembangunan wilayah berbasis teknologi (ditinjau dari kandungan teknologi, status teknologi, kemampuan teknologi dan iklim teknologi), hanya dibahas dari sudut kemampuan dan iklim teknologi. Keterbatasan ini dikarenakan ketersediaan data dan informasi.

Bahan dan Metode
Data yang digunakan merupakan data dari Biro Pusat Statistik, Departemen Perhubungan, Balitbang Departemen Pendidikan Nasional, PT. Telkom dan PT. PLN untuk tahun yang tertentu, yaitu tahun 2000. Data tersebut terdiri atas (i) Data Potensi Desa, (ii) Kabupaten/Kota dalam Angka, (iii) Provinsi Banten dalam Angka, (iv) Statistik Keuangan Daerah, (v) Statistik Lingkungan Hidup, (vi) data telekomunikasi, (vii) data kelistrikan dan (viii) data pendidikan.
Adapun perhitungan indeks yang digunakan secara statistik dengan cara menormalkan data variabel-variabel kemampuan dan iklim teknologi. Penentuan variabel-variabel kemampuan dan iklim teknologi berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tim studi BPPT.
Besarnya kemampuan teknologi suatu daerah dihitung dengan cara menentukan nilai rata-rata dari variabel-variabel faktor kemampuan teknologi. Begitu juga cara menentukan besarnya iklim teknologi, yaitu menentukan nilai rata-rata dari variabel-variabel faktor iklim teknologi
Selanjutnya perhitungan indeks daya saing wilayah berdasarkan nilai rata-rata antara nilai kemampuan teknologi dan nilai iklim teknologi.
Untuk menunjang analisis indeks daya saing tersebut, dianalisis juga gambaran umum tentang masing-masing kabupaten/kota yang berkaitan dengan daya saing wilayah.
Analisis indeks daya saing wilayah dalam perspektif teknologi dilakukan untuk daerah yang berada di kuadran 3, yaitu Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang. Agar mengetahui kelemahan daerah yang berada di kuadran 3, perlu diperbandingkan dengan daerah yang berada di kuadran 1, yaitu Kota Tangerang. Selanjutnya ingin diketahui pula kesesuaian kondisi tiap-tiap kabupaten/kota dengan kebijakan-kebijakan pemda.
Meskipun metodologi yang digunakan relatif sederhana bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh tim studi BPPT, namun analisis yang ada lebih luas pembahasannya untuk tiap-tiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Selain itu penentuan angka indeks di penelitian ini membandingkan diantara 3 provinsi, untuk mengetahui pengaruh kedua provinsi tersebut terhadap kabupaten/kota di Provinsi Banten, dalam hal ini berkaitan dengan pengaruh iklim teknologi.


Penelitian Sebelumnya
Berbeda dengan hasil pemeringkatan yang telah dilakukan oleh tim strudi BPPT, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) melakukan pemeringkatan kabupaten/kota berdasarkan daya tarik investasi untuk 134 kabupaten/kota tahun 2002 di Indonesia. Dari 6 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Banten hanya dianalisis 4 kabupaten/kota. Kota Tangerang di peringkat 6, Kabupaten Tangerang di peringkat 30, Kabupaten Serang di peringkat 57 dan Kabupaten Lebak di peringkat 75.
Berdasarkan hasil analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen (LPEM) UI menunjukkan bahwa hasil analisis internal untuk kelemahan adalah (a) tingginya angka kemiskinan; (b) terbatasnya kemampuan dan tenaga kerja profesionalisme pengelolaan pendapatan daerah, manajemen dan kelembagaan; (c) lemahnya struktur kelembagaan dan aparatur pemerintah dan (d) kesadaran masyarakat yang kurang dalam kegiatan pembangunan. Kekuatan dari faktor internal ditinjau besarnya dampak dari sektor-sektor perekonomian terhadap peningkatan pembangunan daerah adalah sektor pertanian. Adapun faktor eksternal yang merupakan kesempatan bagi pembangunan ekonomi adalah pemberlakuan desentralisasi dan otonomi daerah serta perbaikan sarana prasarana transportasi serta perekonomian Provinsi Banten. Sedangkan dari sisi ancaman berupa dampak pencabutan subsidi dan fluktuasi nilai tukar rupiah.


Hasil dan Pembahasan

Wilayah Geografis
Posisi geografis Provinsi Banten berada antara 507’50” – 701’11” LS dan 10501’11” –106012’ BT dengan luas wilayah 9.160,70 km2. Batas wilayah sebelah utara oleh Laut Jawa, sebelah barat dengan Selat Sunda serta di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sehingga wilayah ini mempunyai sumberdaya laut yang potensial. Terdapat sekitar 50 pulau di Kepulauan Seribu yang termasuk wilayah Provinsi Banten. Letak geografis yang ada sangat mendukung untuk perkembangan agribisnis. Ditinjau dari penggunaan lahan, sebagian besar lahan dipergunakan untuk kebun campuran, persawahan dan tegalan.
Ekosistem wilayah Banten pada dasarnya terdiri dari sawah irigasi teknis dan setengah teknis, pemukiman, industri, bukit-bukit bergelombang serta hutan rakyat yang tidak terlalu produktif. Saat musim penghujan cuaca didominasi oleh angin barat. Pada musim kemarau, cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian selatan. Sebaran air permukaan dilihat dari jumlah dan penyebaran situ-situ yang ada. Jumlah situ secara keseluruhan di Provinsi Banten ada 70 buah dengan luas 2.400 ha.
Topografi perbukitan bergelombang sedang dengan kemiringan lereng 15-25 persen mencakup wilayah Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten dan Kota Tangerang serta bagian utara Kabupaten Pandeglang. Sedangkan topografi perbukitan terjal dengan kemiringan lereng lebih dari 25 persen terdapat di Kabupaten Lebak dan sebagian kecil Kabupaten Pandeglang bagian selatan.

Wilayah Administratif
Provinsi Banten memiliki wilayah seluas 9.160,70 km2, yang terbagi menjadi 4 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Dari keenam kabupaten/kota, Provinsi Banten terdiri dari 207 kecamatan, 1.432 desa dan 144 kelurahan.

Ekonomi
Besarnya PDRB suatu daerah merupakan salah satu indikator untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembangunan suatu daerah. Sektor produksi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB di Provinsi Banten tahun 2002 adalah sektor industri pengolahan (49,87 persen). Sektor perdagangan, hotel dan restauran memberikan kontribusi terbesar kedua sebesar 18,12 persen. Dibandingkan dengan tahun 2000, sektor industri pengolahan mengalami penurunan sebesar 0,54 persen dan kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restauran mengalami kenaikan 0,76 persen.
Urutan dari yang terbesar ke yang terkecil berdasarkan peringkat investasi sektor pertanian di Provinsi Banten berdasarkan angka indeks pertanian adalah Kabupaten Lebak 0,47; Kabupaten Pandeglang 0,28; Kabupaten Serang 0,12; Kabupaten Tangerang 0,12 dan Kota Tangerang 0,01.
Selain sektor pertanian, Kabupaten Pandeglang juga memiliki potensi pembangunan pada wilayah pesisir dan lautnya. Sumber daya bawah tanah yang berpotensi untuk dikembangkan adalah pertambangan emas di Kecamatan Cimanggu. Berdasarkan analisis eksternal wilayah, sesuai dengan rencana dan arahan pengembangan Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang akan dijadikan sebagai kawasan sentra industri kecil dan menengah berbasis pertanian.
Potensi investasi Industri di Kabupaten Serang dialokasikan di dua zona industri, yaitu Zona Industri Serang Timur seluas ± 15.000 ha dan di Serang Barat seluas ± 4.000 ha. Peruntukan Zona Industri Serang Timur adalah industri yang bersifat padat karya, selain Zona Industri Serang Barat yang prospektif. Selain itu banyak obyek wisata daerah pantai dan cagar alam.
Selain berpotensi tinggi untuk pertanian karena kesuburan tanahnya, Kabupaten Lebak memiliki potensi sejumlah bahan tambang. Kabupaten Lebak merupakan wilayah yang berbukit-bukit dan terletak di daerah pegunungan menyebabkan Kabupaten Lebak dikenal sebagai wilayah perkebunan. Kabupaten Lebak dikenal sebagai perkebunan kelapa sawit terluas di Pulau Jawa.
Kabupaten Tangerang merupakan salah satu daerah limpahan aktifitas dari Provinsi DKI Jakarta yaitu berupa limpahan industri, pemukiman, perkantoran dan infrastruktur jalan serta kereta api.
Potensi Kota Tangerang terletak pada sektor industri, pariwisata, budaya dan sektor perhubungan. Keberadaan bandara Soekarno-Hatta merupakan potensi besar bagi Kota Tangerang untuk mengembangkan sektor industri dan perdagangan.
Kota Cilegon merupakan salah satu daerah andalan bagi Provinsi Banten dalan sektor industri yang berskala nasional maupun yang sudah berorientasi ekspor.
Ditinjau dari segi perekonomian, persentase jumlah desa tertinggal dengan urutan tiga terbesar adalah Kabupaten Lebak sebesar 63,33 persen, Kabupaten Pandeglang sebesar 51,34 persen, Kabupaten Serang terdapat 35,92 persen.

Penduduk dan Tenaga Kerja
Jumlah penduduk di Provinsi Banten tahun 2001 berdasarkan hasil SUSENAS 2001 pada keadaan bulan Februari 2001 adalah 8.258.055 jiwa dan mayoritas beragama Islam dengan akar spiritual yang kuat. Sebagai daerah yang terbuka bagi setiap warga, di Banten terdapat pula warga negara asing yang sebagian besar warga asing asal Cina dari keturunan RRC dan Taiwan (71,96 persen).
Angka ketergantungan (dependency ratio) adalah perbandingan jumlah penduduk usia non produktif dan jumlah penduduk produktif. Pada tahun 2000 angka ketergantungan untuk Kabupaten Lebak sebesar 72,66 persen, Kabupaten Pandeglang sebesar 70,42 persen, Kota Tangerang sebesar 47,14 persen, Kabupaten Serang sebesar 40,15, Kabupaten Tangerang sebesar 35,74 persen dan Kota Cilegon sebesar 34,86 persen.
Angka melek huruf pada tahun 1999 untuk Tangerang 88,7 persen; Lebak 90,8 persen, Serang 92,2 persen Pandeglang 93,2 persen dan Kota Tangerang 94,3 persen. Rata-rata lama sekolah pada tahun 1999 untuk Kota Tangerang 8,8 tahun, Tangerang 6,6 tahun, Serang 5,9 tahun, Lebak 5,5, tahun dan Pandeglang 5,3 tahun. Dibandingkan dengan tahun 1996, baik untuk angka melek huruf maupun rata-rata lama sekolah di tahun 1999 untuk semua kabupaten/kota mengalami kenaikan.
Sebagian besar penduduk Banten (tahun 2000), sebesar 780.217 jiwa (25,37 persen), bekerja di sektor pertanian dan paling sedikit bekerja pada sektor listrik, gas dan air. Penduduk tersebut sebagian besar berada di Kabupaten Lebak (68,45 persen), Kabupaten Pandeglang (51,33 persen) dan Kabupaten Serang (34 persen). Penduduk yang bekerja di pertambangan dan penggalian paling banyak ada di Kabupaten Lebak. Adapun daerah yang sudah berorientasi pada kegiatan industri seperti Kota Tangerang (34,65 persen), Kabupaten Tangerang (28,78 persen) dan Kota Cilegon (28,50 persen) dengan jumlah penduduk yang pada umumnya bekerja di sektor industri. Selain itu, Kabupaten Tangerang penduduknya paling banyak bekerja di sektor perdagangan, hotel, restauran, angkutan, bank dan jasa lainnya.
Secara umum jumlah angka pengangguran di Provinsi Banten relatif kecil, hal ini ditunjukkan oleh persentase jumlah penduduk bekerja terhadap angkatan kerja yang cukup besar yaitu 95,73 persen.
Ditinjau berdasarkan persentase jumlah penduduk miskin (tahun 2002), terdapat kecenderungan bahwa daerah yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor industri memiliki persentase penduduk miskin yang kecil, seperti Kota Tangerang (0,4 persen), Kabupaten Tangerang (6,07 persen) dan Kota Cilegon (6,47 persen). Dibandingkan dengan tahun 1999, daerah yang mengalami penurunan persentase penduduk miskin terbesar adalah Kabupaten Pandeglang dari 20,51 persen menjadi 6,70 persen.
Gini rasio menunjukkan suatu ukuran statistik tentang distribusi pendapatan yang bernilai 0 sampai 1. Nilai 1 mengindikasikan kesenjangan pendapatan sempurna, sedangkan nilai 0 mengindikasikan distribusi pendapatan merata sempurna. Gini rasio untuk kabupaten/kota di Provinsi Banten dengan peringkat terbesar adalah Kabupaten Serang (0,252), Kota Cilegon sebesar (0,244), Kabupaten Pandeglang sebesar (0,226), Kabupaten Tangerang (0,222), Kabupaten Lebak (0,211) dan Kota Tangerang (0,190)

Sarana dan Prasarana
Daya tampung SMP tidak seimbang dengan jumlah lulusan SD. Jumlah lulusan SD sebesar 190 ribu siswa, sedangkan daya tampung SLTP baik negeri maupun swasta sebesar 117 ribu siswa. Sampai dengan tahun 2001, sarana pendidikan Sekolah Dasar (SD) sudah memadai untuk menampung penduduk usia sekolah dengan jumlah sekolah 894 sekolah yang tersebar di 22 kecamatan. Walaupun jumlahnya masih terbatas, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) sudah tersebar di tiap-tiap kecamatan, begitu juga dengan sarana pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Perguruan Tinggi yang ada di Provinsi Banten adalah Untirta, Unis, IAIB, STAIN, STIA dan AMIK
Sarana pembangunan transport yang ada berupa jaringan jalan darat. Selama kurun waktu sampai tahun 2000, jalan darat dalan kondisi baik 36,22 persen dan 34,54 persen rusak berat. Mengingat fungsi jalan memegang peranan penting dalam memacu peningkatan perekonomian masyarakat, maka jalan dengan kondisi rusak dilakukan rehabilitasi dan pemeliharaan.
Sebagai daerah yang paling padat penduduknya, Kota Tangerang tidak memiliki keseimbangan yang memadai antara pertumbuhan panjang jalan dan pertumbuhan kendaraan. Pertumbuhan kendaraan pada tahun 2000 sebesar 5-10 persen, sedangkan panjang jalan hanya 0,2-0,5 persen

Kebijakan Pemerintah Daerah
Visi dari Pemerintah Provinsi Banten adalah iman dan taqwa, landasan pembangunan menuju Banten mandiri, maju dan sejahtera. Terdapat 8 misi Pemerintah Provinsi Banten, yaitu (1) menyiapkan landasan pembangunan dan sistem kepemerintahan yang kokoh serta memantapkan pelaksanaan otonomi daerah; (2) mewujudkan kepemerintahan yang baik (Good Governance) dan pemerintahan yang bersih (Clean Goverment) yang didukung oleh penegakan supremasi hukum; (3) meningkatkan sumberdaya manusia dan kemandirian masyarakat serta pemasyarakatan IPTEK; (4) menggalang semangat kebersamaan dan solidaritas untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan; (5) mendorong pensinergian keanekaragaman potensi untuk mengoptimalkan dan percepatan pembangunan; (6) meningkatkan partisispasi aktif dan kemitraan yang sinergis seluruh komponen pelaku pembangunan (stakeholders); (7) mewujudkan pembangunan dan berkelanjutan yang berkeadilan dan merata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan; (8) menumbuhkembangkan budaya Banten dan kehidupan masyarakat Provinsi Banten yang agamis.

Kebijakan Pembangunan
Terdapat enam core bisnis Provinsi Banten, yaitu: sumberdaya manusia, bidang kelautan, agribisnis, industri, pariwisata dan jasa. Potensi sektor pariwisata didukung oleh kondisi alam dan juga didukung oleh seni budaya debus, patingtung, ubrug, syaman, belerk, terbang gede, wawaca, mawalan, rudat dan gacle.
Berkaitan dengan peningkatan sumberdaya manusia, Provinsi Banten mendapatkan block grant atau dana hibah dari pemerintah pusat melalui APBN untuk 116 sekolah, termasuk pembangunan 6 unit sekolah baru. Dana hibah tersebut disebut Workshop Subsidi Imbal Swadaya Sekolah. Selain itu diluncurkan program pendidikan ketrampilan pasca SLTA dan SLTP yang tidak lulus UAN (Ujian Akhir Negara). Program tersebut disebut Community College di setiap kabupaten/kota. Program tersebut mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat berupa biaya pendidikan murah. Program tersebut berupa kursus komputer dan bahasa Inggris berlokasi di SMKN 1 Serang dan kursus otomotif di SMKN 2 Serang.

Strategi Kebijakan
Strategi pembangunan untuk PROPEDA secara umum bertujuan untuk (1) menata pemanfaatan SDA yang sesuai untuk komoditas unggulan dan daya dukungnya; (2) menyiapkan tenaga terampil di bidang agribisnis, agrowisata dan kepariwisataan; (3) mengoptimalkan obyek wisata; (4) menggali potensi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi PAD; (5) membuka peluang usaha bagi masyarakat dan swasta dalam mengembangkan potensi daerah; (6) menggalakan mitra usaha dengan swasta terutama untuk pemasaran; (7) meningkatkan setiap aparatur untuk meningkatkan kualitas baik melalui pendidikan formal maupun non formal; (8) menegakkan supremasi hukum; (9) pelestarian lingkungan; (10) menjaga kelestarian keaneragaman sumberdaya hayati; (11) meningkatkan derajat kesehatan masyarakat; (12) mengendalikan kuantitas dan meningkatkan kualitas penduduk melalui pemberdayaan keluarga; (13) meningkatkan pendidikan dasar masyarakat, dan (14) meningkatkan kualitas jalan dengan melibatkan partisipasi swasta/investor dan masyarakat.
Strategi daerah dihadapkan untuk mempertahankan swasembada pangan, mencapai swasembaga palawija, meningkatkan kemampuan sektor-sektor produktif lain agar struktur pertumbuhan ekonomi yang seimbang. Pengembangan sektor pariwisata, sektor lingkungan hidup, sektor perhubungan, sektor pertambangan, sektor jasa, sektor industri didukung pembangunan pertanian yang tangguh dan secara bertahap dipancangkan tonggak pembangunan industri non pertanian serta pengembangan sub sektor peternakan.


Posisi Strategis Daerah

Analisis IDSW Provinsi di Pulau Jawa
Daya saing suatu wilayah dalam perspektif teknologi ditentukan oleh posisi strategis wilayah tersebut. Posisi strategis tersebut ditentukan oleh lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Lingkungan internal berupa kemampuan teknologi, sedangkan lingkungan eksternal berupa iklim teknologi.
Kemampuan teknologi adalah kemampuan suatu wilayah untuk mengembangkan teknologinya sendiri serta mengasimilasikan berbagai jenis teknologi impor. Indikator kemampuan teknologi berupa (1) profil sumberdaya alam; (2) profil sumberdaya manusia dan (3) profil infrastruktur teknologi. Adapun iklim teknologi adalah faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi komponen teknologi (technoware, humanware, infoware, orgaware) dan tingkatan (perusahaan, industri, sektor dan spasial) pengkajian. Indikator iklim teknologi terdiri dari (1) perkembangan sosial ekonomi wilayah; (2) keadaan prasarana fisik dan jasa pendukung; (3) ketersediaan personil iptek dan pengeluaran untuk litbang; (4) skenario iptek dalam sistem produksi dan (5) tingkat inovasi di industri dan komitmen makro dalam pengembangan iptek (Lampiran, Tabel 6.4).
Berdasarkan hasil pengolahan data untuk menentukan IDSW dalam perspektif teknologi provinsi-provinsi di Pulau Jawa menunjukkan bahwa dari keenam provinsi yang ada, Provinsi Banten berada di urutan ke 5 (Tabel 6.1). Ternyata kedua provinsi yang berbatasan dengan Provinsi Banten berada pada peringkat IDSW yang ekstrem, Provinsi DKI Jakarta berada pada peringkat tertinggi dan Provinsi Jawa Barat berada di peringkat terendah.
Diketahui pula bahwa IDSW perspektif teknologi keenam provinsi yang dianalisis lebih banyak dipengaruh oleh iklim teknologi dari pada kemampuan teknologi. Berdasarkan rasio antara kemampuan teknologi dan iklim teknologi provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Provinsi Banten (0,74) berada pada posisi terendah kedua setelah Provinsi DI Yogyakarta (0,68).

Analisis IDSW Kabupaten/Kota di Provinsi Banten
Peringkat IDSW dalam perspektif teknologi kabupaten/kota di Provinsi Banten dari yang terbesar adalah Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh KPPOD (2002), diantara keempat kabupaten/kota (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak) terdapat kesamaan urutan besarnya pemeringkatan antara indeks daya tarik investasi dan indeks daya saing wilayah dalam perspektif teknologi.
Ada kecenderungan bahwa bila daerah yang letaknya berdekatan dengan provinsi yang memiliki IDSW yang tinggi (DKI Jakarta), misalnya Kota Tangerang, maka daerah tersebut memiliki nilai IDSW yang tinggi pula. Sedangkan daerah yang letaknya dekat dengan provinsi yang berindeks rendah (Jawa Barat), misalnya Kabupaten Lebak, daerah tersebut memiliki nilai IDSW yang rendah pula .

Kota Tangerang (Posisi kuadran 1)
Sebagai daerah yang menempati urutan tertinggi IDSW dan berada di kuadran pertama, Kota Tangerang relatif lebih banyak dipengaruhi oleh iklim teknologi (Tabel 6.2). Dibandingkan dengan kabupaten/kota di Provinsi Banten, variabel rasio PAD per pengeluaran rutin dan variabel rasio penjualan barang modifikasi per total penjualan barang yang dominan mempengaruhi iklim teknologi. Variabel pertama menunjukkan kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kemampuan SDM (pegawai pemerintah), semakin tinggi rasio maka semakin besar dana (PAD) yang tersedia untuk meningkatkan kemampuan berteknologi pegawai pemerintah. Sedangkan variabel kedua menunjukkan nilai tambah dari proses poduksi untuk Kota Tangerang yang merupakan daerah industri.
Baik persentase rata-rata rasio pengeluaran SDM per pengeluaran pembangunan, maupun persentase rasio rata-rata pengeluaran IPTEK per pengeluaran pembangunan dibandingkan dengan kabupaten/kota lain berada di posisi terendah. Meskipun demikian angka melek huruf sangat besar (94,3 persen) dengan rata-rata lama bersekolah sudah memenuhi program wajib belajar 9 tahun.
Dapat dikatakan bahwa ada kemampuan untuk meningkatkan SDM di lingkungan pemerintah daerah, namun kemauan pihak pemerintah untuk memfasilitasi peningkatan SDM bagi masyarakat relatif kurang mendapat perhatian.

Dengan angka ketergantungan yang rendah (47,14 persen) dan gini rasio 0,19 untuk masyarakat dengan jumah penduduk miskin yang relatif sedikit (0,4 persen), memungkinkan bagi masyarakat yang mayoritas bekerja di sektor industri dan perdagangan (kontribusi sektor industri pengolahan sebesar 53,61 persen terhadap PDRB) untuk meningkatkan SDM atau pengetahuan IPTEK atas swadaya masyarakat. Hal ini ditandai banyak bermunculan sekolah-sekolah swasta yang banyak diminati oleh masyarakat.

Kabupaten Serang (Posisi kuadran 3)
Meskipun hanya menduduki urutan ketiga terbesar tingkat IDSW, hanya Kabupaten Serang yang lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan teknologi (lingkungan internal) dari pada oleh iklim teknologi (lingkungan eksternal). Dari keempat belas variabel kemampuan teknologi, variabel yang dominan tersebut adalah (i) rasio luas non sawah untuk pertanian per luas wilayah dan (ii) rasio luas sawah per luas wilayah (kelompok variabel profil SDA), (iii) variabel rata-rata lama bersekolah (kelompok variabel SDM) dan (iv) variabel rasio anggaran IPTEK per pengeluaran pembangunan (kelompok variabel infrastruktur teknologi).
Dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi banten, nilai indeks variabel lama bersekolah untuk Kabupaten Serang paling tinggi. Besarnya variabel rata-rata lama bersekolah tersebut dimungkinkan karena sarana dan prasarana pendidikan yang cukup baik di Kabupaten Serang yang didukung adanya program community college.
Arah kebijakan dan perhatian pemerintah daerah terhadap peningkatan SDM dan IPTEK ikut mendukung kondisi ini. Pernyataan ini ditunjukkan oleh rata-rata rasio pengeluaran IPTEK per pengeluaran pembangunan dari tahun 1994 sampai tahun 2002. Persentase rata-rata rasio tersebut untuk Kabupaten Serang mempunyai nilai tertinggi dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten. Persentase rasio pengeluaran IPTEK per pengeluaran pembangunan dari tahun 1994 –2002 berkisar antara 2,15–2,86 persen (gambar 2). Hanya pada tahun 2001, rasio tersebut mengalami penurunan yang tajam (0,87 persen), namun mengalami kenaikan lagi pada tahun 2002 (2,63 persen).

Gambar 6.2. Persentase Pengeluaran SDM per Pengeluaran Pembangunan

Adapun persentase rata-rata rasio pengeluaran untuk pendidikan, kebudayaan, kepercayaan terhadap Tuhan YME, pemuda dan olah raga (SDM) per pengeluaran pembangunan Kabupaten Serang berada di atas nilai rasio Provinsi Banten (Tabel 6.2). Gambar tersebut menunjukkan bahwa persentase rasio pengeluaran SDM per pengeluaran pembangunan dari tahun 1994 –2002 berkisar antara 9,71 –16,54 persen.


Kabupaten Pandeglang (Posisi kuadran 3)
Berbeda dengan Kabupaten Serang yang juga berada di kuadran 3, dimana nilai IDSW untuk Kabupaten Serang banyak
dipengaruhi oleh kemempuan teknologi, nilai IDSW Kabupaten Pandeglang lebih banyak dipengaruhi oleh iklim teknologi. Variabel-variabel iklim teknologi yang berpengaruh besar terhadap IDSW Kabupaten Pandeglang adalah (i) rasio rumah tangga yang tidak memiliki surat miskin per total rumah tangga, (ii) rasio penjualan barang modifikasi per total penjualan barang dan (iii) rasio anggaran pendidikan per total pengeluaran pembangunan.
Meskipun angka melek huruf relatif tinggi (93,2 persen), namun rata-rata lama bersekolah masih rendah (5,3 tahun). Pada tahun 2000 variabel rasio anggaran pendidikan per total pengeluaran pembangunan mencapai angka tertinggi (100). Hal ini menunjukkan keseriusan pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan kualitas SDM. Antara tahun 1994-2000, rata-rata rasio pengeluaran SDM per pengeluaran pembangunan relatif tinggi (17,09 persen) dibandingkan kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten dan relatif rendah (0,68 persen) untuk rasio pengeluaran IPTEK per pengeluaran pembangunan (gambar 6.3).
Tingginya rasio penjualan barang modifikasi per total penjualan barang kemungkinan karena kabupaten ini banyak terdapat sentra industri kecil dan industri menengah sesuai dengan rencana pengembangan Provinsi Banten terhadap Kabupaten Pandeglang.

Kesimpulan
Peringkat IDSW dalam persepektif teknologi berdasarkan pengolahan data dengan metode penentuan peringkat dari data normal untuk 4 kabupaten/kota (Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Serang dan Kabupaten Lebak) di Provinsi Banten mempunyai urutan yang sama untuk indeks daya saing investasi yang dilakukan oleh KPPOD.
Ada kecenderungan bahwa daerah yang letaknya berdekatan dengan provinsi yang memiliki IDSW yang tinggi (DKI Jakarta), misalnya Kota Tangerang, daerah tersebut memiliki nilai IDSW yang tinggi pula. Sedangkan daerah yang letaknya dekat dengan provinsi yang berindeks rendah (Jawa Barat), misalnya Kabupaten Lebak, daerah tersebut memiliki nilai IDSW yang rendah pula . Dengan kata lain, Iklim teknologi
Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan salah satu usaha ke arah peningkatan daya saing wilayah dalam perspektif teknologi. Kebijakan Pemerintah Provinsi Banten yang berkaitah dengan kebijakan teknologi melalui peningkatan SDM tertuang dalam misi pemerintah Provinsi Banten (poin ke 3), kebijakan pembangunan (Workshop Subsidi Imbal Swadaya Sekolah dan program Community College) serta strategi kebijakan PROPEDA (poin ke 7 dan ke 13).
Posisi Kota Tangerang terletak di kuadran 1 terhadap kemampuan dan iklim teknologi diperjelas dengan tingginya angka indeks daya saing wilayah dalam perspektif teknologi (40,47). Tingginya indeks tersebut disebabkan tingginya kesadaran dan partisipasi masyarakat terutama terhadap peningkatan kualitas SDM. Hal ini disebabkan rata-rata lama bersekolah telah memenuhi program wajib belajar 9 tahun meskipun peran pemerintah daerah terhadap iptek dan peningkatan kualitas SDM di masyarakat relatif kecil. Partisipasi tersebut ditunjang oleh kemampuan ekonomi masyarakat. Bagi peningkatan kualitas SDM aparat pemerintah, pemda sesungguhnya memiliki kemampuan secara finansil.
Meskipun dari kuadran 3 bisa langsung dapat menuju kuadran 1, namun perlu dicatat bahwa strategi ini memerlukan dana lebih besar dan kendala lebih kompleks. Terdapat perbedaan strategi antara Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang untuk menuju kuadran 1. Bagi Kabupaten Pandeglang, strategi yang dipilih sebaiknya adalah melalui kuadran 2 dan selanjutnya menuju kuadran 1. Strategi ini ditempuh karena IDSW kabupaten ini lebih banyak dipengaruhi oleh iklim teknologi dari pada kemampuan teknologi.
Sedangkan IDSW Kabupaten Serang lebih banyak dipengaruhi oleh kemampuan teknologi. Strategi yang sebaiknya dipilih untuk menuju kuadran 1 adalah dari kuadran 3 melalui kuadran 4 untuk menuju kuadran 1.
Baik Pemerintah Kabupaten Serang maupun Pemerintah Kabupaten Serang, keduanya relatif besar perhatiannya terhadap pembangunan SDM dan teknologi. Berdasarkan data keuangan daerah dari tahun 1994-2002, Persentase pengeluaran Pemerintah Kabupaten Serang relatif lebih besar terhadap pembangunan IPTEK dibandingkan persentase pengeluaran terhadap pembangunan pendidikan, kebudayaan, kepercayaan, pemuda dan olah raga (SDM). Sementara pemerintah Kabupaten Pandeglang lebih perhatian terhadap pembangunan SDM dari pada pembangunan IPTEK.
Seperti kasus Kota Tangerang, selain peran dari pemerintah daerah harus ada peran serta dari pihak masyarakat. Agar masyarakat mampu berpartisipasi perlu tercapai kesejahteraan secara ekonomi. Oleh karena itu terlebih dahulu perlu membangun perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan menggali potensi daerah. Dengan demikian tingkat daya saing wilayah diharapkan dapat lebih baik.
Sesuai dengan strategi kebijakan Pemda Provinsi Banten untuk mempertahankan swasembada pangan, pembangunan perekonomian Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang diharapkan tetap berorientasi pertanian dengan tetap memperhatikan potensi-potensi lain.
Baik Kabupaten Serang maupun Kabupaten Pandeglang masih ada peluang menggali potensi daerah masing-masing. Peluang tersebut ditunjukkan oleh rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan PDRB yang nilainya kurang dari 1 persen. Rasio untuk Kabupaten Serang sebesar 0,49 persen dan Kabupaten Pandeglang sebesar 0,25 persen. Potensi Kabupaten Serang terutama sektor perikanan laut serta sektor industri kecil dan menengah. Potensi Kabupaten Pandeglang terutama sektor pariwisata dan industri padat karya.





T