Jumat, 22 Agustus 2008

Sukses Ketahanan Pangan, Untuk Apa

Sukses Ketahanan Pangan, Untuk Apa Oleh: Hindaryoen Nts
Utak-atik di atas kertas, dengan produksi gabah kering giling sebanyak 179.300 ton (tahun 2004), Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, mempunyai surplus gabah kering giling yang lumayan besar. Ironisnya, seiring dengan terjadinya surplus, penerima beras untuk orang miskin juga meningkat.
engan produksi gabah kering giling (GKG) sebanyak 179.300 ton, setelah dipakai untuk keperluan konsumsi 849.813 jiwa penduduknya, Purbalingga masih mempunyai surplus GKG sebanyak 30.361 ton. Logikanya, dengan tercukupinya kebutuhan pangan utama, maka dengan surplus gabah yang cukup besar itu tidak ada keluarga di daerah ini yang perlu dibantu beras melalui program bantuan beras untuk keluarga miskin (raskin).
Akan tetapi, seiring dengan surplus produksi GKG yang dari tahun ke tahun terus meningkat, jumlah keluarga miskin (gakin) di daerah dengan predikat juara kedua nasional program ketahanan pangan setelah Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, itu yang memperoleh bantuan raskin juga bertambah.
Tahun 2004 bantuan beras raskin untuk daerah ini 1.012.500 kilogram. Jika setiap kepala keluarga (KK) memperoleh bantuan sesuai ketentuan (20 kilogram per KK), jumlah gakin yang mendapat bantuan 50.625 KK. Padahal, jumlah riil gakin di daerah ini lebih dari itu dan sebagian besar keluarga petani.
Sukses pelaksanaan program ketahanan pangan memang tidak dapat hanya dilihat dari aspek produksi padi atau aspek ekonomi semata. Berdasarkan pengertian dan maknanya, ketahanan pangan antara lain tercermin dari ketersediaan pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun kualitas dan keragaman pangan yang dikonsumsi. Selain itu, juga tercermin dari ketersediaan tanaman pangan, tanaman pangan dari sektor perkebunan, hasil perikanan dan peternakan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat, sampai faktor distribusi.
Akan tetapi, sukses melaksanakan program ketahanan pangan seperti diraih Kabupaten Purbalingga tahun 2003 lalu tidak serta-merta membuat nasib petani berubah ke arah yang lebih baik. Petani tetap menjadi sosok penduduk yang masih terpinggirkan akibat keberpihakan terhadap mereka masih rendah.
Jumlah gakin yang cukup besar dan hampir seluruhnya berasal dari keluarga petani menunjukkan bahwa kelompok gakin terbesar dari penduduk di daerah ini adalah petani dan buruh tani yang tidak berdaya.
Ironis memang. Ketika harga gabah melambung—meski karena didongkrak isu kenaikan gaji pegawai negeri sipil, kenaikan harga BBM, dan isu anjloknya nilai rupiah terhadap dollar AS yang tidak dimengerti oleh para petani—kelompok masyarakat yang kehidupannya tidak pernah beranjak lebih baik justru tidak dapat menikmati harga gabah tersebut.
Harga gabah memang tinggi karena GKP (gabah kering panen) berkisar Rp 1.700 per kilogram. Tetapi, harga beras tidak mau kalah karena beras medium saat ini sudah nenembus Rp 3.250 per kilogram. Petani gurem macam saya sulit menjangkau harga beras di atas Rp 3.000. Pasalnya, kenaikan harga gabah itu sebetulnya semu karena kenaikan itu dipengaruhi oleh faktor luar, faktor-faktor nonsaprodi (sarana produksi padi), ujar Wedo (42), petani warga Desa Sumilir, Kecamatan Kemangkon.
Artinya, kendati harga GKG saat ini lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah, harga yang terbentuk oleh pasar itu tidak dapat menutup biaya produksi yang terus membubung.
Harga semu
Menurut Harsono (48), petani warga Mrebet, Kecamatan Mrebet, baru pada panen masa tanam (MT) II tahun 2005 harga gabah di pasaran (di tingkat petani) melampaui harga pembelian pemerintah. Namun, harga GKG yang tinggi itu adalah harga semu.
Pada panen-panen sebelumnya, gabah petani hanya dibeli Rp 1.000 per kilogram, paling tinggi Rp 1.150 per kilogram. Inilah sebenarnya harga gabah riil, ujar Harsono tentang harga GKG yang saat ini melambung menjadi Rp 1.700 per kilogram.
Harga tinggi tetapi semu justru akan semakin membuat nasib petani terpuruk. Dengan harga Rp 1.700 per kilogram bahkan di beberapa daerah sudah mencapai Rp 1.800 per kilogram harga beras menjadi sangat mahal untuk ukuran kocek petani. Hal itu disebabkan, meskipun dari segi produksi tonasenya meningkat, setelah diproses dan menjadi beras hasil konversinya di bawah 60 persen. Ini artinya harga beras di tingkat pengecer akan di atas Rp 3.200 per kilogram. Pada gilirannya, para petani semakin tidak dapat menjangkau harga beras yang sudah di atas Rp 3.200.
Nasib petani akan menjadi lebih mengenaskan lagi karena pemerintah sudah membuka keran impor beras kendati dengan alasan untuk cadangan raskin. Beberapa bulan ke depan petani akan dihadapkan dengan kelangkaan pupuk dan kenaikan harga BBM, yang sudah pasti akan disusul kenaikan harga saprodi.
Para petani sudah membaca bahwa untuk MT rendeng Oktober-Maret (tahun 2005-2006) akan terjadi kelangkaan pupuk, terutama pupuk urea. Hal ini sebagai dampak masa tanam yang tidak serempak dan penyimpangan musim hujan yang mendorong petani di banyak daerah menanam padi tanpa jeda.
Pola tanam padi-padi sepanjang tahun 2005 menyebabkan kebutuhan pupuk meningkat. Padahal, kuota tidak mengalami perubahan, pupuk untuk MT rendeng 2005-2006 sebagian sudah dipakai. Isu kelangkaan pupuk sudah barang tentu akan menjadi momok bagi para petani dan akan menyebabkan kelompok masyarakat semakin terpuruk.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Purbalingga sebenarnya sudah berupaya mengangkat kehidupan petani melalui program beras untuk pegawai negeri sipil. Setiap bulannya, melalui Puspa Hastama unit usaha Perusahaan Daerah Pemkab Purbalingga pemkab membeli 12 ton gabah dari petani. Namun, toh sebagai unit usaha yang berorientasi bisnis Puspa Hastama juga ingin mencari untung. Jadi, apabila pengelola usaha ini membeli gabah, harganya di bawah harga pasar.
Henny Ruslani, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Purbalingga, mengatakan, masalah label gakin tidak dapat dilihat hanya dari aspek pangan atau ekonomi saja, tetapi banyak aspek yang memengaruhinya. Pemkab sudah melakukan berbagai terobosan untuk mengangkat kehidupan gakin, terutama petani sebagai produsen. Namun, persoalannya bukan hanya bertumpu pada harga gabah rendah atau harga pupuk yang melambung, tetapi lebih penting perilaku miskin yang sulit diubah.
Kondisi ini akan semakin parah karena sebutan miskin menjadi stigma, menjadi label bagi kelompok masyarakat tertentu, terutama petani. Stigma ini justru dimunculkan dari kebijakan pemerintah pusat. Kebijakan politis pemerintah pusat di tingkat nasional yang tidak sinkron dan senapas bahkan kerap berbenturan dengan kebijakan daerah.
Contohnya, rencana pemerintah memberikan uang secara cuma-cuma uang Rp 100.000 untuk setiap gakin sebagai kompensasi kenaikan harga BBM. Program ini tidak akan membantu petani dan keluarga tidak mampu lainnya, tetapi justru membuat nasib mereka kian terpuruk.
Karena didapat hanya dengan ongkang-ongkang, hal ini menyebabkan upaya pemda untuk menghapus stigma miskin dengan memberdayakan mereka semakin sulit. Belum lagi bantuan beras, pendidikan gratis, dan berobat gratis. Tentu siapa yang tidak senang dengan program serba gratis. Tetapi, dampaknya akan besar. Ia dapat menjadi bom waktu bila pemerintah menghentikan program tersebut, ujar Henny.
Sukses meraih predikat juara dua program ketahanan seolah memberi gambaran bahwa petani di daerah ini sudah tidak menderita, tidak lagi miskin. Seorang anggota DPRD setempat mengakui, logikanya memang sukses pelaksanaan program ketahanan pangan berjalan seiring dengan meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lapisan bawah, terutama petani.
Pada kenyataan di lapangan, hal itu tidak terjadi. Petani tetap miskin dan terpinggirkan. Penduduk yang mendapat predikat gakin terus bertambah. Lalu, untuk apa sukses pelaksanaan program ketahanan pangan? Sukses ketahanan pangan untuk cari hadiah, sedangkan jumlah gakin yang di-mark-up dan terus melambung dari tahun ke tahun merupakan upaya untuk mendapatkan subsidi dan kompensasi BBM, ujarnya sambil tertawa.

Tidak ada komentar: