Analytical Hierarchy Process (AHP) diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1980. AHP merupakan sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Karena menggunakan input persepsi manusia, AHP dapat digunakan untuk mengolah data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Selain itu AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi obyektif dan multi kriteria yang didasarkan pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hierarki.
Untuk membuat AHP terdapat empat prosedur yang harus dilakukan yaitu pembentukan hierarki, pair – wise comparison, pengecekan konsistensi, dan evaluasi. Hierarki dibentuk untuk menyederhanakan suatu masalah yang rumit menjadi lebih terstruktur. Sebuah hierarki menunjukkan pengaruh tujuan dari level atas sampai level paling bawah. Pembentukan hierarki dapat dilihat pada gambar 5. Pair – Wise Comparison merupakan perbandingan berpasangan yang digunakan untuk mempertimbangkan kriteria – kriteria keputusan dengan memperhitungkan hubungan antara kriteria dengan sub kriteria itu sendiri. Pengisian Pair – Wise Comparison ini dilakukan oleh para expert melalui pembuatan kuesioner. Kuesioner untuk Pair – Wise Comparison dapat dilihat pada tabel 11. Sedangkan penilaian Pair – Wise Comparison dilakukan dengan menggunakan skala berdasarkan tingkat kepentingannya.
Hasil pengisian Pair – Wise Comparison kemudian diolah untuk menentukan bobot pada setiap kriteria dalam menentukan alternatif keputusan. Pengolahan ini menggunakan tiga langkah yaitu menentukan geometric mean, melakukan proses normalisasi, dan menentukan bobot nilai. Dalam menentukan geometric mean, formulasi yang digunakan adalah:
MG = ……………………………(1)
Dimana:
MG = Geometric Mean
Xi = Atribut ke – I
n = Jumlah atribut
Proses normalisasi dilakukan dengan membuat proporsi geometric mean. Formulasi yang digunakan dalam proses normalisasi adalah
Pi = ………………..……………(2)
Dimana:
Pi = Proporsi atribut ke – i.
MGi = Geometric mean atribut ke – i.
N = Jumlah atribut.
Bobot nilai tiap alternatif terhadap kriteria ditentukan dengan formulasi sebagai berikut:
Vi = ……………………………(3)
Dimana:
Pi = Proporsi atribut ke – i.
Vi = Bobot nilai atribut ke – i.
Wi = Bobot kriteria ke – i.
Setelah bobot nilai tiap alternatif terhadap kriteria diperoleh, maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah pengecekan konsistensi. Pengecekan konsistensi dilakukan untuk mengetahui apakah perbandingan berpasangan yang sudah dibuat masih berada di dalam batas kontrol penerimaan atau tidak. Apabila berada di luar batas maka dapat diartikan terjadi ketidakkonsistenan. Ketidakkonsistenan menyebabkan hubungan pada matriks berpasangan menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Penyimpangan ini dinyatakan dengan Consistency Index (CI) yang diformulasikan sebagai berikut:
CI = ………………………….(4)
Dimana:
= eigen value maksimum
n = Ukuran matriks.
Untuk mengetahui konsistensi penilaian yang dilakukan oleh pengambil keputusan, maka perlu dilakukan perhitungan Consistency Ratio (CR) yang diformulasikan sebagai berikut:
CR = …………………………………(5)
Dimana:
CI = Consistency Index
RI = Ratio Index
Batasan diterima tidaknya konsistensi suatu matriks sebenarnya tidak ada yang baku. Tetapi berdasarkan beberapa eksperimen dan pengalaman, perhitungan dianggap konsisten apabila nilai Consistency Rationya lebih kecil dari10%.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar