DUNIA perburuhan atau ketenagakerjaan di Indonesia mengalami perubahan besar seiring dengan perubahan politik dan ekonomi. Udara segar reformasi membawa perubahan positif di sektor perburuhan, yang juga memberi perubahan cara berpikir dan bersikap baik di kalangan pemerintah, pengusaha, ataupun para buruh.Perubahan di bidang ketenagakerjaan juga didorong oleh adanya kesepakatan negara-negara anggota organisasi ketenagakerjaan internasional (ILO) untuk menerapkan konvensi-konvensi dasar organisasi tersebut.
Perubahan yang terjadi sangat lambat akibat mental dan birokrasi yang ada. Para pejabat yang berkompeten, pengusaha, atau serikat buruh menunjukkan ketidaksiapan untuk ikut dalam perubahan itu. Kondisi ini dapat dilihat, seperti kasus Kepmennaker Nomor 150 Tahun 2000, dari tidak ditemukannya jalan untuk menyelesaikan masalah oleh ketiga pihak. Padahal, setiap kegiatan baik kecil maupun besar selalu menyangkut kepentingan banyak orang, yakni pengusaha, pemilik, pekerja, masyarakat, serta pemerintah sendiri.
Dalam waktu yang lama memang telah terjadi persepsi yang keliru bahwa perusahaan hanyalah kepentingan pengusaha dan pemilik saja. Kenyataannya, masyarakat terbukti mempunyai kepentingan atas kinerja perusahaan dalam hal menyediakan produk dan jasa, menciptakan kesempatan kerja, dan menyerap pencari kerja. Pemerintah sendiri berkepentingan agar masyakarakat dapat sejahtera sehingga ada rasa damai dan aman.
Hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antarpara pelaku dalam proses produksi barang atau jasa, yang terdiri dari pengusaha, buruh, dan pemerintah. Sedangkan hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan buruh atau pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang memunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
Dari uraian itu, jelas bahwa sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku proses produksi mempunyai kedudukan yang sangat strategis. Sebagai bagian dari tujuan pembangunan, buruh atau pekerja perlu memperoleh perlindungan dalam semua aspek oleh karena dibanding pengusaha, posisi mereka paling lemah, terutama dalam aspek ekonomi.
Terkait dengan hubungan industrial, ada beberapa hal yang menjadi masalah pokok, yakni peran serikat buruh, tanggung jawab pemerintah, peran serikat buruh dalam aksi industrial, dan dampak ratifikasi konvensi ILO terhadap gerakan buruh.
Hubungan industrial atau hubungan perburuhan tidak lain adalah suatu sistem yang terbentuk antarpelaku dalam proses produksi barang maupun jasa. Mekanisme hubungan antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah selaku badan eksekutif negara.
Ketentuan yang diatur pemerintah meliputi pengerahan dan penempatan tenaga kerja, kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, perencanaan tenaga kerja, pelatihan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja, penggunaan tenaga kerja asing, pembinaan hubungan industrial, pembinaan kelembagaan dan sarana hubungan industrial, perlindungan tenaga kerja, pengawasan tenaga kerja, dan ratifikasi Konvensi ILO.
Dari semua ketentuan itu, secara teoretis peraturan dan perundang-undangan perburuhan di Indonesia sebenarnya telah memadai oleh karena hampir semua aspek penting bidang perburuhan telah diatur.
Hal lain yang sangat mempengaruhi pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah datang dari ketiga pihak: kebijakan pemerintah, kejujuran, dan ketaatan pengusaha, serta kejujuran dan ketaatan para buruh. Ketiga faktor inilah yang akan menentukan apakah penerapan hukum perburuhan itu dapat dilaksanakan atau justru akan dikecualikan dan dilanggar.
Dari pengalaman selama 30 tahun, semua pihak tahu kalau pemerintah kurang memberi kesempatan untuk semua pihak bergerak sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini dilakukan untuk meredam gejolak yang akan mengganggu jalannya stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
Dasar awal yang berprinsip baik tadi semakin lama menjadi semakin kabur karena pada akhirnya dalam realitas menjelma menjadi kekuatan yang menekan demokrasi, kebebasan, dan keharmonisan masyarakat.
Upaya yang ditancapkan dalam prinsip hubungan industrial Pancasila hanya slogan belaka. Rumusan yang baik pada akhirnya menjadi sangat tidak bermanfaat karena tidak dapat ditemui dalam realitas. Istilah "pengusaha adalah mitra buruh" dan "buruh adalah mitra pengusaha" hanyalah samar-samar ditemui dalam pelaksanaannya.
Sistem satu organisasi buruh dan satu organisasi pengusaha ternyata mendatangkan kenyataan monopoli wewenang di segala bidang perburuhan yang mengakibatkan suara yang berbeda disingkirkan. Situasi ini menimbulkan tekanan terhadap kaum buruh maupun terhadap pengusaha, baik individual maupun kolektif dalam organisasinya.
Dalam kondisi semacam ini masing-masing pihak baik pengusaha, buruh, maupun pemerintah merupakan pihak yang saling berlawanan dan bermusuhan. Usaha yang semula hendak berlandaskan maksud dan tujuan baik dari semua pihak, seperti upaya menghasilkan Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan justru menimbulkan reaksi yang keras dari kalangan organisasi buruh oleh karena latar belakang yang mengawali lahirnya undang-undang tersebut dinilai melanggar hukum. Hal ini mengakibatkan penundaan berlakunya undang-undang tersebut, meski telah menghabiskan biaya yang sangat besar.
Ada dialog
Sejalan dengan reformasi mulai ada dialog antarmereka. Hubungan kerja, yang pada masa lalu hanya dilakukan oleh pengusaha dengan satu organisasi buruh, berangsur-angsur sudah mulai dilakukan oleh pengusaha dengan beberapa organisasi buruh. Peran organisasi buruh dalam pembuatan perjanjian kerja bersama sudah mulai terlihat dan berlangsung di beberapa perusahaan. Di beberapa perusahaan konflik industrial dapat dimusyawarahkan sendiri oleh organisasi pekerja.
Keadaan transisi ini diatasi secara serius oleh Departemen Tenaga Kerja dengan jalan menyelenggarakan berbagai pertemuan. Dari upaya instansi tersebut telah siap sejumlah rancangan undang-undang untuk mengisi pengaturan masalah yang timbul, termasuk tentang organisasi buruh. Masalah seperti ini kompleks dan sulit karena menyangkut seluruh sendi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, menghadapi dan menanganinya harus dengan ketulusan hati nurani, jujur, sabar, dan tekun.
Sejak Indonesia merdeka telah dirumuskan ketentuan-ketentuan yang menyangkut kedudukan, hak, dan kewajiban warga negara. Demikian pula di bidang ketenagakerjaan, pemerintah telah menerbitkan ketentuan perundang-undangan antara lain UU Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, UU Nomor 21 Tahun 1954 tentang perjanjian Perburuhan, dan UU Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyele-saian Perselisihan Perburuhan.
Sejumlah undang-undang itu telah pula dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturan menteri, dan lain-lain. Materi ketenagakerjaan yang diatur dalam produk hukum itu sudah hampir meliputi seluruh aspek ketenagakerjaan, oleh karena itu dianggap telah memadai secara minimal. Kekurangan yang ada dalam berbagai peraturan itu tidak akan sampai kritis apabila ketiga unsur pelaku proses produksi secara proporsional menempatkan dirinya dalam hubungan industrial dengan benar dan baik.
Hal ini dikaitkan dengan pendapat bahwa lebih baik dengan ketentuan peraturan yang minim, akan tetapi dengan para pelaku bermental baik, daripada dengan ketentuan yang mantap dan sempurna, tetapi para pelakunya bermental buruk.
Atas dasar itu, maka bila para pengusaha, buruh, dan pemerintah dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara tepat dan benar serta bertanggung jawab, peraturan perundangan di Indonesia telah memadai.
Ketentuan perundang-undangan telah mengatur senjata yang dimiliki baik oleh buruh maupun yang dimiliki oleh pengusaha dalam menghadapi perselisihan industrial. Buruh memiliki senjata "mogok kerja", pengusaha memiliki senjata "penutupan perusahaan".
Persepsi masyarakat buruh dalam praktik: mogok kerja terasa seakan-akan selalu harus digunakan untuk menyelesaikan kasus perselisihan perburuhan. Dengan fakta yang ada, maka banyak aksi dalam tindakan industrial yang dilakukan oleh para buruh dan organisasinya menjadi bukan lagi kompetensi dan tanggung jawab Departemen Tenaga Kerja, apalagi kalau masalahnya telah terkontaminasi dengan politik.
Peraturan ketenagakerjaan makin membaik setelah Indonesia meratifikasi tujuh Konvensi ILO, antara lain tentang kebebasan berserikat, kerja paksa, umur minimum, pemberian remunerasi, dan larangan diskriminasi bidang pekerjaan dan jabatan. Ratifikasi ini menuntut keberpihakan semua unsur tripartit untuk menerapkannya secara baik dan kosisten.
Pengusaha harus siap menerima kehadiran lebih dari satu organisasi buruh, sedangkan pemerintah harus siap melaksanakan sistem menajemen yang terbuka, komunikatif, dan transparan. Sedangkan organisasi buruh bukan saja mampu dan efektif memperjuangkan kepentingan anggotanya, tetapi harus mampu menumbuhkan kesadaran dan pemahaman anggotanya mengenai soal-soal ketenagakerjaan termasuk masalah yang dihadapi dalam dunia usaha baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional. Pokoknya, berwawasan luas dan akomodatif.
Pengusaha dan buruh bersama-sama berupaya untuk lebih memahami permasalahan hubungan industrial yang dihadapi sehingga dapat memusyawarahkan dan menyelesaikan secara internal (bipartit) tanpa melibatkan campur tangan pemerintah dan intervensi pihak ketiga. Demikian pula pihak buruh dan organisasinya dapat mewujudkan prinsip-prinsip kebebasan dalam demokrasi guna kepentingan bersama yang saling menguntungkan bagi semua pihak, termasuk organisasi buruh dalam satu perusahaan sehingga masing-masing dapat ikut aktif berpartisipasi dalam perundingan dengan pengusaha dalam menyusun Perjanjian Kerja Bersama, yang dikenal sebagai PKB.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar