Sabtu, 23 Agustus 2008

Konsep Daya Saing Perspektif Teknologi

Konsep Daya Saing
Pembahasan mengenai konsep daya saing tidak bisa dilepaskan dari evolusi teori daya saing itu sendiri. Pada awalnya teori daya saing secara spesifik membahas tentang kemampuan suatu perusahaan agar tetap survive dalam pasar yang dinamis. Dari teori daya saing pada tingkat perusahaan dalam suatu negara, kemudian berkembang menjadi suatu konsep daya saing antarnegara.
Dalam bagian ini selain menjelaskan tentang evolusi teori daya saing, dicontohkan pula beberapa pengukuran atau pemeringkatan daya saing dengan metodologi yang berbeda-beda dari berbagai penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia.


Evolusi Teori Daya Saing

Secara garis besar, munculnya teori daya saing bermula dari teori perdagangan dan secara perlahan-lahan berkembang ke arah model keunggulan bersaing. Dimulai dari teori merkantilisme, keunggulan absolut, keunggulan komparatif, faktor endowment, Leontif paradox, spesifikasi produk, siklus hidup produk, skala ekonomi, dan keunggulan daya saing.

Merkantilisme (Thomas Mun)
Merkantilisme pada prinsipnya merupakan suatu paham yang menganggap bahwa penimbunan uang, atau logam mulia yang akan ditempa menjadi uang emas ataupun perak haruslah dijadikan tujuan utama kebijakan nasional.
Salah satu tokoh besar yang lahir pada zaman merkantilisme adalah Thomas Mun. Mun berhasil menelurkan hasil pemikirannya dalam bukunya yang berjudul England’s Treasure by Foreign Trade yang memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap teori perdagangan internasional. Mun berpendapat bahwa untuk meningkatkan kekayaan negara, cara yang biasa dilakukan adalah lewat perdagangan dan karena itu pedoman yang harus dipegang teguh oleh suatu negara adalah mengusahakan agar nilai ekspor ke luar negeri harus lebih besar dibandingkan dengan yang diimpor oleh negara itu. Mun juga berpendapat jika suatu negara lewat perdagangan memperoleh banyak uang, jangan sampai modal itu hilang justru karena uang itu tidak dipergunakan untuk berdagang lagi.
Julukan merkantilisme pada dasarnya diberikan kepada aliran atau paham ini oleh para kritikus ekonomi khususnya Adam Smith. Sebutan merkantilisme mengandung makna menyamakan suatu bangsa atau negara dengan kebijakan seorang pedagang, yang berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar pada waktu menjual dibandingkan dengan apa yang dikeluarkannya ketika membeli dan dengan demikian meningkatkan kekayaan perusahaannya.
Perdagangan internasional akan terjadi apabila terdapat kesempatan memperoleh surplus neraca transaksi berjalan (current account). Oleh karena itu, kegiatan ekspor-impor diletakkan sebagi lokomotif utama yang dipicu melalui peningkatan industri dalam negeri.

Teori Keunggulan Absolut (Smith: 1776)
Ekonomi klasik resmi berdiri ketika Adam Smith mengeluarkan bukunya yang berjudul An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations. Menurut Adam Smith, kekayaan suatu negara akan bertambah searah dengan peningkatan ketrampilan dan efisiensi para tenaga kerja, dan sejalan dengan persentase penduduk yang terlibat dalam proses produksi. Kesejahteraan ekonomi setiap individu tergantung pada perbandingan antara produksi total dengan jumlah penduduk. Smith juga menganjurkan adanya spesialisasi kerja dan penggunaan mesin-mesin sebagai sarana utama untuk peningkatan produksi. Ia juga memperkenalkan konsep invisible hand di mana setiap orang yang melakukan kegiatan di dalam perekonomian dituntun oleh sebuah “tangan yang tidak kelihatan” sehingga ia dengan mengejar kepentingannya sendiri ia kerap justru lebih efektif memajukan kepentingan masyarakat daripada kalau ia sungguh bermaksud untuk memajukan kepentingan masyarakat itu.
Adam Smith mengajukan teori perdagangan internasional yang dikenal dengan teori keunggulan absolut. Ia berpendapat bahwa jika suatu negara menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antarnegara. Karena hal itu, Smith mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara mempunyai:
· pembagian tenaga kerja,
· dukungan terhadap perdagangan bebas tanpa campur tangan pemerintah,
· spesialisasi pada komoditas tertentu, sehingga mereka mempunyai suatu keunggulan absolut,
· keunggulan absolut berdasarkan pada suatu kenaikan pada produktivitas dunia, sehingga tergantung pada kenaikan produksi dan konsumsi.

Teori Keunggulan Komparatif (Ricardo: 1819)
Teori ini menekankan bahwa perdagangan internasional dapat saling menguntungkan jika salah satu negara tidak usah memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditas seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith, namun cukup memiliki keunggulan komparatif dimana harga untuk suatu komoditi di negara yang satu dengan yang lainnya relatif berbeda.

Teori Heckscher-Ohlin (1919, 1933)
Faktor produksi yang umumnya dikategorikan sebagai tanah, tenaga kerja dan modal, terlalu umum untuk dapat menunjukkan keunggulan daya saing dalam strategi industri-industri yang berbeda. Faktor-faktor produksi dapat dikelompokkan ke dalam sejumlah kategori besar, SDM, fisik, ilmu pengetahuan, modal dan infrastruktur. Pemakaian campuran dari faktor-faktor tersebut berbeda antarindustri.
Keunggulan daya saing dari faktor-faktor tergantung pada bagaimana efisisensi dan efektifitas faktor-faktor tersebut menyebar. Hal ini digambarkan oleh pemilihan yang dibuat sebuah perusahaan tentang bagaimana perpindahan faktor sesuai dengan teknologi yang digunakannya. Tentu saja, nilai faktor-faktor tertentu dapat menjadi alternatif dari pemilihan teknologi. Tidak hanya pertanyaan ’bagaimana’, tetapi ’di mana’ (tempat) faktor-faktor tersebut dikembangkan dalam suatu perekonomian sangat penting, karena kecanggihan teknologi dan sumberdaya manusia yang berkemampuan dapat digunakan pada suatu keberagaman industri. Ketersediaan faktor-faktor belum cukup untuk menjelaskan keberhasilan daya saing. Suatu perusahaan mendapatkan keunggulan daya saing jika memiliki biaya rendah dan faktor-faktor tersebut mempunyai kualitas yang tinggi.
Dengan kata lain teori ini menekankan bahwa faktor endowment (faktor sumberdaya yang melimpah) yang berbeda dapat menjelaskan mengapa negara-negara mempunyai keunggulan pada komoditas yang berbeda. Terdapat dua intensitas faktor, yaitu faktor labor-intensive atau faktor capital-intensive. Intensitas faktor tersebut tergantung pada tingkat teknologi.
Teorema Heckscher-Ohlin (teorema H-O) meramalkan pola perdagangan antarnegara berdasarkan pada karakteristik negara-negara tersebut. Teorema H-O mengatakan bahwa suatu negara yang berlimpah modal akan mengekspor barang capital-intensive di mana negara yang melimpah tenaga kerja akan mengekspor barang labor-intensive. Perputaran perdagangan akan naik sampai harga kedua barang akan sama pada kedua pasar tersebut.

Teori Leontief Paradox (1953)
Pengujian empiris dari teori Heckscher-Ohlin yang dilakukan oleh Leontief terdapat kontradiksi dari teori tersebut. Penemuan kontradiksi tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat mengimpor lebih banyak capital-intensive dari pada labor-intensive. Padahal kondisi Amerika Serikat lebih unggul untuk capital-intensive.

Teori Spesifikasi Barang (Linder: 1961)
Terdapat perbedaan perdagangan pada masing-masing jenis barang,
· untuk komoditas dan barang resource-intensive: perdagangan ditentukan oleh biaya relatif dari produksi dan faktor endowment,
· untuk barang manufaktur: perdagangan ditentukan oleh persamaan permintaan produk, karena segmen pasar dirinci oleh tingkat pengalaman produk dan tingkat pendapatan.

Daya Saing Internasional

Teori Keunggulan Daya Saing (Porter: 1980, 1985, 1987, 1990)
Menurut Porter, keunggulan komparatif dapat ditemukan pada tingkat perusahaan dan pada tingkat nasional. Empat atribut dalam membangun keunggulan dari suatu negara digambarkan oleh Porter sebagai suatu skema berbentuk berlian, empat atribut tersebut adalah:
1. Kondisi faktor, seperti: tenaga trampil dan prasarana,
2. Kondisi permintaan dan tuntutan mutu dalam negeri untuk hasil industri tertentu,
3. Eksistensi industri terkait dan pendukung yang berdaya saing,
4. Strategi, struktur dan persaingan antarperusahaan.
Selain itu terdapat korelasi yang cukup signifikan dengan variabel peran pemerintah untuk menciptakan keunggulan daya saing nasional dan adanya faktor kebetulan (penemuan baru, melonjaknya harga, perubahan kurs dan konflik keamanan antarnegara). Semakin tinggi tingkat persaingan antarperusahaan di suatu negara, maka semakin tinggi pula tingkat daya saing internasionalnya.

Terdapat dua prinsip fundamental agar tetap survive dan berkembang dalam lingkungannya berdasarkan persoalan berikut: (1) bagaimana bentuk struktur industri tersebut dan bagaimana perkembangannya, dan (2) bagaimana posisi perusahaan tersebut di dalam industri yang ada.
Berdasarkan dua pertanyaan tersebut, ada lima kekuatan kompetisi yang menjadi bahan pertimbangan, yaitu :
1. Karakter persaingan diantara pesaing-pesaing yang terlibat,
2. Ancaman yang muncul akibat pesaing baru, jika peusahaan lain dengan mudah masuk ke dalam industri,
3. Kemungkinan ancaman dari produk atau jasa pengganti,
4. Bargaining position para pemasok,
5. Bargaining position konsumen.
Sebuah perusahaan dapat mencapai keunggulan daya saing apabila biaya relatif rendah (efisiensi) dan berbeda (kekhususan). Dan sebuah perusahaan dapat memenangkan suatu keunggulan daya saing melalui konfigurasi yang lain (perubahan dari terpusat menjadi terbagi) atau koordinasi (dari tinggi sampai rendah) atau keduanya.
Suatu perusahaan mempunyai keunggulan daya saing disebabkan oleh jumlah produksi, jumlah permintaan produk, keuangan, distribusi, periklanan skala ekonomi, kepemilikan teknologi, merek, atau manajemen sumberdaya manusia.
Sifat keunggulan daya saing adalah mengikis sepanjang waktu dan keunggulan daya saing dapat bertahan melalui peningkatan dan perbaikan yang terus menerus.

Model Sembilan Faktor
Dong-Sung Cho (1997) menjelaskan bahwa kita membutuhkan model yang bisa mengatakan kepada kita, bukannya seberapa banyak tingkat sumberdaya yang sekarang dimiliki oleh suatu negara, tetapi siapa yang menciptakan sumberdaya dan kapan seharusnya setiap sumberdaya itu diciptakan. Model 9 faktor yang diciptakan oleh Dong-Song Cho merupakan pengembangan dari model Porter.

Perbedaan model 9 faktor dari model berlian adalah faktor yang terletak di luar kotak berlian, yaitu keberadaan 4 faktor yang meliputi tenaga kerja, birokrasi dan politisi, kewirausahaan, dan profesional manajer, teknisi dan perancang. Termasuk juga faktor akses dan kesempatan yang merupakan faktor yang mempertajam daya saing internasional.


Pengukuran/pemeringkatan Daya Saing Negara

IMD (Institute for Management Development)
Laporan penelitian IMD tentang peringkat daya saing negara-negara dipublikasikan ke dalam The World Competitiveness Yearbook, yang dimulai sejak tahun 1989. Terdapat 8 faktor kunci yang menentukan daya saing negara, yaitu perekonomian domestik, internasionalisasi, pemerintah manajemen, keuangan, infrastruktur, iptek dan manusia.
Sumber data penelitian ini dari hasil survei dan publikasi. Jumlah negara yang dilibatkan dalam penelitian sebanyak 46 negara.
Adapun keunggulan penelitian IMD ini adalah survei dilakukan secara langsung dan terbesar bila dibandingkan dengan penelitian serupa serta informasi yang diperoleh bersumber dari para eksekutif. Sedangkan kelemahannya berupa latar belakang teoritis lemah, tingkat respon yang rendah dan metodologi yang subyektif serta ketidaksesuaian pendapat eksekutif untuk daya saing nasional.

WEF (World Economic Forum)
Sejak tahun 1996, laporan urutan daya saing wilayah yang merupakan hasil penelitian WEF dipublikasikan lewat The Global Competitiveness Report. Lembaga sipil, keterbukaan, pemerintah, manajemen, keuangan, infrastruktur, teknologi, tenaga kerja merupakan 8 faktor yang menentukan tingkat daya saing negara menurut WEF. Sumber data diperoleh dari hasil publikasi dan survei. Jumlah negara dalam penelitian sebanyak 53 negara
Keunggulan penelitian ini sama dengan keunggulan penelitian yang dilakukan IMD tetapi lebih baik dalam hal cakupan variabel-variabelnya. Adapun kelemahannya pada umumnya sama dengan IMD. Khususnya tentang basis teoritis yang lemah dan kekurangan antarvariabel, metodologi dan bobot tidak meyakinkan serta ketidakcocokan pendapat para eksekutif untuk daya saing nasional.

IPS (Institute of Industrial Policy Study)
The National Competitiveness Report adalah wadah publikasi hasil penelitian IPS tentang urutan daya saing negara yang dimulai sejak tahun 1998. Faktor-faktor kunci yang mempengaruhi tingkat daya saing negara adalah dua kelompok faktor kunci dan peristiwa peluang. Kedua kelompok faktor tersebut adalah kelompok faktor manusia dan kelompok faktor non manusia. Kelompok faktor manusia terdiri dari 4 faktor, yaitu: pekerja, politisi dan birokrasi, pemilik perusahaan, kaum profesional. Kelompok faktor non manusia terdiri dari 4 faktor, yaitu: sumberdaya, permintaan, industri terkait, lingkungan bisnis. Sumber data diperoleh dari publikasi dan 114 kantor KOTRA. Adapun jumlah negara dalam penelitian sebesar 51 negara, meliputi: 29 OECD, 4 NIC Pertama, 4 NIC Kedua, 15 LDC (Low Development Countries).
Keunggulan penelitian ini karena basis teoritis yang kuat dengan multikolinieritas minimal. Sedangkan kelemahannya terletak pada tidak tersedia data halus sehingga data belum lengkap.


Pengukuran / Pemeringkatan Daya Saing Wilayah/Daerah Di Indonesia

Bank Indonesia-UNPAD (Provinsi)
Studi yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan Bank Indonesia (BI) dan Universitas Padjadjaran menunjukkan bahwa wilayah-wilayah paling maju dan memiliki daya saing tinggi di Indonesia berada di Jawa dan Bali, sedangkan untuk wilayah Sumatera hanya Sumatera Utara (peringkat 12), satu tingkat di atas median (nilai tengah). Wilayah Sulawesi memiliki daya saing moderat, untuk wilayah Papua, Maluku dan Nusa Tenggara semuanya berada di bawah median.
Dengan demikian dapat dikatakan motor penggerak percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebenarnya adalah wilayah Sulawesi. Dalam studi disebutkan bahwa Kalimantan Timur menduduki peringkat kedua (2) dari segi daya saing daerah, predikat tersebut lebih dikarenakan adanya sentra ekonomi eksploratif, yaitu tambang berupa gas alam dan sektor kehutanan yang relatif uncoupling dengan kegiatan ekonomi masyarakat.

KPPOD-KADIN
Penelitian yang dilakukan KPPOD dan KADIN tentang pemeringkatan daya tarik investasi kabupaten/kota di Indonesia sampai dengan saat ini telah dilakukan sebanyak dua kali. Pertama dilakukan pada tahun 2001 dan terakhir pada tahun 2002. Pemeringkatan pada tahun 2001 dilakukan terhadap 90 kabupaten/kota, sedangkan pada tahun 2002 semakin banyak kabupaten/kota yang dilibatkan dalam penelitian, yaitu 134 kabupaten/kota.
Pemeringkatan pada tahun 2001 berdasarkan 4 faktor yang mempengaruhinya, faktor-faktor tersebut adalah (i) keamanan; (ii) potensi ekonomi; (iii) peraturan daerah dan (iv) SDM, budaya daerah, infrastruktur dan keuangan daerah. Pembobotan terbesar diberikan untuk faktor keamanan. Pemeringkatan ini terdiri dari 7 indikator utama sebagai parameternya dan terbagi ke dalam 17 sub variabel.
Penelitian tahun 2002 terdapat lima faktor yang digunakan untuk menilai daya tarik investasi. Dari kelima faktor tersebut diperinci ke dalam 14 variabel dan 42 indikator. Kelima faktor yang digunakan adalah (i) kelembagaan; (ii) sosial politik; (iii) perekonomian daerah; (iv) ketenagakerjaan dan produktivitas; dan (v) infrastruktur fisik. Pembobotan terbesar untuk faktor kelembagaan (31 persen) dan kedua adalah faktor sosial politik (26 persen).
Metode penelitian yang digunakan adalah metode AHP (Analitical Hierarchy Process) yang merujuk kepada persepsi dari pelaku usaha serta pengamat ekonomi. Terjadi perbedaan urutan teratas antara hasil penelitian tahun 2001 dan tahun 2002 berdasarkan pemeringkatan daya tarik investasi secara umum. Penelitian tahun 2001 urutan teratas diduduki oleh Kabupaten Bandung, sedangkan penelitian tahun 2002 menunjukkkan urutan teratas diduduki oleh Kota Semarang. Pada penelitian tahun 2001, Kota Semarang tidak termasuk ke dalam lingkup penelitian. Perbedaan hasil pemeringkatan antara tahun 2001 dan 2002 selain disebabkan oleh jumlah kabupaten/kota yang terlibat, juga karena jumlah dan jenis faktor yang mempengaruhinya serta perbedaaan besarnya pembobotan dari faktor-faktor tersebut.

The Jawa Post Institute of Pro-Otonomi (Jawa Timur)
Penelitian oleh institusi ini ingin menunjukkan keberhasilan otonomi daerah melalui kemajuan daerah yang akhirnya dapat mendorong persaingan sehat antardaerah dan mengurangi sisi-sisi negatif dari pelaksanaan otonomi daerah. Besarnya PAD (Pendapatan Asli Daerah) bukan merupakan kriteria dominan bagi kemajuan suatu daerah dan lebih menghargai tingginya tingkat tabungan masyarakat.
Kategori prestasi kemajuan otonomi meliputi (i) prestasi otonomi, (ii) kontraprestasi otonomi dan (iii) stagnasiprestasi otonomi. Untuk masing-masing daerah, nilai kemajuannya ditentukan oleh akumulasi selisih nilai parameter dalam indeks prestasi otonomi terhadap parameter dalam indeks kontraprestasi otonomi, setelah dikalikan dengan masing-masing bobot sebagai parameter.
Tahap awal untuk menentukan tingkat kemajuan daerah, ditetapkan tiga parameter. Pertama, parameter skala kehidupan ekonomi (economic live-scale). Parameter ini diukur melalui seberapa jauh pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), kesinambungan (sustainability) serta pemberdayaan (empowerment). Kedua, parameter layanan publik (public services). Parameter kedua ini diukur berdasarkan kualitas layanan publik berupa indikator-indikator sentral yaitu sufisiensi, efisiensi dan fasilitas. Ketiga, parameter resiko-resiko lokal. Parameter ini diwakili oleh indikator resiko keamanan, stabilitas, demokrasi dan otonomi.
Pemeringkatan terhadap keberhasilan otonomi yang dimulai pada tahun 2001 sampai saat ini (terakhir tahun 2003) hanya untuk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Peringkat tertinggi untuk tahun 2001 dan tahun 2002 diperoleh Kota Surabaya (ibukota Provinsi Jawa Timur). Namun untuk tahun 2003 peringkat tertinggi ditempati oleh Kabupaten Lamongan dan Kabupaten Lumajang.

PKTPW-BPPT (Kabupaten/Kota)
Dengan menggunakan data sekunder yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tim studi P2KTPW-BPPT melakukan pemeringkatan daya saing wilayah dalam perspektif teknologi untuk 119 kabupaten/kota di Jawa dan Bali pada tahun pertama dan 177 kabupaten/kota untuk luar Jawa dan Bali meliputi Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara pada tahun kedua. Kajian tersebut dilakukan berdasarkan dua kelompok indikator, yaitu indikator iklim teknologi dan indikator kemampuan teknologi.
Hasil dari penelitian ini berupa indeks daya saing wilayah dalam perspektif teknologi. Berdasarkan indeks tersebut, untuk wilayah Jawa dan Bali urutan 10 teratas diduduki oleh kelompok dengan status kota. Begitu juga dengan wilayah luar Jawa dan Bali (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara), kelompok daerah dengan status kota menduduki peringkat 10 teratas.

Perspektif Teknologi

Definisi Teknologi
Teknologi adalah semua pengetahuan, produk, proses, peralatan, metode dan sistem yang digunakan dalam penciptaan barang dan dalam penyediaan jasa (Khalil, 2000). Teknologi selalu tersedia pada setiap proses transformasi produksi dan/atau operasi, yaitu proses mengubah input menjadi output.

Komponen Teknologi
Teknologi tersebut selanjutnya dirinci dalam empat komponen teknologi, yaitu:
1. Technoware (T): object-embodied technology=physical fasilities=perangkat teknis=peralatan produksi, mencakup: peralatan, perlengkapan, mesin-mesin, kendaraan bermotor, pabrik, infrastruktur fisik dan barang modal lainnya yang digunakan dalam mengoperasikan suatu proses transformasi.
2. Humanware (H): person-embodied technology= human abilities= kemampuan sumberdaya manusia, meliputi: pengetahuan, keterampilan/keahlian, kebijakan, kreatifitas, prestasi dan pengalaman seseorang atau sekelompok orang dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan/atau input antara yang tersedia.
3. Infoware (I): document-embodied technology= documented fact= perangkat informasi, berkaitan dengan proses, prosedur, teknik, metode, teori, spesifikasi, desain, observasi, manual dan fakta lainnya yang diungkapkan melalui publikasi, dokumen dan cetak biru.
4. Orgaware (O): institution-embodied technology= organizational frameworks= perangkat organisasi/ kelembagaan dan peraturan yang dibutuhkan untuk mewadahi perangkat teknis, kemajuan sumberdaya manusia dan perangkat informasi terdiri dari praktek-praktek manajemen, keterkaitan dan pengaturan organisasi untuk mencapai hasil yang positif.

Kerangka Dasar Pengkajian Teknologi
Kerangka dasar untuk mengkaji tentang teknologi meliputi kajian terhadap kandungan teknologi, status teknologi, kemampuan teknologi dan iklim teknologi.


Kandungan Teknologi (technology content)
Analisis kandungan teknologi menggunakan pendekatan teknometrik. Pendekatan ini bertujuan untuk mengukur kontribusi gabungan dari keempat komponen teknologi dalam suatu proses transformasi input menjadi output. Kontribusi gabungan tersebut disebut kontribusi teknologi. Manfaat dari analisis kandungan teknologi ini adalah sebagai alat pendukung pengambilan keputusan dan alat untuk memformulasikan kebijakan dan perencanaan pembangunan.

Status Teknologi (technology status): industri
Pengkajian status teknologi dapat digunakan untuk menunjukkan perbandingan atau perbedaan tingkat teknologi antarnegara atauantar wilayah pada level industri yang sama. Hasil kajian tersebut digunakan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil dalam pengembangan teknologi secara tepat, cepat dan efisien.
Terdapat enam aspek yang berkaitan dengan model pengkajian status teknologi. Keenam aspek tersebut adalah (i) karakteristik komponen teknologi; (ii) nilai tambah kandungan teknologi; (iii) kandungan impor; (iv) kandungan ekspor; (v) tahap pengembangan teknologi; dan (vi) tingkat inovasi.

Kemampuan Teknologi
Pengkajian kemampuan teknologi pada dasarnya merupakan gabungan antara kemampuan mengembangkan teknologi sendiri dan kemampuan mengasimilasikan teknologi impor. Kemampuan menggabungkan keduanya juga ditentukan oleh seberapa jauh infrastruktur pengembangan teknologi yang tersedia. Selain itu juga dipengaruhi oleh profil sumberdaya alam dan sumberdaya manusia.

Iklim Teknologi (technology climate): Makro Spasial
Analisis iklim teknologi dapat menyediakan informasi mengenai kekuatan dan kelemahan suatu wilayah berkaitan dengan budaya teknologi, yaitu sesuatu yang mengacu kepada sikap berpikir. Iklim teknologi dapat diciptakan melalui pendidikan teknologi termasuk mempopulerkan teknologi dalam rangka meningkatkan kesadaran akan pentingnya teknologi, masyarakat teknologi dan komunitas teknologi. Berdasarkan pengkajian iklim teknologi, banyak program yang harus dirumuskan dan dilaksanakan untuk memfasilitasi pengembangan budaya teknologi, seperti gerakan iptek, media massa, televisi, technology expo, perpustakaan ilmiah populer dan pengembangan sikap terhadap teknologi.

Kebutuhan Teknologi (technology need): Spasial.
Analisis kebutuhan teknologi dimaksudkan untuk merumuskan resep normatif dalam mencapai kemandirian teknologi dalam bidang-bidang tertentu. Analisis kebutuhan teknologi perlu dilaksanakan secara paralel dengan analisis kemampuan teknologi. Hasil analisis kebutuhan dan kemampuan teknologi secara bersama-sama akan digunakan oleh pihak yang berwenang untuk mengidentifikasi kesenjangan teknologi yang harus dijembatani, sehingga dapat ditentukan spesialisasi jenis teknologi yang perlu dikembangkan.


Dayasaing Wilayah: Perspektif Teknologi

Keunggulan wilayah dalam penguasaan, pengembangan dan atau pemanfaatan teknologi akan menentukan dayasaing wilayah tersebut. Dalam hal wilayah tersebut mempunyai kemampuan dan unggul relatif terhadap wilayah yang lain, maka wilayah tersebut dapat dikatakan mempunyai posisi daya saing dalam perspektif teknologi yang baik.
Posisi strategis daya saing tersebut ditentukan oleh lingkungan eksternal, yaitu iklim teknologi, dan lingkungan internal, yaitu kemampuan teknologi.

Iklim Teknologi
Iklim teknologi adalah faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi komponen teknologi (T,H,I,O) dan tingkatan/ hirarki (perusahaan, industri, sektor, dan spasial) pengkajian.

Indikator iklim teknologi berupa:
a. Umum: tingkat perkembangan sosial ekonomi
b. Fasilitas kegiatan: keadaan sarana dan prasarana
c. Ketersediaan personil iptek dan pengeluaran anggaran untuk litbang
d. Produktivitas yaitu skenario iptek dalam sistem produksi.
e. Sumberdaya dasar: skenario iptek di dunia akademis
f. Tingkat inovasi: kemajuan dan usaha pada bidang khusus
g. Peraturan dan intensif: komitmen makro pengembangan iptek.


Kemampuan Teknologi
Kemampuan teknologi adalah kemampuan suatu wilayah untuk mengembangkan teknologinya sendiri serta mengasimilasikan berbagai jenis teknologi impor. Kemampuan teknologi ditentukan oleh (i) kualitas sistem pendidikan; (ii) kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana sistem produksi; (iii) efektifitas dan fasilitas litbang; (iv) kekuatan untuk melakukan perundingan dan penawaran dan (v) perdagangan internasional. Adapun indikator kemampuan teknologi berupa (i) profil sumberdaya alam; (ii) profil sumberdaya manusia; (iii) profil infrastruktur teknologi dan (iv) profil struktur teknologi.
Menurut Frasman (1984), elemen-elemen kemampuan teknologi berupa :
a. Kemampuan mencari berbagai alternatif teknologi yang ada, baik lokal maupun impor,
Kemampuan mengadaptasi dan menguasai teknologi impor dan mengaplikasikannya ke dalam proses produksi lokal,
Kemampuan mengembangkan teknologi yang sudah ada sebagai bagian dari proses inovasi secara bertahap.
Kemampuan melembagakan upaya-upaya inovasi yang bersifat unggulan.
Kemampuan menyelenggarakan penelitian dasar.

Sedangkan menurut UNIDO (1986), elemen-elemen tersebut meliputi :
· Kemampuan mendidik dan melatih sumberdaya manusia
· Kemampuan melaksanakan penelitian dasar
· Kemampuan membangun fasilitas labolatorium
· Kemampuan mencari, mengenali dan mengadaptasi teknologi.
· Kemampuan menyediakan fasilitas penunjang dan jaringan informasi.

Tidak ada komentar: