Jumat, 22 Agustus 2008

Transformasi Organisasi

Setiap organisasi dalam menghadapi perkembangan zaman dituntut untuk dapat tetap bertahan dan tidak runtuh. Maka untuk menghadapinya, organisasi harus dapat melakukan inovasi dan kreatifitas agar tidak termakan oleh pesatnya perkembangan zaman. Selain untuk menghadapi perkembangan zaman, transformasi juga dilakukan untuk melakukan perbaikan terhadap barang atau jasa yang dihasilkan guna memuaskan keinginan pelanggan. Berikut ini beberapa jalan agar organisasi dapat bertahan ditengah perkembangan yang terjadi , yaitu :
Merubah satuan yaitu menambah satuan, mengurangi satuan, merubah kedudukan satuan, merubah sistem sentralisasi menjadi desentralisasi atau sebaliknya, merinci kembali kegiatan
Merubah tata cara kerja, misalnya : tata tertib, syarat-syarat melakukan pekerjaan.
Meningkatkan kemampuan pekerja (mengadakan pelatihan)
Melengkapi sarana kerja, menambah perlengkapan kerja.

Pada dasarnya seluruh kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu, kelompok maupun organisasi adalah suatu kegiatan transformasi mengubah input menjadi output.
Heizer mengelompokkan proses transformasi untuk organisasi bisnis kedalam 7 bentuk yaitu :
· transformasi fisik
· fisiologis
· Lokasi
· Informasi
· Penyimpanan
· Pertukaran
· sikap. (FFLIPPS).
Pengelompokan tersebut sebetulnya dapat dimanfaatkan langsung oleh organisasi pemerintahan daerah untuk mempertajam pemahaman pemerintah daerahnya tentang segala macam bentuk kegiatan bisnis yang dilakukan oleh masyarakatnya baik secara individu, kelompok maupun organisasi.
Input yang digunakan oleh masyarakat setempat dalam melakukan proses transformasinya sebagian besar adalah sumberdaya yang tersedia di daerah tersebut baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sarana dan prasarananya.
Proses transformasi yang terkait dengan seluruh kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat tentunya mencakup berbagai kombinasi dari 7 macam proses transformasi bisnis yang dikelompokkan oleh Heizer. Selain itu dalam manajemen daerah harus ditambah lagi dengan 4 macam transformasi yaitu transformasi politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum/teknologi (PESH/T) untuk menciptakan iklim yang kondusif. Keempat aspek tersebut dalam manajemen bisnis biasanya hanya diperlakukan sebagai faktor eksternal yang bersifat given dan perlu diketahui sebatas tingkat kecenderungannya (trend) dan dampaknya pada bisnis dalam bentuk peluang atau ancaman.
Ouput yang dihasilkan dari seluruh kegiatan masyarakat baik hasil murni masyarakat setempat maupun hasil kerjasama dengan masyarakat lain di luar daerah tersebut pada dasarnya merupakan output dari kegiatan manajemen daerah, termasuk platform politik, ekonomi, sosial-budaya dan hukum/teknologi.
Dengan demikian manajemen daerah yang profesional dan produktif sangat ditentukan oleh seberapa jauh pemerintah daerah mampu mengarahkan seluruh kegiatan masyarakat dengan memanfaatkan berbagai bentuk proses transformasi yang ada sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah dan peluang yang mampu ditangkap baik secara nasional, regional maupun international.
Politik di dalam perusahaan itu exist, dan tak hanya exist, ia sudah menjadi keseharian operasi perusahaan. Dalam menangani proyek transformasi, corporate politics semacam ini selalu saja ada. Tentu dengan kadar dan variasi yang berbeda-beda. Kenapa ia ada, ya karena orang, departemen, divisi, maupun direktorat yang ada di dalam organisasi memang memiliki kepentingannya masing-masing.
Kepentingan-kepentingan itu sering kali bisa disatukan oleh visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. Namun, sering kali juga ia tak bisa dilebur, sehingga muncul friksi dan konflik. Konflik ini sampai pada level tertentu barangkali memang bisa dikelola, namun kalau sudah tidak ketulungan ia akan tak terkontrol dan berdampak destruktif bagi organisasi.
Corporate politics adalah persoalan utama dan pertama bagi perusahaan yang baru bangun dari krisis organisasi dan sedang bangkit untuk melakukan transformasi. Karena ia menjadi ''pintu gerbang'' bagi proses transformasi berikutnya. Seperti yang dikemukakan Noel Tichy (bukunya yang fenomenal, Control Your Destiny or Someone Else Will) bahwa transformasi organisasi akan selalu dimulai dari political change (membebaskan onak dan duri intrik politik di dalam organisasi), diikuti technical change (implementasi strategi), baru kemudian cultural change (menanam atau istilah keren-nya anchoring perubahan yang sudah dihasilkan oleh political dan technical change sebelumnya ke dalam budaya perusahaan). Begitu political change gagal dieksekusi, saya pesimistis guliran transformasi bisa dipicu dan dilanjutkan. Selama political change ini tak bisa dituntaskan, ia akan selalu menjadi ganjalan bagi guliran bola salju transformasi.
Celakanya, menuntaskan politik di dalam perusahaan memang tak gampang. Untuk meleburkan semua kekuatan dan kelompok politik di dalam organisasi dibutuhkan seorang pemimpin yang holistik dan mampu melihat kelompok-kelompok tersebut secara holicopter view. Tak hanya itu, untuk melebur kelompok-kelompok ''partisan'' tersebut sering kali dibutuhkan seorang otoriter yang keras dan tegas dalam mengambil keputusan dan berani mengambil risiko dalam membabat habis kelompok-kelompok tersebut. Itu sebabnya sebuah perusahaan, salah satu klien juga, butuh waktu hampir lima tahun untuk ''menunggu'' datangnya pemimpin macam ini, sebelum akhirnya tembok besar yang menyumbat proses transformasi bisa didobrak.
Menanggapi adanya corporate pilitics ini, Pertama, jangan tutup mata Anda terhadap adanya persoalan politik di dalam organisasi. Kedua, jangan anggap enteng untuk cepat menuntaskannya, sekecil apa pun persoalan tersebut.

Salah satu penyebab utama gagalnya transformasi organisasi bukan karena kesalahan visi, strategi, dan implementasi, melainkan “tidak terbeli”-nya gagasan transformasi di hati para eksekutornya. Mengerti dan memahami arah dan tujuan transformasi sangat penting, tetapi menyetujui dengan hati adalah soal lain. Di sinilah sering terjadi gap antara yang dilihat oleh mata pemimpin dan yang dirasakan oleh yang dipimpin.

Kepiawaian mengkomunikasikan gagasan kepada seluruh jajaran dan jenjang organisasi adalah modal utama. Membuat mereka mengerti secara intelektual harus selalu diupayakan secara maksimal. Ditambah lagi, fokus pada pertanyaan khalayak, ”Kalau sudah begitu, lalu apa yang saya akan peroleh?” sangat penting karena pada akhirnya transformasi, apa pun bentuknya, harus membuat mereka mendapat ”lebih” dari pekerjaan yang biasanya mereka lakukan. ”What’s in for me?” Ini yang harus juga dikomunikasikan paralel dengan ”What will we do to achieve the target?” Fase ini sudah masuk ke arena emosional, walaupun masih sebatas urusan perut.

Infiltrasi gagasan transformasi yang makin dalam akan masuk ke arena jiwa yang menjawab pertanyaan, ”Nilai-nilai apa yang saya dapatkan dengan melakukan transformasi?” Ini bicara soal reposisi diri dari sekadar “human doing”, pekerja atau karyawan sebagai bagian dari sebuah proses produksi atau sudah mengarah ke “human resources”, “human capital”, atau menjadi diri sesuai citra Sang Khalik, yakni “human being”. Transformasi yang mengubah citra diri mereka menjadi “manusia seutuhnya”, walaupun dengan serangkaian target finansial yang amat tinggi, akan lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan transformasi yang mengubah tebal kantong mereka.

Apalagi kalau transformasi organisasi dilakukan untuk mewujudkan sebuah aplikasi praktis dari keyakinan yang hakiki (belief) dalam praktek manajemen sehari-hari, hasilnya akan makin kuat walaupun hal ini sangat sukar pada awalnya. Misalnya, transformasi produk dari sekadar meng-copy produk pesaing atau bahkan memalsu merek pesaing menjadi merek sendiri, akan membawa ketenangan sekaligus ketegangan dalam implementasinya. Namun, dalam jangka panjang, transformasi yang menyangkut masalah belief akan makin kokoh dengan berjalannya waktu dibandingkan transformasi untuk mencapai target bilangan dan angka-angka kinerja material.

Kepiawaian merelasikan seluruh visi, strategi, dan rencana implementasi dalam tiga dimensi kinerja intelektual, emosional, dan spiritual yang berhubungan dengan keyakinan, inilah yang dibutuhkan para pemimpin di era globalisasi dan transparansi seperti sekarang ini. Sungguh sangat naif apabila pemimpin hanya terus mengumbar nafsu dengan memfokuskan perkembangan usaha hanya sekadar mengejar target bilangan, apalagi kalau sekadar meraih puncak baru dari pangsa pasar dan keuntungan.

Kalau pemimpin terjerat dengan target bilangan sebagai ”The name of the game”, bukan ”The score of the game”, maka transformasi tadi akan menghasilkan organisasi yang haus darah. Budaya perusahaan menjadi kering dan gersang―ini hanya cocok untuk kumpulan serigala. Ini yang harus dihindari. Budaya memang sulit diubah, tetapi sebaliknya kalau sudah jadi budaya juga sulit mengubahnya.

Kalau pemimpin masih memenuhi pikirannya bahwa mereka bisa membeli hati pekerja, politisi, dan birokrasi dengan uang, posisi, dan semua kegelimangan materi, ia akan makin menderita. Kenaikan suhu pelaksanaan nilai agama akan makin mengikis habis hawa nafsu seperti itu. Hanya soal waktu bahwa akan makin banyak pekerja yang berkompetensi tinggi (artinya tak perlu menyuap untuk dapat proyek), pemasok yang berkualitas (artinya tidak perlu memberi komisi untuk menutupi kualitas rendah pasokannya), atau pelanggan yang ingin produk berkualitas dan tidak sekadar harga rendah, yang menjadi raja dalam komunitas bisnis di masa mendatang.

Hanya soal waktu bahwa pemimpin yang memperhatikan sistem dan praktek manajemen yang berbasis ”ghost” akan segera berganti dengan ”good” menuju ke arah ”great” dan akhirnya bersandar pada titik yang paling kokoh, yakni ”God”. Hanya soal dimensi kesempatan saja karyawan akan memilih bergabung dengan perusahaan yang berfalsafah karyawan sebagai ”human being”, memperhatikan karyawan sejak dari perekrutan sampai ia meninggal, tidak sekadar sampai pensiun, yang jadi incaran tempat meniti karier.

Hanya soal waktu pula pemasok hanya akan memilih mitra yang tidak menekan biaya, tetapi memberi keuntungan yang wajar. Menolong tatkala ada kesulitan arus kas. Mitra yang membuat mereka menjadi kokoh dan makin besar. Hanya soal waktu pula pelanggan akan memilih perusahaan yang bukan hanya mampu memberi produk dengan kualitas terbaik, tetapi juga produk dengan produktivitas terbaik. Menolong pelanggan dalam berbagai aspek bisnis, tidak sekadar hubungan penjual dan pembeli. Hanya soal waktu saja, pemerintah akan memiliki pegawai pajak yang senang melayani perusahaan yang bersih dan cermat.

Hanya soal waktu, pemimpin yang memiliki pola pikir ke arah yang baik, benar, berguna, dan membangunlah yang akan menjadi panutan organisasi di masa mendatang.

Dalam bahasa saya, dunia bisnis dan organisasi sedang bergerak dari sekadar mencapai kinerja intelektual untuk meraih target angka dan bilangan untuk menuju ke status “good to great”, menuju ke kinerja emosional untuk meraih target nilai menuju status “built to last”, lalu akan tenang bermuara di kinerja spiritual untuk meraih target keyakinan menuju status “built to bless”.
Contoh transformasi organisasi yang terjadi pada perusahaan :
a. Bank Indonesia
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak lainnya.Sebagai suatu lembaga negara yang independen, Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang tersebut.Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.Untuk lebih menjamin independensi tersebut, undang-undang ini telah memberikan kedudukan khusus kepada Bank Indonesia dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Sebagai Lembaga negara yang independen kedudukan Bank Indonesia tidak sejajar dengan Lembaga Tinggi Negara. Disamping itu, kedudukan Bank Indonesia juga tidak sama dengan Departemen, karena kedudukan Bank Indonesia berada diluar Pemerintah.Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih efektif dan efisien.
Sebagai Badan Hukum, Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
b. Transformasi Organisasi Pertamina Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Pertamina (Persero) beberapa waktu lalu menarik untuk dicermati. Pasalnya, keputusan pengangkatan anggota direksi dan komisaris baru tersebut cukup kontroversial. Pada jajaran komisaris, terdapat beberapa nama beken dari kalangan pemerintah. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN) Laksamana Sukardi diangkat sebagai Presiden Komisaris (Preskom). Selanjutnya, selaku anggota, diangkat Syafruddin A Tumenggung (Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan Roes Aryawijaya (Deputi Menneg BUMN).Sepak terjang dan gerak-gerik Pertamina sebagai BUMN basah” yang memiliki modal disetor Rp100 triliun ini, tentu banyak menarik perhatian berbagai kalangan. Selain peranan strategisnya dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi di Indonesia, perusahaan pelat merah ini juga disinyalir banyak pihak sebagai BUMN yang rawan korupsi. Setidaknya, untuk waktu silam. Karenanya, pengangkatan Menneg BUMN selaku Preskom di Pertamina mengundang berbagai tanda tanya. Selain posisinya sebagai petinggi partai persiden saat ini (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan - PDIP) yang sarat akan kepentingan politik, Laksamana selaku Meneg BUMN juga tampaknya tidak tepat menempati jabatan tersebut. Bahkan anggota Komisi VIII DPR, Djusril Djusan, mempertanyakan pengangkatannya sebagai Preskom karena dianggap bisa menimbulkan masalah bagi negara (Kompas 19/9). Masa LaluSebelum berlakunya UU No.19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) tanggal 19 Juni 2003, peraturan yang mengatur perusahaan negara adalah UU No.19/ Prp/1960 tentang Perusahaan Negara (UU No.19/ Prp/1960) dan UU No.9/Prp/1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara (UU No9/Prp/1969). Berdasarkan peraturan tersebut (sebelum berlaku UU BUMN), dengan memperhatikan sifat usaha dan maksud tujuan didirikannya BUMN (kecuali ditetapkan lain oleh UU), Perusahaan Negara (PN) dibedakan menjadi tiga macam, yaitu Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero). Dari kategori tersebut, Pertamina adalah PN yang didirikan berdasarkan UU yaitu UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (UU Pertamina). Karenanya, bentuk usahanya berbeda dengan Perjan, Perum, atau Persero. Menurut UU ini, Pertamina memiliki modal yang dipisahkan dari kekayaan negara dan tidak terbagi atas saham-saham.Berdasarkan UU Pertamina yang kemudian dijabarkan oleh Keputusan Presiden No.169/2000 tentang Pokok-pokok Organisasi Pertamina (Keppres Pertamina), organisasi Pertamina dipimpin dan diurus oleh Direksi yang bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris Pemerintah (DKP) selaku pembina dan pengawas. Sedangkan menyangkut segi-segi pengusahaan, Direksi bertanggung jawab kepada Menteri Pertambangan. DKP menetapkan kebijaksanaan umum Pertamina, mengawasi pengurusan dan mengusulkan kepada pemerintah langkah yang perlu diambil guna menyempurnakan pengurusan, termasuk susunan Direksi Pertamina. DKP bertanggung jawab kepada presiden. Untuk melakukan hal-hal berikut ini, Direksi diwajibkan meminta persetujuan lebih dahulu dari DKP, yaitu: (i) menjaminkan kekayaan Pertamina, (ii) meminjam dalam jumlah yang melebihi jumlah tertentu yang telah ditetapkan DKP, (iii) mendirikan anak perusahaan atau mengadakan penyertaan, dan/atau (iv) mengadakan perjanjian/kontrak pembelian dan penjualan yang sifat dan besarnya akan ditetapkan DKP. DKP terdiri atas tiga orang anggota, yaitu (eks officio) Menteri dalam bidang Pertambangan sebagai ketua merangkap anggota, Menteri Keuangan sebagai wakil merangkap anggota, serta Ketua Bappenas sebagai anggota. Apabila dipandang perlu, presiden dapat menambah maksimal dua orang Menteri dalam bidang lainnya Anggota DKP dan anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Masa KiniBerdasarkan pasal 60 UU No.22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) bahwa pada saat UU Migas berlaku (23 November 2001), maka dalam jangka waktu paling lama dua tahun, Pertamina dialihkan bentuknya menjadi Persero dengan Peraturan Pemerintah (PP). Selanjutnya, sebagai pengejawantahannya, pemerintah menerbitkan PP No.31/2003 tentang Pengalihan Bentuk Pertamina Menjadi Persero yang mulai berlaku sejak 18 Juni 2003 (PP Pertamina) dengan 100% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia (Negara RI). Artinya, sejak tanggal tersebut struktur organisasi Pertamina harus sesuai dengan peraturan mengenai Persero, yakni UU No. 9/Prp/1969 dan peraturan pelaksanaannya PP No.12/1998 sebagaimana telah diubah dengan PP No..45/2001 tentang Persero (PP Persro).Sehari setelah berlakunya PP Pertamina (19 Juni 2003), UU BUMN diundangkan dan menyatakan tidak berlaku lagi (mencabut) UU No.19/ Prp/1960 dan UU No.9/Prp/1969. Artinya, Pertamina kini tunduk pada UU BUMN dan pelaksanaanya yakni PP Persero.UU BUMN yang dijabarkan dengan PP Persero menetapkan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas (PT) sebagaimana diatur dalam UU No.1/1995 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Konsekuensinya, organ Persero terdiri dari: RUPS, Direksi, dan Komisaris.Pertamina, yang seluruh sahamnya dimiliki Negara RI, berdasarkan pasal 1 PP No. 64 tahun 2001 tentang Pengalihan Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Persero, Perum, dan Perjan Kepada Menneg BUMN (PP No.64/2001), maka kewenangan untuk menyuarakan kepentingan pemegang saham melalui RUPS adalah diberikan kepada Menneg BUMN.RUPS adalah organ Persero yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Persero dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris. Direksi adalah organ Persero yang bertugas melaksanakan pengurusan Persero, serta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan. Komisaris adalah organ Persero yang bertugas mengawasi dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam menjalankan pengurusan Persero, termasuk pelaksanaan Jangka Panjang dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan, ketentuan Anggaran Dasar serta ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Anggota Direksi dan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh RUPS.Anggota Direksi dilarang memangku jabatan rangkap sebagai (i) anggota Direksi pada BUMN, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), (ii) jabatan struktural dan fungsional lainnya pada instansi/lembaga pemerintah pusat dan daerah, dan/atau (iii) jabatan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Jika merujuk pada ketentuan tersebut, tampaknya ada masalah dengan pengangkatan Direksi baru Pertamina. Setidaknya, ada di antara mereka yaitu Alfred Rohimone yang menjadi Direktur Keuangan Pertamina, pada saat yang bersamaan sedang menjabat Direktur Keuangan PT Transpacific Petrochemical Indotama (PT TPPI). Bahkan menurut Djusril Djusan, PT TPPI ini pernah mengajukan permohonan untuk mendapatkan garansi senilai US$ 670 juta dari Pertamina sebagai jaminan PT TPPI untuk meminjam dana dari Japan Bank Inaternasional Coincortium sebesar US$700 juta ( Kompas 27/.9).Karenanya, Alfred harus meletakkan jabatannya selaku Direksi PT TPPI, jika tetap menginginkan menjabat Direksi Keuangan Pertamina. Kita juga harus terus mengawasi untuk menguji objektivitasnya atas potensi terjadinya conflict of interest yang dihadapi Pertamina dengan PT TPPI, karena sebagian anggota Direksi Pertamina (pernah/masih?) memiliki keterkaitan dengan PT TPPI. Menneg BUMN sebagai Preskom PertaminaPersoalan lainnya adalah diangkatnya Laksamana Sukardi (Menneg BUMN) selaku Presiden Komisari (Preskom) Pertamina. Berkaitan dengan ketertundukan Persero terhadap UU PT, mungkin tidak bermasalah. Suatu hal yang lumrah bagi pemegang saham menempatkan wakilnya di jajaran Komisaris. Bahkan menempatkan dirinya sendiri (tanpa wakil) selaku komisaris. Termasuk pemakluman bahwa karena Pertamina seluruh sahamnya 100% dimiliki oleh Negara RI, dan Menneg BUMN adalah pihak yang mendapat kuasa mewakilinya, maka Menneg BUMN mengangkat dirinya sendiri.Namun, merupakan bencana, jika pengangkatan Menneg BUMN selaku Preskom dan beberapa pejabat (Ketua BPPN dan Deputi Menneg BUMN) merangkap selaku anggota Komisaris Pertamina merupakan ”metomorfosis” atau modifikasi dari DKP saat Pertamina belum berbentuk Persero dan masih tunduk pada UU Pertamina. Kecurigaan ini cukup beralasan.Sebab, Menneg BUMN memilih (hanya?) Pertamina untuk posisinya selaku Preskom. Bukan BUMN lain yang strategis dan penting bagi perekonomian Indonesia yang tidak memiliki akar historis adanya DKP.Sebelum berlakunya UU BUMN, pemerintah tampak sedang mencari sosok dan bentuk hukum yang ideal bagi perusahaan negara. Perusahaan negara khususnya yang bentuknya ditentukan UU, masih memiliki model yang berbeda-beda dan tampak belum dianggap sebagai business entity . Karenanya, kontrol dan aroma birokrasi pemerintahan dengan melibatkan secara langsung Menteri dalam urusan internal perusahaan sangat lekat.Selanjutnya, pasca-berlakunya UU BUMN, paradigma pemerintah terhadap BUMN tampaknya telah mengalami perubahan yang radikal dan cukup revolusioner. Bentuknya disederhanakan hanya menjadi Perum atau Persero. Bahkan untuk Persero dengan ketertundukannya pada UU PT, dapat dikategorikan sebagai private entity yang kebetulan pemegang sahamnya adalah Negara RI.

Tidak ada komentar: