Jumat, 22 Agustus 2008

Hubungan Industrial di Era Kebebasan Berorganisasi

Untuk mengetahui kondisi hubungan industrial di masa transisi saat ini SMERU dengan dukungan PEG-USAID dan Bappenas tertarik melakukan studi kualitatif terhadap 47 perusahaan sampel pada industri manufaktur, perhotelan, dan pertambangan. Studi ini telah dilakukan pada bulan Oktober 2001 di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi (Jabotabek), Bandung, dan Surabaya. Informasi diperoleh dari pihak perusahaan, serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh, instansi pemerintah terkait dan asosiasi pengusaha seperti Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), dan Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo). Selain itu, juga dilakukan penelusuran informasi dari peraturan perundangan pemerintah yang berkaitan dengan hubungan industrial, serta dari berbagai media cetak.
Karakteristik perusahaan yang dipilih sebagai responden antara lain:
i) termasuk dalam kategori perusahaan skala besar (>100 pekerja/buruh), dan sedang (20-100 pekerja/buruh) berdasarkan kriteria BPS;
ii) memiliki serikat pekerja/serikat buruh di tingkat perusahaan (83% dari responden perusahaan);
iii) perusahaan sudah mengalami kasus perselisihan dengan pekerja/buruh1 (83% dari responden perusahaan); dan
iv) perusahaan modal asing atau perusahaan modal dalam negeri.
Tujuan studi ini adalah membantu pemerintah atau pihak yang berkepentingan lainnya dalam memahami secara utuh kondisi hubungan industrial dan ketenagakerjaan di tingkat perusahaan. Dalam melaksanakan studi ini Tim Peneliti SMERU mempelajari hubungan industrial dengan memberikan perhatian khusus pada hubungan antara pekerja, pengusaha/perusahaan, dan serikat pekerja/serikat buruh dalam konteks kebijakan dan peraturan perundangan pemerintah yang berlaku pada saat ini. SMERU berharap agar temuan-temuan dari penelitian ini dapat menyumbang munculnya kebijakan hubungan industrial di masa depan yang mendukung kepentingan semua pihak terkait.2
Hubungan Industrial di Masa Transisi
Saat ini sistem hubungan industrial di Indonesia sedang dalam proses transisi: dari sistem yang sangat terpusat dan dikendalikan penuh oleh pemerintah pusat ke sistem yang lebih terdesentralisasi dimana perusahaan dan pekerja/buruh berunding bersama mengenai persyaratan dan kondisi kerja di tingkat perusahaan. Transisi ini sejalan dengan perubahan dalam konteks sosial dan politik yang lebih luas yang bertujuan untuk mendukung proses demokratisasi dan pengambilan keputusan yang transparan. Sumbangan pemerintah terhadap sistem hubungan industrial yang baru ini tampaknya masih belum memadai, dan hal ini sering menghambat munculnya suatu sistem hubungan industrial yang lebih produktif. Komponen sistem hubungan industrial masih banyak yang dipengaruhi oleh praktek pemerintah pusat di masa lalu yang paternalistik.
Peraturan Perundangan Hubungan Industrial
Dua Rancangan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI) dan Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (RUU PPK) yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menjadi sumber perdebatan di antara serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB), pengusaha, pekerja dan para pengamat perkembangan hubungan industrial di Indonesia. Sebagian besar pekerja/buruh, SP/SB, SP-TP, dan pengusaha menolak proses penyelesaian perselisihan baru yang ditetapkan dalam RUU yang telah mengubah prosedur-prosedur dalam melakukan mediasi, konsiliasi dan arbitrasi. Lebih lanjut, keberadaan Pengadilan Perselisihan Industrial masih terus diperdebatkan karena hanya sedikit yang yakin bahwa adanya peradilan khusus untuk penyelesaian perselisihan industrial akan memperbaiki situasi saat ini. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa peradilan khusus ini hanya akan menambah beban keuangan semua pihak yang terlibat jika mereka tetap memaksakan kasusnya dibawa ke tingkat pengadilan. Umumnya SP/SB cenderung memilih pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1957 dan UU No 12 Tahun 1964.
Peraturan lainnya, khususnya Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 yang mengganti Permenaker No.03/Men/1996, telah mengundang reaksi negatif yang kuat dari para pengusaha. Mereka berpendapat kedua peraturan tersebut terlalu membebani pihak perusahaan. Perubahan beberapa pasal dan keputusan melalui Kepmenakertrans No. Kep-78 dan Kep-111/Men/2000 telah memicu terjadinya konflik dan gejolak para pekerja/buruh secara massal karena perubahan tersebut dianggap menguntungkan pihak pengusaha, sementara pekerja/buruh berpendapat Kepmenaker No. 150 memberikan perlindungan yang memadai bagi mereka. Keputusan pemerintah untuk mengubah Kepmenakertrans No. Kep-78 dan Kep-111/Men/2001 serta memberlakukan kembali Kepmenaker No. Kep-150/Men/2001 pada 15 Juni 2001 menambah kebingungan mengenai peraturan perundangan hubungan industrial saat ini tanpa memberi jaminan atau penyelesaian bagi perdebatan yang berkepanjangan mengenai prosedur penyelesaian perselisihan.
Dinamika Serikat Pekerja/Buruh
Sebagai akibat dari tindakan pemerintah meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 dan UU No. 21 Tahun 2000, jumlah organisasi pekerja/buruh di Indonesia tumbuh menjamur. Namun, kenaikan jumlah organisasi serikat pekerja/serikat buruh tersebut terutama hanya terjadi di tingkat nasional dan di tingkat federasi. Jumlah SP-TP yang terbentuk jauh lebih sedikit daripada jumlah perusahaan-perusahaan skala menengah dan perusahaan skala besar yang beroperasi di wilayah penelitian. Hal ini tidak saja karena sejumlah besar perusahaan masih merasa keberatan atas terbentuknya serikat pekerja/buruh sebab mereka tidak memahami potensi manfaat dari adanya SP-TP, tetapi juga karena para pekerja/buruh belum sepenuhnya memahami manfaat yang akan mereka peroleh jika membentuk serikat pekerja/serikat buruh. Umumnya para pekerja/buruh menunjukkan minat lebih besar terhadap pembentukan SP-TP setelah mereka mengalami keresahan hubungan industrial dalam perusahaannya yang sulit diselesaikan.
Saat ini SP/SB yang ada dapat dibedakan berdasarkan cara pembentukannya. Pertama, SP/SB yang dibentuk sebagai basis bagi para anggotanya untuk menyampaikan keluhan-keluhan mereka kepada perusahaan. SP/SB jenis ini mempunyai misi yang jelas, keanggotaan yang jelas, dan pengelolaan organisasinya baik. Kedua, SP/SB yang dibentuk sebagai basis politik, anggotanya termasuk non-pekerja yang mengklaim bahwa mereka bertindak demi kepentingan pekerja perusahaan. Umumnya, jenis kedua ini tidak mempunyai keanggotaan yang jelas, dan tidak termasuk pekerja dari perusahaan. Ada dugaan bahwa ada hubungan antara beberapa SP/SB jenis ini dengan kelompok-kelompok atau dengan partai politik tertentu.
Temuan SMERU menunjukkan bahwa efektivitas dan profesionalisme SP/SB secara keseluruhan tergantung pada seberapa jauh mereka mampu berorganisasi dan menarik anggota, tingkat pemahaman mereka mengenai peranannya, fungsi, pemahaman terhadap perundang-undangan yang ada, serta kemampuan dalam menyampaikan tuntutan, bernegosiasi, dan apakah mereka mampu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Menurut temuan di lapangan, efektivitas dan profesionalisme SP/SB Gabungan di tingkat kabupaten dan kota dalam memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh selama periode transisi ini sudah memadai. Mereka umumnya siap membela dan mendukung SP-TP dan pekerja pada saat diperlukan penyelesaian perselisihan. SP/SB juga menjadi wahana yang efektif untuk mengurangi keresahan buruh dalam skala besar, karena temuan SMERU menunjukkan bahwa SP/SB cenderung mengutamakan negosiasi di tingkat nasional dan hanya melakukan pemogokan sebagai upaya terakhir. Namun, umumnya peranan SP-TP dianggap lebih penting daripada SP/SB Gabungan karena mereka mempunyai hubungan langsung dengan pekerja/buruh maupun pengusaha yang akan mempengaruhi stabilitas hubungan industrial di Indonesia.
Wakil SP-TP yang diwawancarai beranggapan bahwa Federasi SP/SB yang telah lebih lama terbentuk lebih efektif dan lebih profesional daripada yang baru terbentuk. Karena alasan ini SP-TP cenderung memilih Federasi SP/SB yang lebih berpengalaman dalam berorganisasi dan melaksanakan kegiatannya. Tetapi, Federasi SP/SB yang sama meskipun telah lama terbentuk mungkin saja mendapat penilaian yang berbeda dari wilayah yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pengurus di tingkat kabupaten dan kota sangat mempengaruhi efektivitas gabungan SP/SB.
Perselisihan antara pekerja dan pengusaha di sejumlah perusahaan yang penyelesaiannya belum jelas cenderung menjadi pemicu dibentuknya SP-TP. Umumnya, kebanyakan perusahaan mendukung dibentuknya serikat pekerja/serikat buruh karena mereka memahami manfaat potensial keberadaan SP-TP bagi perusahaan. Tim Peneliti SMERU menemukan bahwa SP-TP jarang dibentuk di perusahaan yang telah memiliki prosedur penyelesaian perselisihan industrial yang efektif. Tim peneliti juga mencatat bahwa umumnya para pengusaha mengakui manfaat SP-TP setelah organisasi ini dibentuk, khususnya ketika harus melakukan perundingan dengan pekerja. Namun, ada sejumlah perusahaan yang mencoba menghalangi dibentuknya SP/SB karena mereka merasa bahwa adanya organisasi pekerja/buruh akan menjadi beban perusahaan. Pada saat yang sama, sejumlah kecil perusahaan justru melontarkan gagasan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh di perusahaannya.
Ratifikasi Konvensi ILO No 87 dan diundangkannya UU No 21, 2000 juga telah memungkinkan pembentukan beberapa SP-TP dalam satu perusahaan. Adanya beberapa SP-TP di dalam satu perusahaan ditemukan di beberapa perusahaan responden. Umumnya hal ini tidak menyebabkan masalah atau menimbulkan konflik di antara serikat-serikat itu. Namun, perusahaan, SP-TP dan pekerja cenderung memilih tidak lebih dari satu SP/SB di dalam satu perusahaan. Mereka mengajukan usul bahwa SP/SB dibentuk berdasarkan persentase jumlah total pekerja dalam tiap perusahaan. Yang lain mengusulkan agar persyaratan minimum jumlah anggota untuk membentuk SP/SB diubah, yaitu dari minimum 10 anggota menjadi 100 orang anggota.
Kesepakatan Bersama dan Penyelesaian Perselisihan
Kebanyakan pengusaha telah memastikan bahwa upah minimum dan hak-hak normatif pekerja telah dilaksanakan meskipun perusahaan sedang menanggung beban berat akibat adanya krisis ekonomi di Indonesia. Di luar isu yang menyangkut upah minimum yang berkaitan dengan kebijakan hubungan industrial, temuan Tim Peneliti SMERU menunjukkan bahwa aspek-aspek hubungan industrial di tingkat perusahaan pada umumnya berfungsi dengan baik. Para pengusaha telah mematuhi peraturan dan kesepakatan baru sebagaimana telah ditentukan melalui perjanjian tripartit. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan perselisihan yang sering muncul di antara pekerja, pengusaha dan perwakilannya dapat diselesaikan melalui perundingan bipartit, mengingat dengan sistem yang ada saat ini hanya sedikit yang menggunakan mekanisme penyelesaian perselisihan tripartit. Baik pekerja maupun pengusaha berpendapat bahwa hanya sedikit indikasi serius mengenai adanya ketegangan dalam hubungan pekerja dan pengusaha. Sekalipun demikian, kedua belah pihak mengakui bahwa saat ini mereka sedang dalam taraf belajar: para pekerja belajar mengenai kebebasan berorganisasi, menyampaikan tuntutannya, dan mencari metode yang lebih baik dalam berunding, sementara pengusaha sedang belajar untuk menganggap pekerjanya sebagai mitra kerja.
Dalam kasus-kasus dimana perselisihan terjadi, temuan penelitian SMERU menunjukkan bahwa penyebab utama pemogokan dan perselisihan hubungan industrial adalah tuntutan pekerja atas hak-hak non-normatif. Hal ini mencerminkan ketidakpuasan pekerja terhadap kondisi kerja; perusahaan tidak memenuhi hak-hak normatif pekerja sebagaimana dicantumkan dalam berbagai aturan yang telah disepakati bersama dalam Kesepakatan Kerja Bersama dan Perjanjian Kerja Bersama; campur tangan dan keterlibatan pihak ke tiga, dan tekanan dari sejumlah pekerja di perusahaan terhadap sesama pekerja lainnya agar turut mendukung semua protes yang dilancarkan.
Untuk mengatasi isu-isu tersebut, adanya berbagai bentuk peraturan kerja (misalnya peraturan perusahaan, perjanjian atau kontrak kerja) adalah cara yang efektif untuk meningkatkan hubungan industrial yang harmonis. Perusahaan yang secara kontinu melaksanakan peraturan perusahaan biasanya benar-benar menjaga hubungan industrial yang baik antara pekerja dan perusahaan. Di samping itu, pengusaha mengakui bahwa perjanjian atau kontrak kerja adalah bahan acuan yang efektif untuk mencari penyelesaian dalam perselisihan hubungan industrial. Namun, semua pihak menyadari bahwa dokumen tersebut tidak menjamin bahwa tidak akan terjadi perselisihan industri atau mencegah terjadinya pemogokan, terutama ketika hal tersebut disebabkan oleh isu-isu di luar tempat kerja, misalnya karena adanya tuntutan kenaikan upah minimum yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM.
Sementara itu, penyusunan perjanjian/kontrak kerja masih tetap menjadi topik kontroversial. Meskipun biasanya baik pengusaha maupun pekerja terlibat dalam penyusunan perjanjian/kontrak kerja, SMERU menemukan bahwa masih ada sejumlah kecil kasus dimana perjanjian/kontrak kerja ditetapkan oleh pihak pengusaha, sedangkan pengurus SP-TP hanya membaca dan menyetujui isinya. Untuk meningkatkan hubungan industrial di masa yang akan datang, baik pengusaha maupun pekerja harus diberi kesempatan untuk ikut menyusun perjanjian kontrak kerja. Dalam menjalankan peranannya sebagai fasilitator, sangat penting bahwa pemerintah memberikan program pendidikan yang mengetengahkan manfaat yang diperoleh bila pengusaha dan pekerja bersama-sama menciptakan dan melaksanakan peraturan tempat kerja, juga bila perselisihan yang ada diselesaikan melalui perundingan.Dalam sistem hubungan industrial yang lebih terbuka dan terdesentralisasi yang menekankan pada perundingan di tingkat perusahaan, dibutuhkan mekanisme penyelesaian perselisihan yang fungsional, jelas, dimana kedua belah pihak mempunyai kedudukan setara sehingga sistem ini dapat diandalkan oleh semua pihak yang terlibat. Sekali lagi, hal ini menggarisbawahi perlunya pemerintah menyusun peraturan perundangan yang tidak hanya memberikan persamaan hak dan tanggung jawab bagi semua pihak, tetapi juga peraturan perundangan yang memberikan kepastian terhadap hubungan industri. Lebih lanjut, untuk mengatasi kesalahpahaman atau menerima informasi yang tidak tepat mengenai peraturan- perundangan itu pemerintah sebaiknya memberikan pendidikan dan bimbingan mengenai pemahaman dan pelaksanaan peraturan dan perundangan terkait di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar: