Sebagai sebuah kota terbesar di Indonesia, Jakarta menyimpan berbagai fenomena perkotaan yang sangat kompleks. Di bidang ekonomi, salah satu fenomena tersebut adalah besarnya peranan sektor jasa dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Menurut data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta, pada tahun 2000 peranan sektor jasa mencapai 64,89 persen dari total PDRB Jakarta. Selebihnya, 34,80 persen merupakan sumbangan sektor industri dan 0,31 persen sektor pertanian.
Keadaan tersebut tidaklah mengherankan. Sebagai sebuah kota yang masuk kategori metropolitan, maka sudah semestinya dominasi sektor jasa cukup kuat. Kuatnya dominasi tersebut sekaligus menunjukkan bahwa sektor jasa memegang peranan utama dalam menentukan daya saing Jakarta. Kota lain di Indonesia yang perekonomiannya banyak bersandar pada sektor jasa adalah Medan dan Surabaya. Peranan sektor jasa di Kota Medan mencapai 67,16 persen dan Kota Surabaya 53,24 persen pada tahun 2000.
Namun demikian dibandingkan Medan dan Surabaya, Jakarta merupakan sebuah kawasan perkotaan yang jauh lebih besar dipandang dari berbagai ukuran. Jumlah penduduk Jakarta mencapai 8.384.853 jiwa pada tahun 2000, sementara jumlah penduduk Medan dan Surabaya secara berturut-turut adalah 1.933.771 dan 2.599.796 jiwa. PDRB Jakarta atas dasar harga berlaku pada tahun 2000 mencapai Rp.194.278.587,1 juta; sedangkan Medan Rp. 13.958.606,5 juta dan Surabaya Rp. 41.070.326,1 juta. Dalam kapasitasnya menghasilkan jasa, PDRB sektor jasa per kapita selama tahun 2000 sebesar Rp. 15.035.974,00 di Jakarta dan Rp. 4.848.408,00 di Medan serta Rp. 8.410.189,00 di Surabaya.
Sebagai konsekuensi dari kota jasa, maka kandungan ‘jasa’ dari setiap komoditas yang dikonsumsi masyarakat juga cukup tinggi. Hasil penelitian Cendron,dkk (1982) di daerah perkotaan di Perancis menunjukkan bahwa di dalam harga setiap buah brugnons yang dibayar masyarakat terdapat kandungan jasa sebesar 77,5 persen. Maksudnya biaya penanaman dan pemetikan buah brugnons tersebut hanyalah 22,5 persen dari harga yang dibayar konsumen. Selebihnya, 77,5 persen, adalah biaya conditioning, margin perantara, margin wholesale dan margin eceran. Hasil penelitian Cendron, dkk, untuk kemeja menunjukkan bahwa di dalam harga kemeja yang dibayar masyarakat, 57,6 persen adalah biaya jasa. Beberapa tahun sebelumnya Lalond, dkk (1970) melakukan penelitian di USA untuk barang-barang manufaktur. Hasilnya menunjukkan bahwa 52 persen dari harga yang dibayar masyarakat (konsumen) merupakan biaya jasa.
Contoh-contoh di atas memberikan gambaran bahwa sebagian besar penduduk kota bekerja di sektor jasa, apakah itu perdagangan, pengangkutan, pergudangan, keuangan, dan jasa-jasa lainnya. Untuk Jakarta, jumlah tenaga kerjanya adalah 3.426.731 orang, sebanyak 2.188.050 orang diantaranya atau 63,85 persen bekerja di sektor jasa.
Fenomena ekonomi lain mengenai Jakarta adalah terdapatnya kesenjangan pendapatan antara kelompok berpendapatan rendah dan tinggi. Dari data BPS DKI Jakarta terungkap bahwa pada tahun 2000, kelompok 40 persen rumah tangga termiskin di Jakarta memperoleh bagian 10,39 persen dari total pendapatan disposabel (disposable income), sedangkan kelompok 20 persen rumah tangga terkaya menikmati 62,56 persen. Jika yang diperbandingkan adalah kelompok 10 persen terbawah dan teratas, maka kelompok 10 persen rumah tangga termiskin menerima 1,67 persen dan kelompok 10 persen rumah tangga terkaya menikmati 49,14 persen bagian dari total pendapatan disposabel Jakarta. Artinya, dalam ukuran total pendapatan rumah tangga terkaya sama dengan 29,38 kali pendapatan rumah tangga termiskin.
Dalam ukuran rata-rata, pendapatan per kapita kelompok 10 persen rumah tangga termiskin adalah Rp.1.691.380,00 dan kelompok 10 persen rumah tangga terkaya adalah Rp.83.532.200,00 per tahun. Dengan demikian pendapatan per kapita 10 persen rumah tangga terkaya sekitar 49,39 kali pendapatan per kapita 10 persen rumah tangga termiskin.
Permasalahan
Dari latar belakang di atas dapat disarikan bahwa disamping memiliki ciri sebagai kota jasa, Jakarta juga menanggung beban ketimpangan pendapatan. Inilah pokok permasalahan penelitian yang akan dikaji. Selanjutnya dari pokok permasalahan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Adakah hubungan antara besarnya peranan sektor jasa dengan timpangnya distribusi pendapatan di Jakarta?
2) Seberapa besar kontribusi sektor jasa terhadap pendapatan keluarga miskin dan kaya di Jakarta?
3) Kebijakan apa yang bisa diterapkan terhadap sektor jasa untuk mengurangi ketimpangan pendapatan di Jakarta?
Tujuan, Ruang Lingkup dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menjawab permasalahan-permasalahan di atas. Langkah-langkah yang dilakukan untuk itu adalah merumuskan batasan sektor jasa itu sendiri, melihat peranannya selama ini di Jakarta dan melakukan analisis terhadap perkembangan sektor jasa dikaitkan dengan kualitas distribusi pendapatan.
Kerangka analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) yang lebih dikenal dengan nama Social Accounting Matrix (SAM). Pemilihan SNSE sebagai kerangka analisis karena kemampuannya menangkap kaitan-kaitan kegiatan ekonomi secara menyeluruh sampai pada kelompok-kelompok rumah tangga yang terlibat. Hal ini akan sangat membantu dalam melakukan analisis distribusi pendapatan.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam perumusan kebijakan ekonomi di Jakarta dengan memberikan ruangan bagi berkembangnya sektor jasa yang secara alamiah memang akan berkembang pesat, dengan tidak meninggalkan aspek distribusi pendapatan yang lebih merata. Dengan demikian maka, lebih dari sekedar menjadi kota jasa, Jakarta dapat diharapkan menjadi kota jasa yang berkualitas.
Sektor Jasa dalam Struktur Ekonomi Jakarta
Komponen Sektor Jasa
Dalam sebuah daftar PDRB yang terbagi atas banyak sektor, sektor-sektor mana saja yang tergolong sektor jasa? Sebelum menentukan sektor-sektornya, penelitian ini berusaha memberi batasan terlebih dahulu mengenai sektor jasa. Sektor jasa dapat diartikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan ‘pelayanan’ bagi konsumennya. Bedakan misalnya dengan sektor industri yang menghasilkan ‘barang’ olahan—yang diubah dari berbagai bahan baku atau bahan dasar. Memang, dalam menghasilkan pelayanan, sektor jasa tidak jarang harus menghasilkan juga ‘barang’ olahan. Namun demikian barang yang dihasilkan tersebut hanyalah sebagai pelengkap, sedangkan tujuan utamanya adalah memberikan pelayanan.
Sejalan dengan itu Pangestu Subagyo (2000) menyebutkan bahwa jasa wujudnya tidak mudah diketahui tetapi dapat dirasakan, biasanya dilengkapi dengan barang sebagai penyampai atau penghantar jasa. Riddle (1986) lebih menekankan pada waktu dan tempat yang dipersembahkan (dikorbankan) oleh penjual untuk memberikan kepuasan bagi pembeli, sebagai ciri dari sektor jasa. Sedangkan Chase dan Aquilano (1989) menguraikan sektor-sektor yang termasuk dalam kegiatan jasa adalah: jasa keuangan, jasa pemerintahan, jasa komunikasi, jasa transportasi, jasa pendidikan, restoran, perdagangan besar dan eceran, hotel dan penginapan, serta jasa hiburan.
Berdasarkan batasan dan referensi di atas, dengan memperhatikan kebiasaan pendataan statistik di Indonesia, maka sektor-sektor yang masuk dalam kategori sektor jasa yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sebagaimana tercantum dalam tabel 9.1. Kolom paling kanan menunjukkan nomor sektor tersebut dalam pengklasifikasian yang dilakukan dalam SNSE DKI Jakarta tahun 2000 ukuran 103x103.
Sektor Jasa dalam PDRB JakartaDengan dasar pembagian seperti terdapat dalam tabel 9.1. maka peranan sektor jasa dalam struktur ekonomi—dalam hal ini diwakili oleh PDRB—Jakarta dapat dijelaskan. Tabel 9.2 memberikan gambaran struktur PDRB tersebut, untuk tahun 1995 dan tahun 2000. Dapat dilihat dalam tabel tersebut bahwa secara keseluruhan struktur ekonomi Jakarta tidak mengalami perubahan, meskipun terjadi krisis besar yang melanda perekonomian Indonesia. Struktur ekonomi Jakarta tahun 2000 tidak jauh berbeda dari tahun 1995, meskipun pada tahun1997-1998 dilanda krisis ekonomi.
Sektor jasa meliputi sektor-sektor: perdagangan, hotel dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa-jasa lain. Apabila peranan keempat sektor tersebut dijumlahkan, maka dapat dihitung bahwa peranan sektor jasa pada tahun 1995 adalah 63,99 persen dan pada tahun 2000 menjadi 64,89 persen dari total PDRB. Tidak mengalami perubahan yang berarti. Demikian pula peranan komponen-komponen sektor jasa juga tidak mengalami banyak perubahan. Sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan memberikan kontribusi terbesar, disusul kemudian oleh (dengan perbedaan yang sangat kecil) sektor perdagangan, hotel dan restoran, berikutnya sektor jasa-jasa lain dan terakhir sektor pengangkutan dan komunikasi.
Metodologi: Sistem Neraca Sosial Ekonomi
Metodologi sekaligus data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM). Dengan metodologi ini diharapkan dapat diketahui pengaruh sektor jasa dalam menentukan distribusi pendapatan Jakarta. Lebih jauh lagi dapat dilacak secara struktural jalur pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan tersebut.
Model Dasar SNSE
SNSE menggambarkan transaksi antar blok perekonomian dalam masyarakat. Blok perekonomian yang dimaksudkan adalah faktor produksi, institusi dan sektor (aktivitas) produksi. Ketiga blok tersebut kemudian dikenal sebagai neraca endogen, yang menggambarkan blok-blok perekonomian yang saling berinteraksi di dalam suatu wilayah. Sedangkan seluruh kegiatan ekonomi di luar wilayah disatukan dalam neraca eksogen.
Konsep dasar SNSE pertama-tama bisa dilihat dari sistem transaksi dalam neraca endogennya. Suatu kegiatan produksi (misal restoran) dalam blok sektor produksi memerlukan input antara (misal peternakan) dari blok sektor produksi sendiri dan input primer (tenaga kerja dan kapital) dari blok faktor produksi. Oleh karena itu dalam kegiatannya sektor produksi akan melakukan pengeluaran (pembayaran) kepada sektor produksi sendiri dan kepada faktor produksi. Pembayaran untuk faktor produksi akan diteruskan kepada pemilik faktor produksi, yaitu blok institusi (misal rumah tangga kaya). Selanjutnya institusi, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan sosial sehari-harinya, akan melakukan pembelian (berbelanja) kepada sektor produksi dan transfer pendapatan kepada institusi lain (misal transfer rumah tangga kaya kepada rumah tangga miskin). Demikian seterusnya. Hubungan ini bisa dilihat dalam gambar 9.1, untuk perekonomian yang terdiri dari 2 buah sektor produksi (SP1 dan SP2), 2 buah faktor produksi (FP1 dan FP2) dan 2 buah institusi (I1 dan I2). Tanda panah dalam gambar tersebut menunjukkan aliran uang.
Dengan adanya neraca eksogen, maka setiap blok dalam neraca endogen bisa melakukan transaksi dengan neraca eksogen. Dalam hal ini terdapat dua jenis transaksi, yakni transaksi yang menyebabkan neraca endogen melakukan (mengeluarkan) pembayaran dan transaksi yang menyebabkan neraca endogen menerima pembayaran. Contoh paling mudah untuk kedua jenis transaksi tersebut adalah ekspor dan impor. Ekspor, berarti neraca endogen menerima pembayaran; sedangkan impor, berarti neraca endogen melakukan pembayaran. Penerimaan dari eksogen biasa disebut suntikan atau injections dan pengeluaran untuk eksogen biasa disebut kebocoran atau leakages bagi sebuah perekonomian.
Konsep dasar lain dari SNSE adalah bahwa jumlah pengeluaran setiap blok/neraca/sektor ekonomi sama dengan jumlah penerimaannya. Secara matematis, jika jumlah penerimaan sektor i adalahYi dan jumlah pengeluaran sektor j adalah Yj, maka jika i=j maka Yi = Yj. Dengan kata lain jika Y adalah matriks kolom yang beranggotakan Yi dan Z adalah matriks baris yang beranggotakan Yj , maka Z = Y’ (transpose dari Y).
Dengan memegang konsep-konsep dasar di atas maka SNSE dapat dimodelkan secara sederhana dalam sebuah tabel seperti terlihat dalam tabel 9.3. Nama dan urutan setiap kolom dari tabel tersebut sama persis dengan nama dan urutan barisnya. Arah ke bawah dari setiap sektor dalam tabel tersebut menunjukkan distribusi pengeluaran, sedangkan arah ke kanan menunjukkan komponen penerimaan dari sektor tersebut. Jumlah ke bawah setiap sektor sama dengan jumlah ke kanan, dengan kata lain penjumlahan kolom setiap sektor sama dengan pejumlahan barisnya, atau jumlah pengeluaran sama dengan penerimaan.
Angka Pengganda
Dari tabel 9.3 bisa didapatkan persamaan penerimaan setiap sektor ekonomi, yakni berupa penerimaan endogen ditambah penerimaan eksogen. Demikian pula, pengeluaran setiap sektor ekonomi sama dengan pengeluaran endogen ditambah pengeluaran eksogen. Dari tabel tersebut disa diturunkan persamaan-persamaan matematis yang menggambarkan hubungan perekonomian dalam kerangka SNSE, kemudian bisa dijabarkan angka pengganda yang dapat dijadikan alat untuk mengetahui hubungan antara satu neraca dengan lainnya yang selanjutnya bisa pula dijadikan alat untuk melakukan simulasi kebijakan.
Semua transaksi antar neraca endogen dalam tabel 9.3 dapat dituliskan ke dalam sebuah matriks t sebagai berikut:
(1)
Penjumlahan baris dari matriks t menunjukkan jumlah penerimaan setiap sektor. Pola penjumlahannya dapat dituliskan sebagai:
untuk i = 1 - 3 (2)
maka dapat disusun matriks T yang tidak lain adalah matriks penerimaan endogen.
(3)
Sedangkan jumlah penerimaan dari neraca eksogen adalah matriks X,
(4)
dan total penerimaan adalah matriks Y:
(5)
Sehingga dapat dirumuskan persamaan penerimaan sebagai berikut:
Y = T + X (6)
Selanjutnya jika setiap sel dari matriks transaksi t dibagi jumlah kolomnya dan hasilnya adalah matriks A yang beranggotakan aij , maka:
(7)
maka perkalian antara A dengan Y akan menghasilkan matriks berdimensi 3 x 1, yang tidak lain adalah matriks T.
T = AY (8)
Apabila persamaan (8) disubstitusikan ke persamaan (6), maka:
Y = AY + X (9)
(I-A)Y = X
Y = (I-A)-1X (10)
Kalau (I-A)-1 ditulis sebagai Ma, maka:
Y = Ma X (11)
Matriks A disebut pengganda langsung, karena di dalamnya berisi koefisien-koefisien aij yang menunjukkan pengaruh langsung dari perubahan sektor j terhadap sektor i. Sedangkan Ma disebut pengganda global atau pengganda neraca (accounting multiplier) yang di dalamnya berisi koefisien-koefisien pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan suatu sektor terhadap sektor yang lain. Dengan demikian kita bisa dapatkan pengganda tidak langsung dengan cara mengurangi Ma dengan A.
Pengaruh Sektor Jasa terhadap Distribusi PendapatanDengan merujuk pada kerangka dasar SNSE di atas maka pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan dapat dimodelkan. Sektor jasa tidak lain adalah bagian dari sektor produksi. Sedangkan distribusi pendapatan dapat dilihat pada blok institusi.
Terlihat bahwa sektor jasa tidak berpengaruh langsung terhadap distribusi pendapatan, melainkan harus melalui faktor produksi. Oleh karena itu untuk mengetahui besarnya pengaruh tersebut nantinya akan digunakan pengganda global (Ma). Sedangkan pengganda langsung akan digunakan untuk mengetahui jalur pengaruh yang dilalui oleh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan. Analisis seperti ini biasa disebut analisis jalur struktural atau structural path analysis.
Analisis: Sektor Jasa dan Distribusi Pendapatan
Data dan Penyesuaian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SNSE DKI Jakarta tahun 2000 yang diterbitkan oleh BPS DKI Jakarta pada bulan Desember 2002. Data ini merupakan data SNSE Jakarta terbaru pada saat penelitian ini dilakukan. Dari beberapa versi pengelompokan yang ada dalam SNSE DKI Jakarta 2000, yang digunakan dalam penelitian ini adalah SNSE dengan ukuran 103 baris kali 103 kolom, yang merupakan versi SNSE yang paling rinci.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah terdapatnya perbedaan antara format SNSE DKI Jakarta dengan format model dasar SNSE sebagaimana terdapat dalam tabel 9.2. Perbedaan tersebut berada dalam neraca endogen. Dalam SNSE DKI Jakarta, neraca endogen dibagi atas 6 blok: faktor produksi, institusi, sektor produksi, komoditas domestik, margin perdagangan dan pengangkutan, serta komoditas impor.
Agar dapat dilakukan analisis seperti yang dimodelkan di atas, maka sebelum diolah lebih lanjut neraca endogen dalam SNSE DKI Jakarta diagregasikan menjadi 3 blok. Seperti terlihat dalam tabel 9.4, dalam penelitian ini blok-blok sektor produksi, komoditas domestik serta margin perdagangan dan pengangkutan dijadikan satu dalam blok sektor produksi. Sedangkan komoditas impor dimaksukkan ke dalam neraca eksogen.
Analisis Pengganda
Hasil pengolahan data SNSE untuk memperoleh angka pengganda global atau pengganda neraca, yang menunjukkan pengaruh sektor jasa terhadap distribusi pendapatan Jakarta, dapat dilihat dalam tabel 9.5. Dalam hal ini sektor jasa dibagi berdasarkan pembagian yang terdapat dalam tabel 9.2. Sedangkan rumah tangga dibagi menjadi 10 tingkatan: 10 persen rumah tangga paling miskin disebut golongan I (Gol. I), 10 persen di atasnya disebut golongan II (Gol. II), dan seterusnya sampai 10 persen terkaya disebut golongan X (Gol. X). Pada tahun 2000 di Jakarta terdapat 1.992.696 rumah tangga. Jumlah rumah tangga dalam setiap kelompok (golongan), oleh karena itu, adalah 199.270 rumah tangga; kecuali rumah tangga golongan III, VI, IX dan X, masing-masing 199.269 rumah tangga.
Dalam tabel 9.5 bisa dibaca pengaruh setiap jenis jasa terhadap setiap golongan rumah tangga. Untuk sektor restoran (sektor no. 38) misalnya, setiap terjadi kenaikan permintaan akhir (omzet penjualan) sebesar Rp. 10.000 akan berdampak global kepada seluruh sektor perekonomian, sebagian diantaranya berdampak pada kenaikan pendapatan rumah tangga dengan distribusi kenaikan sebagai berikut: rumah tangga golongan I naik Rp.83, golongan II Rp.136, golongan III 162, golongan IV Rp.234, golongan V Rp.269, golongan VI Rp.350, golongan VII Rp.433, golongan VIII Rp.549, golongan IX Rp.702 dan golongan X Rp.2.433. Terlihat di sini bahwa rumah tangga paling kaya menerima paling banyak, disusul kemudian rumah tangga terkaya kedua, dan seterusnya, sampai rumah tangga paling miskin menerima paling sedikit.
Bagaimana dengan pengaruh sektor jasa selain restoran? Apabila dicermati keseluruhan tabel 9.5, maka terdapat pola yang sama, rumah tangga terkaya menerima bagian penggandaan pendapatan terbesar disusul rumah tangga terkaya kedua, dan seterusnya sampai rumah tangga termiskin menerima bagian terkecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya perbaikan ekonomi Jakarta melalui peningkatan sektor jasa akan lebih banyak memberikan pengaruh pada peningkatan pendapatan rumah tangga kaya dibandingkan rumah tangga miskin.
Hal ini akan melahirkan pilihan-pilihan kebijakan yang saling bertentangan. Di satu pihak, perekonomian Jakarta didominasi oleh kegiatan jasa, dan oleh karenanya kebijakan meningkatkan permintaan akhir terhadap jasa akan memberi pengaruh paling besar terhadap perkonomian Jakarta. Tanpa adanya kebijakan pun sebenarnya secara alamiah kegiatan ekonomi masyarakat akan semakin terkonsentrasi pada sektor jasa. Di lain pihak, peningkatan permintaan akhir sektor jasa akan memberikan manfaat pendapatan lebih besar pada rumah tangga kaya dibandingkan rumah tangga miskin. Dengan demikian kebijakan di sektor jasa justru akan menambah dalam jurang pendapatan antara si kaya dengan si miskin. Benarkah demikian? Subbab berikut akan memberikan analisis untuk memecahkan masalah ini.
Nisbah Kesenjangan Kaya-Miskin
Sebelum masuk ke dalam uraian berikut, perlu diingat kembali bahwa secara keseluruhan rasio atau nisbah pendapatan antara kelompok paling kaya dengan kelompok paling miskin adalah 29,38. Hal ini sudah dijelaskan dalam pendahuluan penelitian ini. Angka 29,38 tersebut akan dijadikan ukuran apakah suatu kebijakan di sektor jasa tertentu menambah atau mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Jika kebijakan sektor jasa menghasilkan nisbah pendapatan antara kelompok paling kaya dengan paling miskin (selanjutnya disebut “nisbah kesenjangan kaya-miskin”) lebih dari 29,38 maka kebijakan tersebut semakin memperparah ketimpangan, sebaliknya jika menghasilkan nisbah kesenjangan kaya-miskin kurang dari 29,38 maka kebijakan tersebut memperbaiki distribusi pendapatan. Hasil perhitungan nisbah kesenjangan kaya-miskin terdapat dalam tabel 9.6. yang dihasilkan dari tabel 9.5, dengan cara membagi baris rumah tangga golongan X dengan golongan I. Interpretasinya adalah, jika terjadi kenaikan permintaan akhir terhadap salah satu sektor jasa, berapa besar manfaat yang diterima rumah tangga paling kaya dibandingkan yang diterima rumah tangga paling miskin. Itulah yang dimaksudkan dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin. Nisbah yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin besar pula.
Dengan menggunakan angka 29,38 sebagai batasan, maka sebagian besar sektor jasa akan masuk kategori yang semakin memperparah ketimpangan. Dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin sebesar 42,44, sektor jasa sosial kemasyarakatan dan hiburan merupakan kegiatan jasa yang paling mendorong ketimpangan. Sektor ini meliputi kegiatan jasa pendidikan swasta, kesehatan swasta, organisasi sosial swasta, produksi dan distribusi film dan video, bioskop, photo studio, radio dan televisi swasta, drama, museum, musik dan kegiatan hiburan lainnya, jasa panti pijat, jasa kebudayaan dan rekreasi.
Sedangkan sektor jasa yang paling mampu mengurangi ketimpangan jika dibenahi (dikembangkan), adalah sektor angkutan jalan raya. Dengan nisbah kesenjangan kaya-miskin sebesar 18,73 sektor ini berada di bawah batas yang ditentukan di atas, dan ini memenuhi syarat sebagai sektor yang mengurangi ketimpangan. Sektor ini meliputi kegiatan-kegiatan yang melibatkan semua angkutan bermotor dan tidak bermotor yang menggunakan prasarana jalan raya untuk kegiatan pengangkutan penumpang dan barang. Di sektor ini banyak (relatif dibandingkan sektor jasa lainnya) rumah tangga miskin yang terlibat.
Sektor jasa lain yang masih termasuk kategori mampu mengurangi ketimpangan, meskipun nisbah kesenjangan kaya-miskinnya mendekati ambang batas adalah sektor perdagangan besar dan eceran, serta sektor angkutan rel, laut, udara dan ASDP.
Penelusuran Jalur Struktural
Penelusuaran jalur struktural atau analisis jalur struktural atau structural path analysis disini digunakan untuk mengetahui bagaimana pengembangan sektor angkutan jalan raya dapat mempengaruhi rumah tangga miskin, dalam hal ini rumah tangga golongan I. Penelusuran bisa dilakukan dengan bantuan komputer, menggunakan program MATS. Namun demikian penelusuran juga bisa dilakukan maupun dijelaskan secara manual.
Penelusuran dan penjelasan secara manual dapat dilakukan melalui bantuan matriks A yang penurunannya dirumuskan dalam persamaan (7). Melalui matriks pengganda langsung (A) dapat ditelusuri pengaruh langsung terbesar sektor angkutan jalan raya (no. 39) kepada sektor-sektor lain. Dalam hal ini ditemukan tiga sektor dalam blok faktor produksi yang memperoleh pengaruh langsung terbesar, yaitu kapital (sektor no. 9), tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji (no. 4), serta tenaga kasar penerima upah dan gaji (no. 3). Dari 3 sektor tersebut kemudian ditelusuri pengaruh langsungnya terhadap rumah tangga golongan I. Hasilnya, hanya dua sektor memberikan pengaruh cukup besar, yakni: tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji (no. 4), serta tenaga kasar penerima upah dan gaji (no. 3). Hasil penelusuran ini, beserta besarnya angka pengganda langsung dirangkum dalam gambar 9. 3.
Dengan demikian terdapat dua jalur utama mengalirnya pendapatan dari sektor angkutan jalan raya kepada kelompok penduduk miskin, melalui tenaga kasar penerima upah dan gaji dan tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji. Artinya, selama ini kaum miskin Jakarta lebih banyak menerima pendapatan karena sumbangan tenaga kasar mereka kepada kegiatan angkutan jalan raya dibandingkan kegiatan-kegiatan jasa lainnya. Peranan jalur utama aliran pendapatan dari kegiatan ekonomi angkutan jalan raya kepada rumah tangga miskin dapat dihitung. Dari tabel 9.5 dapat diketahui bahwa pengaruh global dari sektor no. 39 (angkutan jalan raya) kepada kelompok rumah tangga paling miskin adalah 0,0134. Selanjutnya dari gambar 9. 3 dapat dihitung bahwa pengaruh penggandaan sektor angkutan jalan raya kepada rumah tangga golongan I melalui tenaga kasar penerima upah dan gaji adalah 0,0755 x 0,0282 sama dengan 0,00213, yang jika dibandingkan dengan 0,0134 hasilnya adalah 15,89 persen.
Dengan cara yang sama pengaruh penggandaan sektor angkutan jalan raya kepada rumah tangga golongan I melalui tenaga kasar bukan penerima upah dan gaji adalah 34,98 persen. Total pengaruh melalui jalur utama ini, oleh karena itu, adalah 50,87 persen. Sisanya terjadi melalui jalur-jalur yang lain yang nilainya masing-masing sangat kecil.
Kesimpulan dan Saran
Dari serangkaian analisis di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sekaligus saran berkenaan dengan upaya mengurangi ketimpangan pendapatan di Jakarta dalam sebuah kenyataan bahwa perekonomian Jakarta didominasi oleh sektor jasa, sebagai berikut:
a. Sebagai kegiatan ekonomi yang dominan, sektor jasa ikut memberikan andil dalam penciptaan ketimpangan pendapatan di Jakarta. Oleh karena itu penerapan kebijakan ekonomi di sektor jasa harus dilakukan dengan sangat hati-hati, karena sebenarnya perkembangan sektor jasa memiliki potensi memperparah ketimpangan pendapatan yang sudah terjadi.
b. Dari sekian banyak kegiatan yang terdapat dalam sektor jasa, kegiatan angkutan jalan raya merupakan kegiatan yang paling kecil pengaruhnya terhadap peningkatan ketimpangan pendapatan di Jakarta. Kegiatan ini menyerap lebih banyak faktor produksi yang dimiliki masyarakat golongan bawah dibandingkan kegiatan jasa lainnya. Faktor produksi yang dimaksudkan adalah ‘tenaga kasar’ yang mereka miliki dan sumbangkan untuk perekonomian dengan menjadi operator alat angkutan, baik milik sendiri (tidak mendapat upah/gaji) maupun bukan milik sendiri (mendapat upah/gaji).
c. Dengan demikian, jika pemerintah bermaksud merumuskan kebijakan sektor jasa, dapat disarankan bahwa kebijakan di bidang angkutan jalan raya dapat diprioritaskan. Kebijakan tersebut dapat berupa peningkatan kapasitas teknologi dan pembenahan sistem angkutan jalan raya, sehingga tingkat kenyamanan, keamanan dan kelancaran dapat meningkat dengan pesat. Selain memberi manfaat pada masyarakat umum, kebijakan ini dapat meningkatkan omzet pelayanan angkutan jalan raya, yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan masyarakat lapisan bawah yang banyak terlibat dalam kegiatan angkutan jalan raya di Jakarta.