Dalam hal daya saing, pada tahun 2002 Indonesia berada pada posisi 47 di atas Venezuela dan Argentina, atau naik dua peringkat dari posisi terendah nomor 49 pada tahun 2001. Laporan tahunan peringkat daya saing sejumlah negara utama di dunia, secara reguler dikeluarkan International Institute for Management Development (IMD), Lausanne, Swiss, lewat penilaian atas lima kelompok daya saing.
Pertama, kelompok efisiensi birokrasi, yang meliputi aspek-aspek keuangan publik, kebijakan fiskal, dan pendidikan. Kedua, kelompok pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kelompok perekonomian domestik, yang mencakup sektor-sektor perdagangan internasional, investasi asing, dan tenaga kerja. kelompok efisiensi bisnis, yaitu aspek-aspek produktivitas, pasar tenaga kerja, pasar uang, dan dampak globalisasi. Kelima, kelompok infrastruktur, yang terdiri atas aspek-aspek infrastruktur dasar, sains dan teknologi, kesehatan, serta lingkungan.
Sesungguhnya, kelima kriteria penilaian daya saing suatu negara tersebut dapat diterapkan dalam skala regional, dimana di dalamnya ada yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam rangka usaha meningkatkan daya saing regional, maka faktor-faktor pembentuk daya saing di daerah harus ditingkatkan, agar daerah memperoleh nilai rating yang tinggi.
Betapa pentingnya memenangkan persaingan, sehingga Ronald Reagan pun saat menjadi Presiden AS membentuk “Commission on Industrial Competitiveness”, yang diketuai oleh Michael E. Porter. Dari pengalamannya Porter menjelaskan, tidak ada definisi baku tentang “daya saing” yang bisa diterima semua pihak. Dalam bukunya “The Competittve Advantage of Nations”, Michael Porter membedakan antara keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif.
Keunggulan komparatif umumnya berupa tenaga kerja murah, sumberdaya alam, dan modal, yang diidentifikasikan dengan nilai tambah rendah serta padat karya, sehingga sulit memberikan kemakmuran. Dalam era globalisasi, peran tiga variabel ini makin berkurang, dan digantikan oleh tingginya nilai tambah hasil industri yang dapat membawa kemakmuran bagi suatu bangsa atau daerah.
Beberapa tahun yang lalu Taiwan pernah berjaya dengan industri rotan asal Indonesia. Tetapi mengapa setelah ekspor rotan asalan distop, industri rotan Indonesia tidak kunjung bersinar, malahan banyak yang gulung tikar walaupun teknologi dan ahlinya telah didatangkan dari Taiwan. Dengan keunggulan kompetitif lewat teknologi yang sama ternyata Taiwan berhasil dan Indonesia gagal.
Dikotomi keunggulan komparatif dan kompetitif sebenarnya adalah ilusi yang dikembangkan oleh ahli ekonomi Barat dalam upaya membuat peta ekonomi dunia pada masa lalu berdasarkan kekayaan alam, populasi dan penguasaan teknologi pada saat itu. Saat di jaman komunikasi global, pada dasarnya setiap bangsa mempunyai kesempatan yang sama.
Dengan diperjualbelikannya teknologi, keunggulan kompetitif yang selama ini dibanggakan sewaktu-waktu bisa terancam, dengan memperjual-belikan teknologi kepada yang mampu membayarnya. Demikian juga dengan kekayaan alam dan tenaga kerja murah, kemajuan dalam bioteknologi, penemuan bahan sintetis serta otomatisasi dan robotisasi telah menyebabkan keunggulan komparatif tidak lagi semenarik seperti pada jaman VOC.
Garry Hammer dalam bukunya, “Competing the Future” memaparkan bahwa untuk memenangkan persaingan harus dikembangkan keunggulan kompetensi, baik yang secara alamiah dimiliki oleh suatu negara atau daerah, maupun hasil kerja keras dan ketekunan yang konsisten dan berkesinambungan.
Konsep inilah yang menempatkan Jepang sebagai market leader dalam bidang mesin foto copy, camera, handycam, VCR, laser/compact disc-player dan lain-lain. Setiap hari dunia dibuat terperangah oleh produk baru dari Sony, Toshiba, Sharp, Matsushita, Hitachi, dan lain-lain. Sony sendiri setiap hari memperkenalkan rata-rata 4 produk baru yang hebatnya produk-produk tersebut adalah hasil penggabungan dari inovasi beberapa kompetensi atau komponennya saja. Seolah seorang maestro yang sedang berimprovisasi.
Jika tanpa keunggulan kompetensi, saya kira, industri Jepang sudah lama gulung tikar akibat yendaka. Tetapi keunggulan kompetensi telah membuat produk industri Jepang tidak dapat digantikan oleh produk negara lain, sehingga walaupun harganya naik, tetap saja dibeli.
Mempertentangkan dua model keunggulan itu saat ini sudah tidak relevan lagi karena pada hakekatnya ekonomi dunia dikuasasi oleh keunggulan kompetensi yang nyaris tidak mungkin terbendung. Barang-barang yang merupakan hasil industri dengan keunggulan kompetensi tanpa disadari telah menerobos masuk ke rumah-rumah serta kantor-kantor dan tak ada suatu kekuatan apapun yang dapat membendungnya.
Menurut Garry Hammer mencoba meng-up-grade industri dengan hanya pada keunggulan komparatifnya saja bagaikan memberi lipstik pada bibir babi.
Sementara menurut penelitian Dong-Sung Cho, ia menyebutkan berbagai faktor yang mempengaruhi daya saing internasional sebuah negara :
1. Strategi, struktur dan sistem persaingan di antara perusahaan,
2. Sumberdaya alam yang ada di sebuah negara,
3. Permintaan domestik,
4. Keberadaan industri terkait dan pendukung.
Semakin tinggi tingkat persaingan perusahaan di satu negara, semakin bisa perusahaan itu bersaing di dunia internasional. Semakin kaya sumberdaya alam sebuah negara, semakin besar permintaan domestik dan semakin banyak industri pendukungnya, akan semakin kuat daya saing sebuah negara di tingkat internasional. Namun selain faktor fisik tersebut, faktor yang sangat menentukan daya saing adalah human factors. Faktor manusia itu oleh Porter dibagi dua, yakni sistem pemerintahan dan terbukanya kesempatan untuk melakukan sesuatu hal atau chance events.
Tampilnya daya saing sebuah negara harus didukung adanya kesempatan yang terbuka luas bagi siapapun untuk melakukan apa pun yang konstruktif. Setelah itu diperlukan keberadaan pekerja yang terampil, birokrasi dan politisi yang bekerja profesional yang mampu melahirkan kebijakan kondusif untuk pengembangan daya saing. Di dalam faktor birokrasi dan politisi itu juga terdapat unsur integritas, yang justru harus menjadi syarat utama. Lalu daya saing juga harus didukung keberadaan kewirausahaan, serta teknisi, manajer dan perancang profesional.
Faktor-faktor tersebut, menurut Dong-Sung Cho akan menentukan tampilnya iklim bisnis yang sehat, permintaan domestik, industri terkait dan pendukung, serta pemanfaatan sumberdaya alam. Faktor-faktor itu kemudian saling kait-mengait dan secara simultan akan menentukan tingkat daya saing internasional, yang menempatkan negara-negara dalam sebuah dog race.
Faktor lain yang merupakan keharusan adalah faktor birokrasi dan politisi. Padahal, elite politik kita tampaknya cukup tinggi tingkat kompetisinya, namum tingginya tingkat kompetisi politik kita tidak berbanding lurus dengan daya saing Indonesia sebagai bangsa dibanding negara lain.
Sesungguhnya apa yang menjadi daya tarik bagi calon investor untuk menanamkan modalnya di suatu daerah ? Jawabnya adalah tingkat daya saing yang dimiliki oleh daerah tersebut. Artinya, semakin tinggi tingkat daya saing suatu daerah akan menjadi lokasi pilihan untuk investasi. Oleh sebab itu, pertama, salah satu upaya meningkatkan investasi bisa dilakukan melalui peningkatan daya saing.
Upaya yang pertama itu mempersyaratkan yang kedua, yaitu upaya menekan risiko inventasi, agar memberikan jaminan kelangsungan usaha yang berkelanjutan. Kedua syarat pokok inilah, yakni tingginya tingkat regional competitiveness dan rendahnya investment risk, yang menjadi faktor dominan untuk menarik investasi ke daerah tertentu, baik foreign direct investment maupun domestic investment. Dalam hal ini, wacana tentang tax holiday dan penyusunan rating daerah otonom terus bergulir di BKPM.
Sebagai ilustrasi, konsultan Rand McNally menentukan Places Rated Almanac tahunan untuk kota-kota dengan menggunakan sembilan kriteria, yang meliputi faktor-faktor : biaya hidup, prospek lapangan pekerjaan, angka kriminalitas, fasilitas pelayanan kesehatan, transportasi, pendidikan, kebudayaan seperti art center atau perpustakaan umum, tempat-tempat rekreasi –seperti restoran, hotel, obyek wisata, golf course, parks dan iklan- dengan kondisi cuaca yang tidak terlalu fluktuatif sepanjang tahun.
Kota-kota dengan ranking tertinggi, tidak mesti memiliki skor tertinggi untuk semua kriteria. Dalam penentuan ranking, sulit memasukkan penilaian ciri khas sebagai soft characteristic sebuah kota ke dalam kriteria rating, karena berkaitan erat dengan image yang dimiliki. Citra sebuah kota maupun data statistik sekadar memberikan calon investor seakan sebuah palet, dimana ia bisa menorehkan kuasnya menurut sudut pandangnya yang terbaik.
Era globalisasi di mana dunia seakan borderless world, telah merombak tatanan sosial, ekonomi, dan budaya bangsa-bangsa. Kenyataan ini menunjukkan situasi dunia yang serba terbuka yang dicirikan oleh adanya hubungan saling ketergantungan. Dalam konteks regional, maka interdependensi antardaerah otonom menjadi suatu keniscayaan yang tak terelakkan. Interdependensi tersebut pada akhirnya bermuara pada dua kutub yang saling bertolakbelakang.
Kutub pertama mengarah pada iklim kompetisi antardaerah, seperti dalam perebutan pasar untuk produk-produk unggulan, menarik investasi perekrutan SDM yang handal, serta kompetisi dalam pengelolaan asset-asset potensial. Sebaliknya kutub kedua mengarah pada terbentuknya iklim kolaborasi yang memerlukan kerjasama ekonomi antardaerah otonom yang saling berbatasan. Agar dapat merespons secara positif berbagai dinamika dalam iklim kompetitif tersebut, yaitu paduan antara kompetisi dan kolaborasi, maka diperlukan suasana pembangunan yang kondusif.
Pertama, adanya kepastian hukum bagi para investor untuk meminimalkan risiko investasi dan berbagai ketidakpastian. Kedua, menuntut kapabilitas good governance, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas publik. Ketiga, penerapan instrumen insentif-disinsentif, baik yang berbasis fiskal, misalnya pengembalian pungutan retribusi dan pajak daerah kepada investor, maupun non-fiskal dalam hal regulasi atau kebijakan khusus.
Aspek keempat, menyangkut kemampuan daerah yang berdekatan untuk bekerjasama dalam pengembangan wilayah, sehingga secara sinergis saling menguatkan sesuai prinsip managed competition. Prinsip ini mensyaratkan adanya kesepakatan-kesepakatan yang menyangkut penanganan kawasan-kawasan strategis dan prioritas, spesialisasi produk unggulan, penetapan lokasi pelayanan bersama, pengelolaan kawasan lindung sebagai cadangan sumberdaya masa depan, dan sebagainya.
Aspek kelima, pembangunan prasarana dan sarana wilayah lintas batas, misalnya pelayanan transportasi yang menjamin efektivitas dan efisiensi mobilitas orang dan barang dari sentra-sentra produksi menuju outlet-outlet pemasaran, selain itu juga membuka akses wilayah terisolir dan terbelakang.
Dengan memperluas wawasan dan melakukan komparasi kriteria penilaian daya saing seperti itulah, kita hari ini akan melakukan Seminar tentang “Daya Saing Wilayah dalam Perspektif Teknologi”, dengan menggunakan kelompok indikator kemampuan teknologi dan iklim teknologi.
Menurut Thee Kian Wie, yang dimaksud dengan kemampuan teknologi atau penguasaan teknologi adalah kemampuan penggunaan teknologi secara efektif yang hanya dapat dicapai melalui upaya yang sungguh-sungguh untuk menggunakan informasi teknologi yang tersedia, serta mengakumulasikan pengetahuan teknologi yang diperoleh, untuk memilih, membaurkan, dan menyesuaikan teknologi yang ada dan/atau menciptakan teknologi baru.
Artinya, kemampuan teknologi tidak hanya mengacu pada efisiensi teknis, tetapi juga meliputi kemampuan untuk menyesuaikan teknologi, sehingga cocok dengan kondisi lokal serta kemampuan untuk menciptakan teknologi baru yang lebih baik. Dahlman dan Westphal membedakan empat tahap urutan kemampuan teknologi, yaitu :
1. Rekayasa produksi, yang mengacu pada kemampuan untuk menjalankan pabrik-pabrik,
2. Pelaksanaan proyek, yang mengacu pada kemampuan untuk membangun kapasitas prokduksi yang baru,
3. Pembuatan barang modal, yang mengacu pada kemampuan untuk menggunakan pengetahuan teknologi yang dimiliki dalam membangun pabrik-pabrik dan membuat perlengkapan mesin,
4. Penelitian dan pengembangan, yaitu kemampuan untuk mengadakan kegiatan yang menghasilkan pengetahuan teknologi yang baru.
Kemampuan teknologi suatu daerah dapat dilihat pada dua tingkat, kemampuan teknologi pada tingkat perusahaan dan pada tingkat daerah. Kemampuan teknologi pada tingkat perusahaan dibedakan menurut empat tingkat, yaitu kemampuan akuasitif, operasional, adaptif dan inovatif. Dengan mengadaptasi kemampuan teknologi pada tingkat nasional menurut Lall dan Wong, maka kemampuan teknologi daerah ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: struktur insentif, kemampuan SDM yang berbasis teknologi, dan lembaga-lembaga R&D, badan-badan teknologi dan inovasi, serta pusat-pusat pelatihan teknologi.
Sementara menurut Mochtar Buchori, mengutip artikel Jeffrey Sachs: “The New Map of the World” , dunia kini tidak lagi terbagi dalam ideologi, tetapi oleh teknologi, yang terdiri atas tiga kelompok teknologi, yaitu kelompok technological innovators, technological adopters, dan technologically.
Kecil harapannya kelompok technologically exluded dapat mengejar ketertinggalan, kecuali bila pendidikan berhasil meningkatkan kemampuan teknologinya. Akibatnya, tingkat kemakmuran material negara-negara atau wilayah-wilayah dengan kemampuan inovasi teknologi tinggi berkembang pesat, sedangkan yang termasuk kelompok keterkucilan teknologi kian terjebak ke dalam kemiskinan material.
Dalam konteks ini, keseluruhan Indonesia secara makro masuk kategori technological adopters. Namun bila negara kita diperhatikan secara mikro, akan diketahui banyak wilayah yang sebenarnya merupakan kantung-kantung keterkucilan teknologi. Tidak mustahil status Indonesia sebagai technological adopters akan semakin menurun ke jenjang yang lebih rendah. Karena itu, upaya meningkatkan kemampuan teknologi melalui rating daerah otonom yang berbasis teknologi ini diharapkan dapat mendorong pengenalan dan penerapan teknologi di wilayah kantung-kantung tersebut. Sehingga wilayah-wilayah yang kini terkucil secara teknologi, berangsur-angsur dapat ditingkatkan menjadi wilayah yang berkemampuan mengadopsi hasil-hasil inovasi baru.
Dengan visi dan harapan seperti itulah, Pemerintah Provinsi DIY menyambut baik diterbitkannya buku “Daya Saing Wilayah dalam Perspektif Teknologi”. Saya berharap, semoga buku ini mampu menggugah pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan kemampuan teknologi dan menumbuhkan iklim yang kondustif bagi tumbuh-berkembangnya teknologi dan inovasi di wilayahnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan melimpahkan berkah serta rahmat-Nya, agar bangsa Indonesia mampu membuka tekstur Ilahi dan tekstur alami melalui pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar